Kekhawatiran perihal ambisi Cina mulai muncul di berbagai negara di Asia Tenggara. Namun ketika sebagian tunduk pada tekanan Beijing, negara lain berusaha membatasi pengaruh Cina. Malaysia dinilai bisa menjadi panutan.
Iklan
Proyek Jalur Sutra Abad 21 dan perang dagang dengan Amerika Serikat mendorong Cina memperkuat aktivitas ekonominya di Asia Tenggara, menurut Carla Freeman, Direktur John Hopkins School of Advanced International Studies (SAIS) kepada DW.
Saat ini proyek infrastruktur senilai USD 1 triliun digagas Beijing untuk membangun jalur maritim di Laut Cina Selatan. Kawasan perairan kaya sumber daya itu diperebutkan oleh empat negara ASEAN, yakni Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina. Dikhawatirkan Cina akan menggunakan pengaruh ekonominya untuk membujuk ASEAN agar membatalkan klaim teritorial mereka di Laut Cina Selatan.
Proyek Jalur Sutra Abad 21 atau Belt and Road Initiative (BRI) dinilai mengandung dua upaya Cina, yakni "menemukan pasar baru untuk menanggulangi kelebihan kapasitas produksi, dan memperlebar pengaruhnya melalui konektivitas fisik, finansial dan personal dengan negara-negara di kawasan," kata pakar Vietnam Alexander Vuving di Daniel K. Inouye Asia-Pacific Centre.
Menurutnya cepat atau lambat, negara-negara Asia Tenggara akan mengumpulkan jumlah utang yang tidak akan mampu dibayar, sehingga terancam oleh "diplomasi jebakan utang" dan jatuh pada pangkuan Beijing.
Gelagat itu sudah bisa disimak di sejumlah negara. Di Thailand PM Prayuth Chan-ocha bulan lalu membuat kontroversi ketika menyambut PM Li Keqiang dan mengatakan negaranya seperti seekor semut jika dibandingkan Cina yang serupa singa. Di bawah kekuasaan Prayuth, militer Thailand kini melirik jiran di utara sebagai pemasok senjata utama.
Adapun di Filipina situasinya tidak berbeda. Negeri yang berseteru dengan Cina ihwal Kepulauan Spratly itu belakangan malah melunakkan sikap demi kepentingan ekonomi. Atas kebijakannya itu Presiden Rodrigo Duterte banyak mendapat tekanan di dalam negeri.
PM Cina Kunjungi Indonesia Tingkatkan Kerjasama Pembangunan
01:11
Terutama insiden penenggelaman kapal nelayan Filipina oleh Pasukan Perbatasan Cina di sekitar Reed Bank yang termasuk Zona Ekonomi Ekslusif milik Filipina. Sebuah jajak pendapat yang digelar Social Weather Stations pada November silam menemukan tingkat kepercayaan publik Filipina terhadap Cina berada di titik terendah.
Menurut Salvador Panelo, Jurubicara Kepresidenan, hasil survei tersebut "sudah diperkirakan dan bisa dimengerti," menyusul "konflik" di Laut Cina Selatan.
"Tapi Cina, seperti negara lain, suatu saat akan diterima oleh masyarakat karena kebijakan luar negeri oleh Presiden Duterte yang independen dan menghasilkan keuntungan signifikan bagi warga Filipina."
Menurut Bank Sentral Filipina, nilai investasi langsung dari Cina melonjak tajam dari USD 570.000 pada 2015 saat Duterte mulai berkuasa, menjadi USD 200 juta pada 2018.
"Duterte membenahi hubungan ekonomi dengan Cina. Tapi dia juga mewaspadai ongkos politik jika berhubungan terlalu dekat," kata Carla Freeman, Direktur John Hopkins School of Advanced International Studies.
Vietnam adalah satu-satunya negara seteru Cina di LCS yang paling getol mempertahankan klaimnya atas kawasan perairan tersebut. Namun negeri Komunis itu juga menjadi korban strategi kebijakan luar negeri Beijing, yakni "temani yang jauh, serang yang dekat," kata Vuving.
Jurus Cina Bungkam Brunei dalam Konflik Laut Cina Selatan
Brunei yang sedang mengalami resesi membutuhkan aliran dana investasi dan mendapati Cina sebagai juru selamat. Namun pertautan kedua negara bukan tak beriak. Beijing mengharapkan balasan yang setimpal.
