Amnesty International mendesak pemerintahan baru Joko Widodo untuk menghapuskan hukuman mati di Indonesia. Menurut Amnesty International hukuman mati tidak manusiawi dan bermasalah.
Iklan
Amnesty International mencatat, jumlah pelaksanaan eksekusi mati di dunia terus menurun. Pada tahun 2016, angkanya masih di atas 1.000 kasus eksekusi, pada tahun 2017, jumlah tersebut kemudian menurun menjadi di bawah seribu eksekusi.
Namun, situasi di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Berbincang dengan Deutsche Welle, aktivis Amnesty International Indonesia, Papang Hidayat menjabarkan jumlah vonis hukuman mati di Indonesia masih banyak setiap tahunnya. Pemerintahan baru Jokowi diharapkan dapat melakukan perubahan.
Deutschw Welle (DW): Amnesty International semakin gencar memberi tekanan bagi pemerintah untuk mengubah kebijakannya soal hukuman mati. Seberapa mengkhawatirkannya situasinya sekarang?
Papang Hidayat (PH): Ini salah satunya karena sejak 2015 sampai 2016, Indonesia telah melakukan eksekusi mati ulang sebanyak tiga gelombang terhadap 18 orang, dan jumlah ini agak mengkhawatirkan, karena dibanding periode pemerintahan sebelumnya, di bawah Presiden Yudhoyono, dalam 10 tahun itu, 22 orang dieksekusi mati, jadi pemerintahan Jokowi dalam waktu dua tahun itu sudah mendekati 18 orang dan dia sebetulnya membuat satu langkah yang kontroversial di mata aktivis HAM dengan mengumumkan bahwa dia akan mengeksekusi mati terpidana kasus narkotika. Jadi dia bilang bahkan dia tidak mau mempertimbangkan pemberian grasi terhadap terpidana mati untuk kasus narkoba. Nah, ini tentu saja sangat bermasalah buat isu hak asasi manusia tapi juga secara politik juga bermasalah.
DW: Dapat Anda jelaskan pengaruhnya di bidang politik?
PH: Karena salah satu prioritas pemerintah Indonesia di kementrian luar negerinya adalah menjamin semua warga negara Indonesia untuk terhindar dari eksekusi mati, jadi ada kebijakan politik yang bertolak belakang. Untuk komunitas luar negeri, dia minta penolakan hukuman mati buat WNI, tetapi di dalam negeri, hal itu justru dilanjutkan. Nah, untungnya semenjak tahun 2016, belum lagi berlanjut eksekusi mati, tapi masih ada catatan Amnesty International yang mengkhawatirkan adalah vonis hukuman mati itu masih banyak setiap tahunnya.
DW: Apa sebetulnya yang melatarbelakangi pemerintahan Joko Widodo bisa melakukan eksekusi yang mana dalam pemerintahan SBY sendiri tidak sebegitu banyaknya? Apakah tekanan dari partai atau kelompok-kelompok tertentu?
PH: Untuk tahun 2015 itu ada kesan Presiden Jokowi ingin menunjukkan ke publik, dia adalah presiden yang tegas, karena di awal 2015 itu, dia menghadapi masalah berhadapan dengan koalisi partai politik di parlemen yang lebih banyak beroposisi dengan dia. Kedua, secara bersamaan, dia memiliki masalah internal dengan partainya sendiri, PDI Perjuangan, untuk mendefinisikan apakah dia petugas partai atau dia presiden. Nah, kesannya dia ingin menunjukkan ke publik, baik itu internasional maupun nasional, bahwa dialah penguasa di Indonesia dengan membuat langkah kontroversial mau mengeksekusi mati orang dan kebanyakan mereka-mereka yang masuk daftar dalam daftar orang yang akan dieksekusi itu adalah kebanyakan warga negara asing. Jadi dia ingin menunjukkan bahwa dia berani.
Metode Hukuman Mati
Meski suara untuk menghapus hukuman mati semakin lantang, namun pembunuhan yang secara hukum legal ini masih dipraktikkan di banyak negara di dunia. Berikut beberapa metode hukuman mati yang masih lazim saat ini.
Foto: picture-alliance/dpa
Tembak
Terpidana dengan mata tertutup kain hitam, duduk atau berdiri terikat di depan satu eksekutor atau satu regu tembak. Satu regu tembak biasanya terdiri dari beberapa personil militer atau aparat penegak hukum, yang diperintahkan untuk menembak secara bersamaan. Metode ini dipakai diantaranya di Indonesia, Cina, Arab Saudi, Taiwan, Korea Utara.
