Ambisi Sepakbola Negeri Tetangga
28 November 2013“Target kami sih tahun 2016 nanti sudah bisa kalahkan Indonesia,” ujar Amandio Sarmento, Sekretaris Jendral FFTL dengan wajah santai. Hari itu sekitar bulan Mei tahun 2011 dan sekitar beberapa tahun sebelumnya tim junior mereka sudah pernah mengalahkan kita di sebuah turnamen U16. Terdengar agak berlebihan? Bisa jadi jika kita melihat skala negara Timor Leste yang praktis berukuran liliput dibanding negara kita yang luar biasa besar ini.
Dua setengah tahun lalu itu saya datang saat Goal Project dari FIFA sedang dicanangkan dan peletakan batu pertama pembangunan lapangan latih di kota Dili baru akan dimulai. Sekitar dua minggu lalu saya kembali ke kota tersebut dan menemukan fasilitas latihan itu sudah berdiri sempurna dan sudah digunakan.
“Ini adalah turnamen antar klub lokal saja, belum liga,” jelas Jose Oliveira yang menemani saya saat kunjungan saya ke Dili kali ini. Hari itu saya menyaksikan pertandingan antara dua tim lokal dalam rangka hari kemerdekaan negeri tersebut yang pada faktanya lumayan seru. Secara kualitas permainan memang sulit untuk dibandingkan dengan apa yang kita punya, tapi setidaknya mereka bermain diatas fasilitas latihan negara yang betul-betul berkualitas.
Futebol Federation de Timor Leste (FFTL) sendiri berencana memulai liga mereka tahun depan. Diikuti hanya oleh sekitar 8 tim yang setidaknya mampu berkompetisi di negeri kecil itu selama semusim. “Setiap distrik akan diminta untuk memiliki klub sendiri, terutama tentu saja Dili,” jelas Amandio saat tak sengaja bertemu saya di samping kantor FFTL yang berada didepan lapangan latih tadi.
Penerapan adalah sesuatu yang memang harus selalu dilakukan dalam perencanaan. Sama seperti syarat “Setiap peserta kompetisi harus memiliki Stadionnya sendiri,” yang diterapkan oleh FA di Inggris pada tahun 1871 kala mereka pertama kali memulai turnamen FA Cup dan kemudian Liga Inggris beberapa tahun kemudian. Lalu kemudian aturan bahwa setiap klub wajib memiliki tim-tim di level junior sebagai pelapis tim utama adalah bagian dari perencanaan yang selalu ada dalam buku-buku panduan di liga manapun….sebenarnya termasuk Indonesia.
Bedanya di Indonesia kita memang terbiasa hidup permisif alias cincay, sehingga aturan kelayakan atau apapun itu menjadi sering diabaikan demi “keselarasan”. Itulah mengapa dari tahun ke tahun kompetisi, kita tak juga memiliki perangkat klub yang apik. Nyaris tak ada klub di Indonesia yang memiliki level pembinaan jauh sampai ke usia sangat muda. “Sama seperti semua tim di Jepang, kami punya tim sampai di level U12,” ujar Hideaki Shoji, Direktur Teknik Ventforet Kofu tim Liga Jepang dimana Andik Vermansah pernah merasakan segala fasilitas yang mereka punya.
Di Indonesia nyaris tiap musim akan dilakukan verifikasi ulang. Setiap klub bahkan seringkali masih belum memiliki pemain hanya di jarak 2 bulan sebelum kompetisi dimulai. “Di Indonesia tidak ada yang namanya klub, kami hanyalah tim-tim yang bertanding dalam sebuah kompetisi yang difasilitasi oleh federasi,” jelas Asher Siregar, Vice President Persija Jakarta dalam kesempatan wawancara dengan Al Jazeera. Tentu saya sepakat dengan pendapat tersebut, selain tak pernah memiliki pemain yang pasti di setiap awal musimnya. Mayoritas klub liga kita selalu memiliki masalah klasik pendanaan, entah akibat ketidak mampuan mencari dana atau memang ketidak percayaan para sponsor untuk menyokong mereka. Salah satu alasannya sebenarnya jelas, karena nyaris semua klub di Indonesia sama sekali tidak (atau belum) mampu memetakan para pendukungnya yang secara kasat mata luar biasa banyak itu.