Foto: picture-alliance/AP Photo/N. Han Guan
Akhir Kejayaan Minyak
Selama berpuluh tahun warga Brunei menikmati kemakmuran tak berbatas berkat produksi minyak berlimpah. Namun kemakmuran tersebut tidak bertahan lama. Pasalnya cadangan minyak Brunei bakal pupus dalam dua dekade ke depan. Negeri kesultanan itu pun dilanda resesi sejak tiga tahun terakhir dan terpaksa memangkas berbagai subsidi.
Foto: picture-alliance/dpa
Resesi Tanpa Henti
Tidak heran jika laju pertumbuhan ekonomi Brunei merangkak di kisaran 0,6% pada 2016 silam dan bahkan anjlok menjadi minus 2,7% pada 2017. Pondasi ekonomi yang terlalu bergantung pada pemasukan dari sektor migas menjadi petaka ketika harga minyak dunia menukik tajam sejak beberapa tahun terakhir.
Foto: Getty Images/AFP/R. Rahman
Ekonomi Terpusat di Ujung Hayat
Menurut analis pasar tenaga kerja, warga Brunei cendrung menginginkan pekerjaan di pemerintahan, perusahaan pelat merah atau industri minyak. Tapi justru ketiganya sedang babak belur. Akibatnya angka pengangguran meroket tajam. Kondisi ini memaksa Sultan Hassanal Bolkiah mencari sumber duit baru.
Foto: picture alliance/landov/Z. Jie
Cina Menggeser Arab
Biasanya Brunei melirik negara-negara Arab untuk mencari investasi. Namun kali ini Sultan Hasanah Bolkiah melirik poros ekonomi baru dan mendapati Cina sebagai juru selamat. Sejak beberapa tahun terakhir Beijing aktif menyuntikkan dana untuk perekonomian Brunei yang tengah lesu.
Foto: Imago/Xinhua/J. Wong
Gerbang Investasi
Ketika Citibank hengkang setelah mengawal investasi asing untuk Brunei selama 41 tahun, Bank of China justru membuka cabang di Bandar Seri Begawan. Kehadiran bank pelat merah itu diharapkan menjadi pintu masuk aliran dana investasi langsung dari Tiongkok. Sejauh ini Cina telah menginevatasikan 4,1 miliar USD di Brunei.
Foto: Getty Images/AFP/M. Ralston
Berharap Pada Duit Tiongkok
Investasi Cina mencakup berbagai sektor, mulai dari industri pertanian dan makanan, energi dan perikanan. Menurut klaim pemerintah, aliran dana investasi dari Tiongkok akan menciptakan 1.600 lapangan kerja baru dan menopang sekitar 5.000 lapangan kerja di sektor pendukung seperti logistik dan perbankan.
Foto: Fotolia/philipus
Pertaruhan Bolkiah di Utara
Pertautan itu bukan tak beriak. Sultan Bolkiah banyak membisu ihwal konflik di Laut Cina Selatan. Sikap gamang Brunei dinilai merupakan hasil dari strategi Cina mendekati negara kecil di ASEAN terkait klaim teritorial Beijing. Padahal kawasan laut yang diperebutkan diyakini mengandung cadangan energi dalam jumlah besar, sesuatu yang dibutuhkan Brunei buat menjamin kemakmuran warganya di masa depan
Tajam Diplomasi Xi
Sejak Xi Jinping memegang jabatan Sekretaris Jendral PKC 2012 silam, Beijing aktif menggunakan 'diplomasi buku cek' terhadap negara-negara ASEAN untuk mengamankan klaimnya di Laut Cina Selatan. Selain Brunei, Cina juga aktif menanam investasi di Malaysia, Laos dan Kamboja. Harapannya dengan meningkatnya kebergantungan ekonomi, ASEAN akan sulit menyatukan suara dalam konflik Laut Cina Selatan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/N. Han Guan
8 foto1 | 8
Hubungan kedua negara banyak diwarnai ketegangan seputar Laut Cina Selatan dan konflik air seputar eksploitasi sungai Mekong. Namun pada saat yang bersamaan kedua negara juga menikmati hubungan ekonomi yang berkembang pesat. Sejak 2015, Cina menggandakan investasinya di Vietnam yang mencapai USD 217 miliar pada 2017.
Kucuran dana investasi itu ditanggapi secara skeptis di Malaysia usai kemenangan Mahathir Mohamad dalam pemilu silam. Dia bahkan menyebut aktivitas ekonomi Cina sebagai "versi baru kolonialisme" lantaran perjanjian yang tidak berimbang dengan negara-negara miskin.
