Ambon, Tak Mau Lagi Berdarah
7 September 2006Di atas kapal feri dari Ambon menuju Bandara Pattimura, pemuda-pemudi saling bercengkarama, tua-muda penuh canda. Tak nampak sisa permusuhan antar umat Kristen dan Islam yang dulu melanda Maluku. Kedamaian dan kerinduan akan kembali hidup rukun menjadi harapan warga pulau berbukit-bukit dan berpantai indah ini.
"Harapannya supaya kedamaiaan yang sudah ada dipelihara lagi, supaya tak ada lagi permusuhan seperti dulu, supaya bisa membangun kota Ambon lebih baik dari seblumnya. Kalau bisa Ambon tetap aman seperti sekarang supaya aktivitas bisa berjalan lancar seperti dulu. Harapan Ibu ini, kalau boleh aman supaya kita maju, anak-anak bisa sekolah“
Masih Ada Yang Inginkan Kerusuhan Lagi
Provokasi kadang masih muncul, kendati susah ditelusuri di mana asalnya dan siapa pemicunya. Seperti diceritakan Valentino seorang warga Ambon. Namun, untunglah, masyarakat tak mudah terpancing.
"Yang terakhir bom meledak di Terminal Mardhika sana. Itu bisa dilihat atau dianggap cara untuk memicu permusuhan mungkin. Supaya masyarakat bentrok lagi. Padahal masyarakat sudah damai dan berhubungan secara damai.”
Masyarakat biasa yang telah letih berkonflik, adalah aktor utama dalam proses rekonsiliasi. Seperti digambarkan Ketua Sinode Maluku John Ruhulessin:
“Ada potensi-potensi kultural yang terbangun pada masyarakat. Itu menyakinkan banyak orang bahwa masyarakat memang berprakarsa dalam dirinya sendiri untuk proses-proses damai ini.”
Seruan perdamaian dan persaudaraan dengan mengubur kebencian-kebencian lama, terus disuarakan pemuka agama dan pemerintah daerah. Seperti yang diimbau Gubernur Maluku Albert Ralahalu:
"Mari berpartisipasi aktif dalam pembangunan Maluku, khususnya recovery pasca konflik. Karena rakyat merasa memiliki dan harus bertanggungjawab dalam membangun Maluku bagi kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.”
Wilayah Pemukiman Terbagi Dua
Untuk pergaulan dan interaksi antar umat beragama, situasi di Ambon memang sudah terlihat normal. Boleh dikata, rakyat tidak ragu untuk bercengkerama, saling mengunjungi dan berbaur.
Namun dari segi pemukiman kembali, tampak sebuah masalah besar. Pemukiman warga Ambon kini terpisah-pisah berdasarkan agama. Dulu, di daerah yang mayoritas Islam juga terdapat warga Kristen. Di kawasan yang penghuninya kebanyakan warga Kristen, selalu pula terdapat pula pemukim warga Islam. Kini tidak lagi. Suatu pemukiman hanya dihuni oleh orang Kristen seratus persen, atau orang Islam seratus persen. Trauma kerusuhan di masa silam masih membayangi mereka. Karena saat kerusuhan brutal itu terjadi, mereka yang tinggal di kawasan mayoritas agama lain, menjadi korban pertama.
Pembangunan rumah-rumah dan gedung baru terus berlangsung. Kendati belum dibarengi dengan upaya pembauran melalui pemukiman campur antar agama. Sementara pembangunan kembali mesjid-mesjid dan gereja serta kantor gubernur yang megah tampak mencolok di antara sisa kerusuhan yang belum sepenuhnya dibangun kembali. Ambon masih porak poranda di beberapa lokasi.
Pembangunan Kembali Berjalan Lambat
Jauh dibandingkan Ambon pra-kerusuhan yang begitu bersih. Di sana-sini, apalagi sampai di pelosok, masih ditemui puing-puing gedung dan rumah yang pernah terbakar. Yang mengagetkan, masih ada saja warga yang tinggal di reruntuhan gedung yang terbengkalai.
