1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ambisi Cina Mendominasi Asia Tenggara

Emmy Sasipornkarn
24 Desember 2019

Kekhawatiran perihal ambisi Cina mulai muncul di berbagai negara di Asia Tenggara. Namun ketika sebagian tunduk pada tekanan Beijing, negara lain berusaha membatasi pengaruh Cina. Malaysia dinilai bisa menjadi panutan.

China Peking Chinesische Flagge
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Wong

Proyek Jalur Sutra Abad 21 dan perang dagang dengan Amerika Serikat mendorong Cina memperkuat aktivitas ekonominya di Asia Tenggara, menurut Carla Freeman, Direktur John Hopkins School of Advanced International Studies (SAIS) kepada DW.

Saat ini proyek infrastruktur senilai USD 1 triliun digagas Beijing untuk membangun jalur maritim di Laut Cina Selatan. Kawasan perairan kaya sumber daya itu diperebutkan oleh empat negara ASEAN, yakni Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina. Dikhawatirkan Cina akan menggunakan pengaruh ekonominya untuk membujuk ASEAN agar membatalkan klaim teritorial mereka di Laut Cina Selatan.

Proyek Jalur Sutra Abad 21 atau Belt and Road Initiative (BRI) dinilai mengandung dua upaya Cina, yakni "menemukan pasar baru untuk menanggulangi kelebihan kapasitas produksi, dan memperlebar pengaruhnya melalui konektivitas fisik, finansial dan personal dengan negara-negara di kawasan," kata pakar Vietnam Alexander Vuving di Daniel K. Inouye Asia-Pacific Centre.

Baca juga:ASEAN Perkuat Kerjasama Ekonomi Guna Hadapi Eskalasi Perang Dagang Cina-AS 

Menurutnya cepat atau lambat, negara-negara Asia Tenggara akan mengumpulkan jumlah utang yang tidak akan mampu dibayar, sehingga terancam oleh "diplomasi jebakan utang" dan jatuh pada pangkuan Beijing.

Gelagat itu sudah bisa disimak di sejumlah negara. Di Thailand PM Prayuth Chan-ocha bulan lalu membuat kontroversi ketika menyambut PM Li Keqiang dan mengatakan negaranya seperti seekor semut jika dibandingkan Cina yang serupa singa. Di bawah kekuasaan Prayuth, militer Thailand kini melirik jiran di utara sebagai pemasok senjata utama.

Adapun di Filipina situasinya tidak berbeda. Negeri yang berseteru dengan Cina ihwal Kepulauan Spratly itu belakangan malah melunakkan sikap demi kepentingan ekonomi. Atas kebijakannya itu Presiden Rodrigo Duterte banyak mendapat tekanan di dalam negeri.  

PM Cina Kunjungi Indonesia Tingkatkan Kerjasama Pembangunan

01:11

This browser does not support the video element.

Terutama insiden penenggelaman kapal nelayan Filipina oleh Pasukan Perbatasan Cina di sekitar Reed Bank yang termasuk Zona Ekonomi Ekslusif milik Filipina. Sebuah jajak pendapat yang digelar Social Weather Stations pada November silam menemukan tingkat kepercayaan publik Filipina terhadap Cina berada di titik terendah.

Menurut Salvador Panelo, Jurubicara Kepresidenan, hasil survei tersebut "sudah diperkirakan dan bisa dimengerti," menyusul "konflik" di Laut Cina Selatan.

"Tapi Cina, seperti negara lain, suatu saat akan diterima oleh masyarakat karena kebijakan luar negeri oleh Presiden Duterte yang independen dan menghasilkan keuntungan signifikan bagi warga Filipina."

Baca juga:Sengketa Ikan Bisa Picu Krisis di Laut Cina Selatan 

Menurut Bank Sentral Filipina, nilai investasi langsung dari Cina melonjak tajam dari USD 570.000 pada 2015 saat Duterte mulai berkuasa, menjadi USD 200 juta pada 2018.

"Duterte membenahi hubungan ekonomi dengan Cina. Tapi dia juga mewaspadai ongkos politik jika berhubungan terlalu dekat," kata Carla Freeman, Direktur John Hopkins School of Advanced International Studies.

Vietnam adalah satu-satunya negara seteru Cina di LCS yang paling getol mempertahankan klaimnya atas kawasan perairan tersebut. Namun negeri Komunis itu juga menjadi korban strategi kebijakan luar negeri Beijing, yakni "temani yang jauh, serang yang dekat," kata Vuving.

Hubungan kedua negara banyak diwarnai ketegangan seputar Laut Cina Selatan dan konflik air seputar eksploitasi sungai Mekong. Namun pada saat yang bersamaan kedua negara juga menikmati hubungan ekonomi yang berkembang pesat. Sejak 2015, Cina menggandakan investasinya di Vietnam yang mencapai USD 217 miliar pada 2017.

Kucuran dana investasi itu ditanggapi secara skeptis di Malaysia usai kemenangan Mahathir Mohamad dalam pemilu silam. Dia bahkan menyebut aktivitas ekonomi Cina sebagai "versi baru kolonialisme" lantaran perjanjian yang tidak berimbang dengan negara-negara miskin.

Baca juga:Studi: Proyek Infrastruktur Cina Pangkas Kesenjangan di Asia dan Afrika 

Mahathir berjanji akan mengkaji ulang "kesepakatan tidak adil" dengan Cina, termasuk proyek infrastruktur kereta api yang sempat mati suri.

Carla Freeman meyakini kebijakan Malaysia bisa menjadi contoh bagi negara-negara lain yang terbebani oleh utang menumpuk terhadap Cina, untuk "mengkaji ulang kesepakatan investasi Cina."

Hal serupa disarankan Tham Siew Yean, peneliti senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute. Menurutnya semua negara "sebaiknya menegosiasikan proyek raksasa dengan Cina secara hati-hati."

rzn/hp