Benturan antabudaya penganut agama terlihat di Indonesia. Fenomena ini juga marak di negara lain yang unsur agamanya kuat, namun payung hukumnya tak mumpuni lindungi keragaman agama. Berikut opini Sumanto al Qurtuby.
Iklan
Salah satu faktor yang menjadi sumber konflik, ketegangan, dan bahkan kekerasan di masyarakat, khususnya masyarakat dimana agama menjadi komponen dominan, bukan "masyarakat sekuler”, adalah karena adanya dorongan kuat untuk mengagamakan orang atau komunitas lain "secara total, komprehensif dan menyeluruh” atau "secara kaffah” menurut istilah sejumlah kelompok "Islam kota” belakangan ini.
Yang dimaksud dengan "beragama secara total, komprehensif dan menyeluruh” adalah cara atau model beragama yang tidak hanya mempraktikkan nilai, doktrin, ajaran dan norma-norma keagamaan saja tetapi juga menerapkan tradisi dan kebudayaan darimana "agama-agama impor” itu berasal.
Meskipun sebetulnya dalam realitasnya, semua itu hanyalah klaim omong-kosong belaka karena memang tidak mungkin alias mustahil seseorang atau pemeluk agama bisa beragama secara kaffah.
Bagaimana mungkin seorang pengikut agama bisa mempraktikkan sebuah agama secara kaffah sementara agama bersangkutan berisi ribuan doktrin, dogma, norma, ajaran, tata-nilai, etika, dan sebagainya yang tersimpan di dalam Kitab Suci dan ribuan teks-teks klasik keagamaan serta dokumen-dokumen historis-keagamaan lainnya?
Yang bisa (dan "realistis”) dilakukan oleh seorang pemeluk agama tentu saja mengamalkan sebagian saja (baik sebagian besar maupun kecil ,tergantung kualitas keagamaan dan keimanan seseorang) dari ajaran agama itu.
Benturan agama atau budaya?
Hal lain yang juga penting untuk dicermati, apa yang sering dipersepsikan oleh banyak pihak sebagai sebuah "benturan antaragama”, pada kenyataannya sering kali lebih pada "benturan antarkebudayaan” antarpemeluk agama itu.
Ini tentu saja jika kita memahami agama sebagai sebuah "entitas otonom” yang berbeda dari budaya. Karena dalam perspektif ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi dan sosiologi, agama dipandang sebagai bagian dari sistem kebudayaan masyarakat atau "konstruksi sosial” umat manusia.
Mengabadikan Kekuatan Supranatural
Men, Mountains and Sea merupakan proyek foto hitam putih Rony Zakaria yang mengabadikan hubungan antara manusia dengan alam. Ia memotret panorama Indonesia dengan ritual berbagai kepercayaan dan penghormatan kepada alam.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur, 2009
Kawah Tengger, Gunung Bromo, Gunung Batok dan Semeru di malam hari, sebelum puncak perayaan Hindu Yadnya Kasada, dimana orang-orang Tengger memohon berkah dari Hyang Widi Wasa, dengan melemparkan sesajen berupa makanan dan hasil panen mereka ke kawah Gunung Bromo.
Foto: Rony Zakaria
Merapi, Jawa Tengah, 2008
Seorang pria berjalan di puncak gunung. Puncak Gunung Merapi, dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing sebagai latar belakangnya. Gunung Merapi merupakan salah satu dari lebih 100 gunung berapi aktif di Indonesia.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur, 2012
Para peziarah tengah beristirahat di pinggiran kawah Gunung Bromo. Masyarakat setempat sangat menghormati gunung di pulau Jawa yang dianggap sakral ini.
Foto: Rony Zakaria
Bromo, Jawa Timur 2009
Para pemuka adat Tengger mengumpulkan air suci di air terjun Madakaripura sebagai bagian dari ritual perayaan Yadnya Kasada. Selama festival berlangsung, para warga memohon berkat dari Hyang Widi Wasa dengan memberikan sesajen.
Foto: Rony Zakaria
Yogyakarta, 2009
Para wisatawan di pantai Parangtritis menikmati matahari terbenam. Di pantai ini diyakini sebagai wilayah kekuasaan Nyai Roro Kidul, penguasa pantai selatan. Para pengunjung biasanya tidak disarankan memakai pakaian berwarna hijau, karena ada kepercayaan bahwa mereka yanag berpakaian hijau akan diambil oleh Ratu Pantai Selatan.