Ternyata, meski jangka waktu penanganan pengungsi sudah berakhir sejak Mei 2006, sekitar 3.000 pengungsi masih belum kembali ke tempat asal. Masalahnya, menurut Mariam, salah seorang pengungsi asal Arahuru, dana bantuan pengungsi belum juga diterima.
“Uang BBR, bahan bangunan rumah, bisa 12 sampai 10 juta rupiah. Tapi itu belum dipotong, untuk pengurus katanya. Saya belum dapat sampai sekarang. Alasanya uang itu belum cair. Untuk makan pokoknya cari-cari sedikit di pasar.”
Menjalin Persaudaraan Yang Terputus
Di luar itu, masyarakat Ambon mulai menengok lagi budaya leluhur "Pela Gandong“, yang sempat dicampakkan kala konflik meletus. Pela Gandong adalah ikatan persaudaraan antara kampung. Biasanya antar kampung yang berbeda agama. Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia MUI Maluku Idrus Toekan, di kawasan Batu Merah, tempat asal mula konflik, tradisi pela sudah dijalankan.
“Kita lihat Batu Merah dengan Paso sudah melakukannya. Kemudian di Jazirah-Leihitu sudah juga. Ada beberapa desa anatar Islam dan Kristen sudah melakukan pemanasan (ikatan persaudaraan).”
Bukan Konflik Antar Agama
Di Batu Merah, konflik besar Ambon bermula. Kala itu, terjadi perkelahian antar preman. Antara seorang pemuda dari Batu Merah yang mayoritas Muslim dengan seorang pemuda dari Mardikha yang mayoritas Kristen.
Kejadian itu dimanipulasi menjadi perkara antar agama, yang segera menjalar ke tempat-tempat lain di Maluku. Darah dan air mata tak kunjung reda hingga konflik besar kedua di tahun 2004. Kini menurut Ketua MUI Maluku Idrus Toekan, masyarakat menyadari bahwa konflik berdarah itu bukanlah murni agama.
“Itu ada satu tim independen yang dibentuk mpemerintah terdiri dari Komnas HAM, para jendral dan polisi dan lain-lain. Mereka bicara dengan pihak Islam dan Kristen. Tapi pemerintah pusat tidak pernah mengumumkan hasil dari tim itu. Berbagai kalangan bertangya-tanya siapa aktornya? Kesimpulan saya, dari hasil diskusi-diskusi, pemerintah pusat pasti sudah tahu. Tapi nuansa politiknya lebih besar dari nuansa hukumnya. Kerusuhan terjadi dari transisi reformasi. Jatuhnya pemerintahan Soeharto kemudian Habibie. Apa permainan politik dibelakangnya, saya tidak tahu.”
Jangan Mudah Terpancing
Yang dikuatirkan, letupan-letupan kecil masih mungkin terjadi. Salah satunya berkaitan persaingan politik lokal, misalnya dalam menghadapi pemilihan kepala daerah. Untuk itu, para tokoh agama tak berhenti berkampanye agar masyarakat tak terpancing untuk berkonflik lagi gara-gara Pilkada. Seperti yang diungkapkan Ketua Sinode Maluku, John Rutulessin.
"Berbicara dengan tokoh agama dan umat. Untuk menjaga agar agama tak lagi dipakai sebagai kendaraan politik. Ini yang kami hindari sekarang.”
Maluku dengan ibukotanya Ambon memang istimewa. Provinsi tertua dalam sejarah Indonesia merdeka ini dikenal dengan kawasan Seribu Pulau, serta memiliki keanekaragaman sosial budaya dan kekayaan alam yang berlimpah. Sesuatu yang dihancurkan oleh konflik antar agama tempo hari. Namun kini perlahan mulai dipulihkan, dengan kesadaran penuh rakyat Ambon Manise.