Sama seperti cabang olahraga lainnya, Sepakbola juga bukan dianggap sebagai sesuatu yang krusial oleh negeri ini. Jadwal kompetisi kita sungguh masih bergantung pada jadwal pemilihan kepala daerah apalagi pemilu negara serta restu dari pihak keamanan. Bayangkan saja jika Arsenal vs Tottenham Hotspurs yang selalu rentan bentrokan di luar Stadion itu harus tidak dapat ijin dari kepolisian London Metro. Atau Galatasaray dan Fenerbahce sama-sama dilarang menyelenggarakan pertandingan di kandangnya akibat terlalu rentan keamanan.
Ventoret Kofu adalah sebuah tim yang berasal dari kota kecil di kota Kofu, propinsi Yamanashi. Jumlah penduduk mereka menurut data sensus terakhir di tahun 2012 tak lebih dari 200 ribu jiwa. Kandang tim ini sendiri, Yamanashi Chuo Bank Stadium hanya berkapasitas sekitar 25.000 tempat duduk saja. Jelas jauh dibanding kapasitas kebanyakan Stadion di negara ini. Namun mereka memiliki segalanya yang justru tidak kita miliki. Lapangan latihan dengan kualitas luar biasa, pembinaan usia muda sampai kanak-kanak dan tentu saja sistem Sepakbola profesional.
Jepang membangun Sepakbolanya secara sistematik sejak tahun 1989. Mereka memulai liga profesionalnya di tahun 1993 dan mulai menuai hasilnya lolos ke Piala Dunia 5 tahun kemudian. Hari ini, praktis mereka boleh menyebut diri mereka sebagai negara terkuat di Asia. Cara yang mereka lakukan sederhana, dengan perencanaan dan menerapkan apa yang sudah direncanakan.
Di era 1980an, nyaris tak ada orang yang tahu Sepakbola Jepang, bahkan masyarakat Jepang sendiri lebih memilih olahraga-olahraga lainnya seperti Baseball, Sumo, Karate, Basket atau bahkan Volley. Kemudian dengan Japan Football Association (JFA) membentuk JLeague sembari memindahkan budaya berkumpul masyarakat lokal ke Stadion dan segala arenanya dijadikan tempat berkumpul, beranjangsana sekaligus bereuni.
Berbagai fasilitas hiburan bisa ditemukan di luar Stadion, lengkap dengan segala atributnya. Pada kecepatan yang sama mereka juga meminta pada semua klub untuk mulai melakukan investasi pemain. Maka dibinalah anak-anak sejak usia sangat muda dari 7 tahun untuk disiapkan menjadi pemain profesional. Kini, mereka adalah kekuatan terkemuka di Asia dan telah berani mencanangkan berada di posisi 8 besar Piala Dunia 2014 sekaligus menjadi juara di Piala Dunia 2050 nanti….dengan para pemain yang bahkan belum lahir hari ini.
Timor Leste mulai membangun Sepakbola mereka sekitar 10 tahun yang lalu di atas puing-puing reruntuhan akibat bumi hangus Indonesia. “Kami memulainya diatas mobil kawan,” kisah Amandio sembari tertawa mengingat masa-masa itu. Mereka memang tak punya kekuatan finansial sekuat Jepang, perjalanan mereka jadi lebih panjang. Hal penting yang harus mereka punya adalah lapangan latih dan Stadion berstandar internasional. Dua hal yang perlahan telah mulai mereka capai.
Satu lapangan sintetis yang menjadi bagian fasilitas modern telah mereka miliki. Saya melihat dan merasakan sendiri bagaimana fasilitas lapangan itu memang sungguh nyaman. Anak-anak muda yang tergabung di tim muda mereka setiap hari menggunakan fasilitas itu.
Tim nasional mereka 9 tahun lalu masih menjadi ajang lumbung gol bagi tim nasional kita. Namun sekitar 5 tahun sejak saat itu, tim junior mereka telah mampu menaklukkan kita. Lalu tim U23 mereka secara perlahan mulai sanggup menipiskan margin kebobolan terhadap tim kita. Terlepas dari beberapa pemain asal negara serumpun mereka yang datang ke Timor dan menggunakan paspor keduanya. Pada akhirnya para junior itu akan dewasa juga dan akan masuk tim utama negara tersebut. Mungkin, itulah saatnya ancaman sebenarnya bagi kita.
“Suatu hari kami memang harus bisa menaklukkan Indonesia, ada hal emosionil jika bisa menaklukkan saudara sendiri…apalagi Anda tahu lah bagaimana perjalanan sejarah (kedua) negara kita ini,” seloroh Jose Oliveira sebelum melepas saya di bandara Nicolau Lobato untuk kembali ke Indonesia.
Andibachtiar Yusuf
@andibachtiar
Filmmaker & Football Reverend