Foto: Rony Zakaria
Yogyakarta, 2009
Warga Yogyakarta bersembahyang di Pantai Parangkusumo, dalam upacara Labuhan Alit. Mereka memohon jalan keluar dari masalah-masalah kehidupan yang dihadapi. Mulai dari masalah keuangan, karir, keluarga, percintaan dan lain-lain.
Foto: Rony Zakaria
Bali, 2008
Seorang pria di pantai Batubolong Bali sedang mencuci topeng tradisional di laut untuk upacara penyucian. Emas dan mutiara hiasan topeng ini dicuri beberapa waktu sebelumnya. Jadi warga lokal ingin membuang sisa-sisa kejahatan itu dengan melarungkannya di laut.
Foto: Rony Zakaria
Jepara, 2012
Parade perahu nelayan di pantai Jepara dalam ritual “Sedekah Laut“, merupakan tradisi rutin memberikan sesajen kepada penguasa laut. Ritual dipercaya dapat memberikan berkah bagi musim mencari ikan berikutnya.
Foto: Rony Zakaria
8 foto1 | 8
Dengan kata lain, agama adalah bagian dari produk kebudayaan atau "kreasi kreatif” manusia, bukan "produk kebudayaan” Tuhan yang turun dari langit.
Fenomena tentang "benturan antarkebudayaan” para penganut agama ini dengan jelas terlihat di Indonesia, Malaysia dan berbagai negara lain yang unsur-unsur agamanya kuat di satu sisi, sementara di sisi lain "payung hukumnya” tidak mumpuni untuk melindungi keanekaragaman agama.
Para pengusung agama-agama impor, khususnya Islam dan Kristen, sering kali bukan hanya memperkenalkan kepada orang lain ajaran-ajaran normatif keagamaan, melainkan juga memboyong tradisi-kebudayaan asal-muasal agama (atau sekte/aliran agama) itu kepada masyarakat dimana mereka tinggal.
Misalnya, di Indonesia, sejumlah kelompok Kristen Pentacostal, Mormon dan lainnya terlihat jelas mengusung "Kristen ala Amerika”. Banyak pula gereja-gereja di Indonesia, kaum Kalvinis dan Lutheran misalnya, yang "bercita rasa” Eropa (Belanda misalnya) meskipun nama-nama persekutuan gereja mereka menggunakan nama-nama lokal (Batak, Ambon, dlsb) atau bahkan nama negara di Timur Tengah, misalnya Gereja Kristen Ortodoks Suriah.
Konflik Terburuk di Dunia
Institut Heidelberg untuk Riset Konflik Internasional (HIIK) merilis 'Barometer Konflik 2013'. Baik karena fanatisme agama, hasil bumi berharga atau gila kuasa, sepanjang tahun 2013 terjadi sekitar 400 konflik di dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Suriah
Pada tahun keempat perang sipil di Suriah, kekacauan masih merajalela. Negara ini terpecah antara pasukan pemerintah di bawah Presiden Bashar al-Assad, kelompok oposisi moderat, Islamis, kelompok preman dan geng kriminal. Lebih dari 100.000 orang tewas akibat konflik, dan 9 juta warga terpaksa mengungsi. Konflik ini berpotensi meluas ke negara-negara tetangga.
Foto: Mohmmed Al Khatieb/AFP/Getty Images
Afghanistan
Pertempuran berlanjut di Afghanistan setelah NATO menyerahkan kontrol keamanan ke militer lokal. Taliban dan kelompok militan Islam lainnya terus melancarkan perang terhadap pemerintah menggunakan serangan bom bunuh diri dan ranjau. Wilayah perbatasan menjadi daerah yang paling rentan kekerasan. Menurut PBB, lebih dari 2.500 warga sipil tewas di Afghanistan tahun 2013.
Foto: picture-alliance/dpa
Filipina
Selama 40 tahun lebih front pembebasan Moro di Filipina memperjuangkan kebebasan. Setelah sempat mereda, konflik kembali berkecamuk tahun 2013 saat MNLF mengumumkan kemerdekaan kepulauan di bagian selatan Filipina. Pemberontak yang berusaha mengambil alih kota Zamboanga dipukul mundur oleh militer. Lebih dari 120.000 orang terpaksa mengungsi.