Foto: Fotolia/Scanrail
Suntikan Maut
Biasanya terdiri dari tiga bahan kimia: natrium pentonal (obat bius), pancuronium bromide (untuk melumpuhkan) dan kalium klorida (untuk menghentikan jantung). Terdengar tidak menyakitkan. Namun, jika eksekusi gagal, terpidana mati bisa meregang ajal secara menyakitkan dalam waktu cukup lama. Metode ini dipakai diantaranya di Amerika Serikat, Cina, Vietnam.
Foto: BilderBox
Kursi Listrik
Terpidana mati sebelumnya dicukur, sebelum mengenakan topi metal berelektroda yang di dalamnya dilapisi spons yang dibasahi larutan garam. Listrik dengan tegangan antara 500 dan 2000 volt dialirkan selama 30 detik, dan diulang beberapa kali sampai terpidana dinyatakan meninggal. Metode ini dipakai di Amerika Serikat.
Foto: picture-alliance/dpa
Gantung
Diantaranya dipakai di Afghanistan, Bangladesh, India, Iran, Iraq, Jepang, Malaysia, dan Kuwait. Eksekusi hukuman mati ini pertama kali diterapkan sekitar 2.500 tahun lalu pada masa Kekaisaran Persia. Di beberapa negara terpidana ditimbang berat badannya untuk menentukan panjang tali. Jika tali terlalu pendek, terpidana dapat tercekik, dan kematian baru datang setelah 45 menit.
Foto: vkara - Fotolia.com
Pancung
Pemenggalan kepala telah digunakan sebagai satu bentuk eksekusi mati selama ribuan tahun. Saat ini, Arab Saudi adalah satu-satunya negara yang memakai metode ini. Biasanya eksekusi dilaksanakan di halaman mesjid usai shalat Jumat atau pada hari raya. Menurut Amnesty International, setidaknya 79 orang dihukum pancung di Arab Saudi pada tahun 2013.
Foto: picture-alliance/dpa/Abir Abdullah
Lainnya
Masih ada beberapa metode eksekusi mati, walaupun jarang dipakai. Diantaranya adalah: rajam, kamar gas dan juga menjatuhkan terpidana dari ketinggian.
Foto: picture-alliance/dpa
6 foto1 | 6
DW: Apakah tidak ada langkah yang bisa seharusnya diambil untuk mengubah situasi ini sehingga pemerintah Indonesia bisa bergerak ke arah menentang kebijakan hukuman mati, mengingat negara-negara lain sudah bergerak ke arah sana?
PH:: Inilah yang mengkhawatirkan, Indonesia mau menampilkan citra modern, dia di komunitas internasional sebagai negara muslim terbesar di dunia tapi ramah terhadap demokrasi dan HAM. Hukuman mati tentu saja bermasalah karena menurut catatan Amnesty Intrenational itu hanya sekitar 20-an negara yang melakukan eksekusi mati setiap tahun. Indonesia tentu saja akan menjadi buruk catatan rekornya di situ. Tapi ada peluang di mana masyarakat sipil itu bekerja keras untuk meyakinkan pemerintahan Jokowi bahwa hukuman mati itu bukanlah solusi melawan kejahatan. Bahkan, beberapa upaya itu cukup berhasil dengan membuat beberapa nama orang yang ingin dieksekusi mati itu terhindarkan di detik-detik terakhir dengan menampilkan berita soal Mary Jane, seorang perempuan Filipina yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kemungkinan human trafficking. Ada juga terpidana mati perempuan WNI yang ceritanya mirip seperti Mary Jane, dan akhirnya itu bisa juga mengubah Jokowi di detik-detik terakhir tidak melanjutkan eksekusi mati. Di lain pihak, banyak lembaga non organisasi pemerintah (LSM/NGO) bekerja keras mempersoalkan vonis hukuman mati dengan berbagai cara. Ada lembaga, yang namanya Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, telah menggugat putusan hukuman mati ke ombudsman dan menang. Jadi sebetulnya, jaksa agung dinyatakan ilegal mengeksekusi mati.
Ada lembaga Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS). Itu dia bahkan bekerja sama dengan komunitas forensic medis, dan bisa menemukan ada skandal dalam proses peradilan terhadap terpidana mati yang ternyata masih anak-anak, tetapi usianya dipalsukan. Akhirnya, di Mahkamah Agung hukumannya (dikurangi) dari hukuman mati menjadi lima tahun. Nah, ini menjadi semacam contoh bahwa di Indonesia banyak sekali, dan ini didukung riset Amnesty International, banyak putusan-putusan vonis hukuman mati itu bermasalah. Terakhir nampaknya, ada pembisik Jokowi yang memberikan masukan seperti itu. Di akhir gelombang eksekusi mati ketiga., dari 14 orang hanya empat orang yang dieksekusi dan kemudian Kejaksaan Agung menyatakan dia siap mengkaji vonis terpidana mati itu. Tapi sayangnya sampai sekarang, dua tahun kemudian belum ada putusan hasilnya. Review-nya, apakah dari sebanyak itu vonis hukuman mati ada masalahnya di mana, dia belum umumkan ke publik.