Mahathir berjanji akan mengkaji ulang "kesepakatan tidak adil" dengan Cina, termasuk proyek infrastruktur kereta api yang sempat mati suri.
Carla Freeman meyakini kebijakan Malaysia bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain yang terbebani oleh utang menumpuk terhadap Cina, untuk "mengkaji ulang kesepakatan investasi Cina."
Hal serupa disarankan Tham Siew Yean, peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute. Menurutnya semua negara "sebaiknya menegosiasikan proyek raksasa dengan Cina secara hati-hati."
rzn/hp
Bagaimana Vietnam Bangkit Jadi Macan Ekonomi Baru Asia?
Reformasi "Doi Moi" yang membuka privatisasi ekonomi pada pertengahan 1980-an mencuatkan Vietnam dari negara miskin menjadi salah satu macan ekonomi Asia Tenggara hanya dalam tiga dekade. Apa rahasianya?
Foto: DW/Benjamin Bathke
Denyut Ekonomi Vietnam
Ho Chi Minh City yang dulu dikenal dengan nama Saigon merupakan jantung ekonomi Vietnam. Pada 2050 nanti bekas negeri Komunis ini diyakini akan menembus daftar 20 besar kekuatan ekonomi dunia, jika berhasil mempertahankan tingkat pertumbuhan di angka 5%. Saat ini Vietnam menduduki posisi ke-32 perekonomian paling gemuk sedunia dengan pertumbuhan mencapai 7 persen per tahunnya.
Foto: James T Clark
Perekonomian Dua Roda
Lautan sepeda motor yang menyemuti jalan-jalan kota Ho Chi Minh menjadi salah satu manifestasi pertumbuhan ekonomi yang pesat. Saat ini ibukota Vietnam dilalui oleh lebih dari 7 juta sepeda motor setiap harinya. Sejak reformasi ekonomi pada dekade 1980-an, pemasukan per kapita penduduk Vietnam meningkat enam kali lipat.
Foto: DW/Benjamin Bathke
Ambisi Besar Sektor IT
Terutama sektor teknologi Vietnam menjadi motor penggerak tumbuhnya lapangan kerja bagi profesional muda. Perusahaan startup bernama NFQ Asia misalnya menggaji pengembang software antara $ 1.000 hingga $ 2.000 per bulan atau sekitar 30 juta Rupiah. "Penduduk Vietnam lapar akan kesuksesan dan mau bekerja sangat keras," kata pendiri NFQ Asia, Lars Jangkowfsky.
Foto: DW/Benjamin Bathke
Pembenahan Transportasi
Vietnam saat ini sedang membangun jalur kereta bawah tanah pertama di Hanoi dan Ho Chi Minh untuk mengatasi kemacetan. Fasilitas baru di Hanoi itu misalnya sudah akan bisa digunakan mulai akhir tahun depan. Serupa di Indonesia, untuk proyek raksasa ini Vietnam menjalin kerjasama dengan Jepang dalam menyediakan tenaga dan peralatan teknis.
Foto: DW/Benjamin Bathke
Mendunia Berkat Biji Kopi
Bukan kebetulan Vietnam terkenal lewat komoditas kopi. Pasalnya negeri kecil ini merupakan produsen biji kopi terbesar kedua di dunia, setelah Brazil. Kiprah industri kopi Vietnam mencerminkan pertumbuhan ekonomi negeri itu, dari pangsa pasar sebesar 0,1% pada dekade 1980-an, kini Vietnam menyumbang 20% pada produksi kopi dunia.
Foto: DW/Benjamin Bathke
Musim Semi Abadi di Da Lat
Da Lạt yang terletak di selatan adalah salah satu pusat agrikultur Vietnam. Kota yang dikelilingi hutan, danau dan pegunungan ini memiliki nama lain, yakni "kota musim semi abadi" lantaran iklimnya yang sempurna untuk produksi kopi, sayur-sayuran dan budidaya bunga.
Foto: DW/Benjamin Bathke
Gairah Ekonomi Bayangan
Pemandu wisata, pedagang kaki lima, petani atau pemilik kedai kopi di pinggir jalan - mereka adalah bagian dari sektor informal Vietnam yang tumbuh pesat. Diperkirakan tiga dari empat penduduk Vietnam bekerja di sektor informal. (rzn/ap)