Foto: Reuters
Meksiko
Narkoba, perdagangan manusia, pemerasan dan penyelundupan: Ini cara kartel di Meksiko mendapat pemasukan. Untuk melindungi aliran dana, konflik antar kartel dan dengan pemerintah begitu marak. Pertempuran kecil terjadi setiap pekan. Akibatnya ratusan kelompok preman terbentuk di berbagai penjuru negeri. Tahun 2013 korban tewas akibat konflik kartel mencapai 17.000 orang.
Foto: picture-alliance/dpa
Nigeria
Kelompok Islamis Boko Haram ingin memberlakukan hukum Syariah di Nigeria. Untuk mencapai target ini, kelompok tersebut terus menyerang umat Kristen dan Muslim moderat. Dalam gambar, kerabat korban umat Kristen menggali kuburan usai sebuah serangan. Nigeria juga mempunyai pertempuran lain: petani Kristen bentrok dengan penggembala ternak Muslim terkait lahan subur.
Foto: picture-alliance/dpa
Sudan
Selama 10 tahun lebih beragam kelompok etnis Afrika bertempur di wilayah Darfur, Sudan, melawan pasukan pemerintah dan sekutunya. Dalam konflik, suplai air dan lahan subur menjadi taruhan. Ratusan ribu warga tewas akibat pertempuran dan jutaan lainnya terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Foto: picture-alliance/dpa
Somalia
Konflik antara pejuang al-Shabab dan militer di Somalia telah berlangsung selama 8 tahun. Dengan bantuan pasukan PBB dan Uni Afrika, pemerintah Somalia berhasil mengatasi gempuran Islamis. Meski begitu, pejuang al-Shabab tetap mengontrol wilayah selatan negeri. Al-Shabab bertanggung jawab atas sejumlah serangan bom di ibukota Mogadishu tahun 2013.
Foto: Mohamed Abdiwahab/AFP/Getty Images
Sudan Selatan
Tiga tahun setelah merdeka, Sudan Selatan tetap menjadi negara yang didominasi konflik dan medan dua pertempuran. Pejuang yang loyal terhadap wakil presiden bertempur melawan pasukan presiden. Militer juga menghadapi pertempuran lain. Di negara tetangga, Sudan, pasukan Sudan Selatan mendukung upaya otonomi dari dua provinsi yang kaya minyak bumi.
Foto: Reuters
Republik Demokratik Kongo
Di Kivu sepanjang tahun 2013 militer terus-terusan berhadapan dengan kelompok pemberontak M23. Setelah negosiasi damai dengan pemerintah, para pejuang kelompok itu terpecah menjadi kelompok-kelompok berbeda. Akhir tahun 2013 pemerintah Republik Demokratik Kongo mengumumkan kekalahan pemberontak. M23 telah menyatakan siap berjuang secara politik.
Foto: Melanie Gouby/AFP/GettyImages
Mali
Di Mali, pejuang Islamis berupaya merebut kekuasaan. Tahun 2012, sejumlah wilayah di bagian utara negeri berhasil direbut. Alhasil, Perancis ikut turun tangan membantu pemerintah Mali dengan pasukan dan persenjataan, serta serangan darat dan udara untuk menaklukkan pasukan Islamis. Pasukan helm biru kini bertugas menjaga keamanan, namun serangan dan bom bunuh diri terus berlanjut.
Foto: picture-alliance/dpa
10 foto1 | 10
Sebagian umat Katholik di Indonesia juga "meng-Eropa”, khususnya "kultur Roma”. Umat Islam juga sama. Banyak kaum Muslim yang eforia dengan budaya Arab, meskipun mereka tidak paham Arab bagian mana mengingat ada sekitar 22 negara yang tergabung dalam Liga Arab.
Bagi sebagian kaum "Muslim kota” yang sedang "berbulan madu” dengan Islam, mereka mengimajinasikan "Islam yang otentik” itu yang "Islam (ala) Arab”, selebihnya "Islam tidak murni.” Ada pula sebagian kaum Muslim yang bergembira ria mengamalkan Islam ala Indo-Pakistan atau ala Turki.