Jokowi dan Ilusi Hukuman Mati
Presiden Jokowi menggunakan hukuman mati sebagai jurus andalan dalam perang melawan narkoba. Padahal berbagai studi ilmiah membuktikan hukuman mati tidak mampu menurunkan angka kejahatan. Oleh Rizki Nugraha
Foto: Reuters/Romeo Ranoco
Keyakinan Jokowi
Gigih cara Presiden Joko Widodo membela hukuman mati. Indonesia berada dalam darurat narkoba, dalihnya, meski angka kematian akibat narkoba jauh lebih rendah ketimbang rokok atau akibat kecelakaan lalu lintas. Tapi realitanya hukuman mati adalah hukum positif di Indonesia dan dia yakin, membunuh pelaku bisa menciptakan efek jera buat yang lain. Benarkah?
Foto: Reuters/Olivia Harris
Pepesan Kosong
Studi ilmiah di berbagai negara menyebutkan sebaliknya. Hukuman mati tidak serta merta mampu mengurangi kriminalitas. Sebuah penelitian di Amerika Serikat oleh American Civil Liberties Union bahkan menemukan negara bagian yang menerapkan hukuman mati justru mengalami peningkatan tindak kriminal. Kepolisian AS juga menganggap eksekusi mati sebagai cara paling tidak efektif memerangi kriminalitas
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Sato
Jagal Paling Produktif
Hukuman mati di Indonesia adalah peninggalan era kolonial Belanda. Rajin diterapkan oleh Suharto buat melenyapkan musuh politiknya, hukuman mati kemudian lebih banyak dijatuhkan dalam kasus pembunuhan. Pada era Jokowi pemerintah aktif menggunakan hukuman mati terhadap pengedar narkoba, jumlahnya lebih dari 60 eksekusi, baik yang sudah dilaksanakan atau masih direncanakan.
Cacat Keadilan
Sejak menjabat presiden 2014 silam, Jokowi telah memerintahkan eksekusi mati terhadap lebih dari 60 terpidana. Celakanya dalam kasus terpidana mati Pakistan, Zulifkar Ali, proses pengadilan diyakini berlangsung tidak adil. Ali diklaim mengalami penyiksaan atau tidak didampingi penerjemah selama proses persidangan, tulis Jakarta Post.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Nagi
Bantuan dari Atas
Terpidana mati lain, Freddy Budiman, bahkan mengklaim mampu mengedarkan narkoba dalam skala besar dari dalam penjara berkat bantuan pejabat di kepolisian dan Badan Narkotika Nasional. Sejauh ini tidak satupun pejabat tinggi kepolisian yang pernah diselidiki terkait tudingan semacam itu.
Foto: Getty Images/AFP/B. Nur
Pendekatan Keamanan
Kendati terbukti tidak efektif, pemerintahan Jokowi menjadikan hukuman mati sebagai ujung tombak dalam perang melawan narkoba. Ironisnya pemerintah terkesan belum serius menyelamatkan pengguna dari ketergantungan. Saat ini BNN cuma memiliki empat balai rehabilitasi di seluruh Indonesia.
Foto: picture-alliance/dpa/M. Irham
Solusi Buntu
Menurut BNN, tahun 2011 kasus penyalahgunaan narkoba mencapai hingga 2,8 juta orang. Angka tersebut naik sebesar 0,21 persen dibandingkan tahun 2008. Tapi kini tingkat penyalahgunaan narkoba diyakini meningkat menjadi 2,8 persen alias 5,1 juta orang. Padahal hukuman mati sudah rajin diterapkan terhadap pengedar narkoba sejak tahun 2004.
Foto: Getty Images/AFP/B. Ismoyo
Uang Terbuang?
Terlebih eksekusi mati bukan perkara murah. Untuk setiap terpidana, Polri menganggarkan hingga 247 juta, sementara taksiran biaya versi Kejaksaan Agung berkisar di angka 200 juta. Artinya untuk 60 terpidana mati yang telah atau masih akan dieksekusi, pemerintah harus mengeluarkan dana hingga 15 milyar Rupiah.
Foto: picture alliance/ZUMA Press/S. Images
Geming Istana
Beberapa pihak bahkan mengatakan satu-satunya yang berhasil dicapai Jokowi dengan mengeksekusi mati pengedar narkoba adalah memancing ketegangan diplomasi dengan negara lain. Namun begitu Jokowi bersikeras akan tetap melanjutkan gelombang eksekusi mati terhadap terpidana narkoba.