Pernak-pernik tradisi dan budaya
Bagi sebagian kelompok ini, menjadi Muslim atau Kristen tidak cukup hanya dengan "dibaptis” (bagi umat Kristen) atau membaca "kalimat syahadat” (bagi umat Muslim, yakni peneguhan tentang keesaan Tuhan dan kenabian Muhammad) saja, melainkan juga harus mengamalkan pernik-pernik tradisi-kebudayaan yang menempel dalam agama itu agar menjadi "lebih Islami” atau "lebih Kristiani.”
Islam dan Kristen adalah dua agama misionaris yang sama-sama kuat ajaran dakwahnya. Banyak pengikut kedua agama yang sama-sama berasal dari rumpun agama Semit di Timur Tengah ini, khususnya mereka yang terjangkit "overdosis fanatisme”, yang begitu bersemangat mengkristenkan dan mengislamkan orang lain. Meskipun, lagi-lagi, dalam praktiknya mereka tidak sekedar mengkristenkan atau mengislamkan orang lain tetapi mengkristenkan atau mengislamkan menurut mazhab, aliran, denominasi, kongregasi, sekte, dan organisasi Kristen atau Islam yang mereka anut. Menjadi Islam atau Kristen saja, bagi mereka, tidak cukup. Harus diembel-embeli dengan Kristen ini-itu atau Islam ini-itu.
Peliharalah, Bukan Merusak
Baik Islam, Buddha. Hindu, Kristen, Katholik dan Yahudi, memiliki kitab suci yang memberikan petunjuk dalam kehidupan. Di dalamnya mengajarkan para pengikut agama tersebut untuk merawat bumi dan lingkungannya.
Foto: Jody McIntryre / CC-BY-SA-2.0
Melestarikan Ciptaan
Adam dan Hawa di Taman Eden: Kristen dan Yahudi meyakini memelihara ciptaan Tuhan adalah satu tugas yang Tuhan percayakan kepada manusia: "Dan Tuhan menempatkannya di Taman Eden untuk bekerja dan memelihara taman itu" .(Alkitab: Kejadian 2: 15)
Foto: Jonathan Linczak / CC BY-NC-SA 2.0
Yahudi dan Kristen Alkitab berbagi pesan kunci
Kisah penciptaan diceritakan dalam perjanjian lama Kitab Musa. Kitab pertama Musa adalah bagian dari kitab Taurat, bagian pertama dari kitab Yahudi, yang disebut Tanakh.
Foto: Lawrie Cate / CC BY 2.0
Buku paling laku di dunia
Kisah penciptaan juga bagian sentral dari Perjanjian Lama dalam kitab suci umat Kristen, yang menjalin bagian-bagian dari teks-teks suci Yahudi. Alkitab adalah teks tertulis yang paling banyak digunakan dan paling sering dipublikasikan di dunia.
Foto: Axel Warnstedt
"Aturan ketertiban" manusia
"Dan Allah memberkati mereka, lalu berfirman: Beranakcuculah dan bertambah banyak, memenuhi bumi dan menaklukkannya. Berkuasalah atas ikan-ikan di laut, dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi "(Alkitab, Kejadian 1: 28).
Foto: Axel Warnstedt
Bekerja dengan berhati-hati atas ciptaannya
Dalam Islam, ciptaan Allah harus dilindungi. Manusia dapat memanfaatkannya, tapi dengan secara baik: "Matahari & bulan beredar menurut perhitungan, bintang-bintang dan pohon-pohon tunduk pada-Nya. Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca keadilan. Jangan ganggu keseimbangannya. Tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu menguranginya". (Al Qur‘an, Surat 55, 3-10)
Foto: sektordua / CC BY 2.0
Jangan sebabkan kerusakan di muka bumi
Al-Qur'an berisi petunjuk khusus dan rinci bagi umat Muslim. Banyak petunjuk di dalamnya yang langsung berkaitan dengan masalah lingkungan dan alam. Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". (Al Qur'an, Surat Al-Baqarah: 2, 11)
Foto: Axel Warnstedt
Hindu dalam siklus abadi
Dalam semuanya bergerak dalam siklus di mana masing-masing komponen – kelahiran atau kematian, terlihat atau tidak terlihat – semua terulang secara terus-menerus. Manusia adalah bagian dari dunia ini, statusnya sama seperti makhluk hidup lainnya.
Foto: public domain
Selalu menjaga keseimbangan
Keseimbangan alam harus dipertahankan. Siapa yang sudah mengambil sesuatu, harus mengembalikannya. Dewa mengurus berbagai kebutuhan hidup: "…dengan pengorbanan, Dewa akan memberkati apa yang kamu butuhkan. Ia yang menikmati apa yang para dewa beri, tanpa memberi imbalan sesungguhnya adalah pencuri . "(Bhagavad Gita 3:12)
Foto: Jody McIntryre / CC-BY-SA-2.0
Semua saling terkait
Dalam bahasa Pali pada kitab awal Buddha, terdapat tulisan mengenai segala sesuatu yang saling ketergantungan dan keterkaitan: "Sesuatu yang ada, memiliki keberadaan. Eksistensi muncul dari keberadaannya. Jika sesuatu tidak ada, maka eksistensinya pun tiada. Dengan terhentinya sesuatu, maka hal ini akan selesai. "(Pali, Samyutta Nikaya II, 12:21)
Foto: Mixtribe-Photo / CC BY 2.0
9 foto1 | 9
Memang tidak mudah untuk memilah-milah mana yang merupakan ajaran normatif agama dan mana yang tradisi-kebudayaan karena keduanya campur-baur dalam sebuah Kitab Suci dan teks-teks keagamaan. Ada banyak hal yang sebetulnya merupakan tradisi masyarakat dimana agama (atau sekte agama) itu lahir kemudian menjadi bagian dari norma keagamaan.
Budaya dijadikan norma atau dogma
Dengan kata lain, ada banyak kebudayaan yang telah "diagamakan” (ada pula agama yang kemudian "dibudayakan”) setelah melalui proses sosial-politik-kultural yang begitu panjang dan rumit. Begitu pula, kebudayaan itu telah menjelma menjadi "norma” atau "dogma” setelah adanya intervensi dari tangan-tangan kelompok literati agama (ulama, pendeta, pastor, dlsb).
Oleh karena itu, melihat peliknya persoalan ini, umat beragama perlu menggarap kerja intelektual serius untuk memahami atau memilah-memilah mana agama dan mana tradisi-budaya, agar mereka tidak "mendogmakan” sesuatu yang sebetulnya hanya sebuah budaya saja bukan bagian substansial dari ajaran agama.
Bagi saya, tindakan paling baik dan bijak umat beragama adalah mengambil "spirit ajaran” fundamental-universal sebuah agama itu tanpa harus mengikutsertakan tradisi kebudayaan masyarakat agama (atau sekte/aliran agama) tertentu yang bersifat lokal-partikular. Lebih jelasnya, untuk menjadi "Muslim sejati” tidak perlu "menjadi Arab atau Timur Tengah.” Dan untuk menjadi "Kristen otentik” tidak perlu "menjadi Eropa, Amerika atau Timur Tengah”.
Pasola: Darah yang Tumpah Menyambut Panen
Pasola digelar setiap tahun di Sumba, merupakan salah satu tradisi paling berdarah. Masyarakat meyakini, darah yang tumpah dari pertempuran menjamin baiknya hasil panen mendatang. Mohammad Fadli mengabadikan ritual itu
Foto: Muhammad Fadli
Terpencil
Di Sumba barat, warga menggelar permainan Pasola di kampung-kampung terpencil seperti misalnya di Kodi dan Wonokaka. Tradisi turun-temurun ini dilakukan sebagai penghormatan kepada leluhur, yang diyakini akan membawa kesuburan dan kemakmuran bagi lahan pertanian setempat.
Foto: Muhammad Fadli
Tradisi Kuno
Pasola adalah sebuah tradisi kuno dari Sumba. Aktivitas ini dikategorikan sebagai olahraga ekstrim sekaligus budaya ritual. Pasola digelar rutin setiap tahun untuk menyambut musim panen. Di medan perang, prajurit Pasola menunggang kuda dan menggunakan tombak sebagai senjata mereka. Namun, kecelakaan fatal masih sering terjadi.
Foto: Muhammad Fadli
Kuda Sumba
Johanes Ndara Kepala, adalah seorang ksatria kawakan Pasola. Dia memandikan kudanya di Sungai Waiha, dekat desanya Waingapu, Kodi. Sumba adalah salah satu pusat penangkaran kuda yang terbaik di Indonesia.
Foto: Muhammad Fadli
Doa dan Berkat
Sebelum dimulainya pertempuran, kuda harus diberkati oleh Rato (tetua adat spiritual Sumba). Upacara Pasola ini terjadi hanya sekali dalam setahun, pada bulan Februari atau Maret. Tanggal tepatnya diputuskan oleh para pemimpin spiritual yang diumumkan satu atau dua minggu sebelum festival, menjelang musim panen.
Foto: Muhammad Fadli
Mantra dan Tombak Melesat
Seorang ksatria Pasola membedal kudanya sebelum melempar tombak ke arah musuh. Pasola bergerak seiring irama kuno. Diawali dengan mantra. Kemudian berdoa kepada para dewa dan melakukan perembukan hingga akhirnya tombak pun terbang.
Foto: Muhammad Fadli
Hari Suci
Massa berkumpul di sisi arena Pasola di Kodi. Banyak warga di daerah ini percaya pada ritual kuno yang disebut Marapu. Hari-hari di sekitar acara Pasola dianggap sebagai hari suci. Banyak dari mereka berasal dari desa-desa yang jauh dan khusus datang ke Kodi untuk menonton Pasola.
Foto: Muhammad Fadli
Para Ksatria Pemberani
Seorang prajurit Pasola bersiap untuk melemparkan tombaknya ke arah musuh. Pasola berasal dari kata Sola atau Hola berarti semacam lembing yang digunakan dengan cara dilempar ke arah lawan yang juga sama-sama menunggang kuda. Penunggang kuda untuk ritual ini biasanya laki-laki terampil berpakaian adat.
Foto: Muhammad Fadli
Tombak Menghantam Lawan
Seorang prajurit Pasola terkena tombak musuh. Aksi sengit yang amat melelahkan. Jika prajurit tak hati-hati, ia bisa terkena tombak lawan dan terjatuh dari kuda.
Foto: Muhammad Fadli
Pemenang
Seorang ksatria Pasola merayakan kejayaannya. Pasola menjadi perpaduan unik budaya dan olahraga. Suasana sangat meriah – penonton kadang-kadang agresif, suara penonton mengiringi suara kuda dan tombak yang terbang di udara.
Foto: Muhammad Fadli
Menanti Darah Tumpah
Sorak-sorai kerumunan penonton bergemuruh saat jagoan mereka memukul mundur musuh. Meskipun tombak kayu tidak lagi diasah setajam mungkin, terjadinya cedera serius masih menjadi bagian dari pertempuran. Di lain pihak, masyarakat percaya, darah yang jatuh ke bumi dalam acara Pasola merupakan hal penting dalam pembersihan dan pemurnian lahan pertanian.
Foto: Muhammad Fadli
Mengorbankan Mata
Kuda berderap dengan kecepatan penuh dan ksatria melemparkan tombak sekuat tenaga. Pasola cukup berbahaya bagi pesertanya. Foto ini adalah contohnya: salah seorang prajurit Pasola yang mata kirinya hampir buta karena pertempuran. Tapi, tidak akan ada balas dendam antara peserta setelah Pasola berakhir.
Foto: Muhammad Fadli
Generasi Berikutnya
Dua calon ksatria muda Pasola dari Tosi, Kodi mulai berlatih. Tradisi rakyat terus berlanjut. Mereka mengatakan tidak takut mati. Karena mereka percaya, kematian adalah pintu gerbang ke sebuah kerajaan yang kekal, di mana nenek moyang mereka tinggal.
Foto: Muhammad Fadli
12 foto1 | 12
Saya ingin mengajak umat beragama di Indonesia untuk menjadi "Muslim Indonesia”, "Kristen Indonesia”, "Budha Indonesia”, "Konghucu Indonesia” dan seterusnya, yakni sah-sah saja kita menjadi pemeluk "agama-agama impor” itu tetapi pada saat yang bersamaan hendaknya tetap menjaga dan merawat kekayaan khazanah adat, tradisi dan kebudayaan Nusantara warisan para leluhur bangsa (yang dipandang baik dan positif serta membawa kemaslahatan masyarakat tentunya. Bukan malah mengkampanyekan untuk memusnahkan khazanah budaya Nussantara karena dicap "tidak Islami” atau "tidak Kristiani” misalnya.
Dalam hal ini, umat Hindu Indonesia (khususnya Jawa dan Bali, simak misalnya beberapa karya Robert W. Hefner) cukup menarik untuk dicermati dan saya kira tidak ada salahnya untuk jadi contoh bagi umat lain karena mereka tetap menjadi "Hindu Indonesia” (Hindu Jawa atau Hindu Bali) bukan "Hindu (ala) India”. Kehinduan umat Hindu Indonesia berbeda secara substansial dengan kehinduan umat Hindu India, misalnya dalam hal sistem kasta dan juga dalam hal perawatan ajaran-ajaran dan tradisi-kebudayaan Hindu Nusantara.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby
Dosen Antropologi dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta penulis buku Religious Violence and Conciliation: Christians and Muslims in the Moluccas (London & New York: Routledge, 2016). Ia memperoleh PhD dari Boston University.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Madagaskar Yang Sangat Indonesia
Madagaskar ternyata kental nuansa nusantara. Ilmuwan bahkan memperkirakan, negara kepulauan ini ditemukan oleh seorang perempuan Indonesia. Tapi bagaimana budaya bisa bertukar lewat jarak 8000 kilometer?
Foto: Getty Images
8000 Kilometer ke Barat
Menurut catatan sejarah, pulau Madagaskar pertama kali dihuni oleh pendatang asal Indonesia. Mereka diyakini berlayar sejauh 8000 kilometer dari Kalimantan dan Sulawesi. Ilmuwan sejauh ini memang belum menemukan bukti fisik, kecuali hasil uji Mitokondria DNA yang mengungkap garis keturunan penduduk Madagaskar berasal dari Indonesia.
Foto: picture alliance/CPA Media
Sampel DNA
Tiga tahun silam peneliti Universitas Massey, Selandia Baru, menganalisa DNA milik 266 orang. Dalam kelompok tersebut, mereka menemukan bahwa 22 persen memiliki tanda genetik “orang Indonesia”. Jika sampel DNA ini benar, diperkirakan ada sekitar 30 perempuan Indonesia yang ikut membentuk populasi awal di Madagaskar.
Foto: DW/P. Hille
Metode Pertanian
Bukti lain pengaruh nusantara di Madagaskar bisa ditemui pada sektor pertanian yang banyak menggunakan metode dan teknologi yang serupa dengan di Indonesia. Menurut catatan sejarah, pendatang baru itu mulai menanami padi dan talas di dataran tinggi Madagaskar sejak abad ke-enam. Mereka disebut Vazimba yang jika diterjemahkan langsung berarti orang rimba.
Foto: Getty Images
Rumah Kotak
Tidak seperti rumah tradisional Afrika pada umumnya yang berbentuk bulat, kediaman penduduk asli Madagaskar lebih menyerupai suku-suku di Asia Tenggara, yakni berbentuk kotak dengan atap segitiga. Penduduk asli Madagaskar juga mengenakan pakaian yang terbuat dari serat tanaman, berbeda dengan Afrika yang lebih menyukai kulit binatang.
Foto: DW/F.Müller
Bahasa Nusantara
Kendati dikuasai oleh Bahasa Perancis, penduduk Madagaskar masih memelihara bahasa sendiri, yakni bahasa Malagasi yang masih termasuk rumpun Bahasa Melayu-Polinesia. Di dalamnya terkandung pengaruh bahasa lokal di Indonesia, yakni Barito Timur, Jawa dan Melayu. Tangan misalnya menjadi tananə atau nusa menjadi nosy. Bahasa Malagasi juga mengadopsi kata kulit dan putih dari bahasa melayu.
Foto: DW/Peter Hille
Pengaruh dalam Tradisi Kuliner
Nasi adalah makanan pokok penduduk Madagaskar. Tradisi kuliner di pulau tersebut juga ditengarai banyak dipengaruhi pemukim pertama yang berasal dari kawasan nusantara. Nasi biasanya ditemani laoka alias lauk, yakni sayur dan daging yang ditumis dengan saus tomat atau santan.
Foto: DW/F.Müller
Teka Teki Besar
Sejak dihuni pertamakali 1200 tahun lalu oleh pendatang asal nusantara, kini Madagaskar memiliki identitas sendiri yang banyak terpengaruh budaya lain, semisal Arab, Afrika, Bantu dan bahkan Perancis. Tapi pertanyaan tentang bagaimana kapal asal Indonesia saat itu bisa berlayar 8000 kilometer tanpa kompas dan peta, belum akan terjawab.