Amnesty Kecam Penggunaan Senjata Tidak Mematikan Oleh Polisi
14 Maret 2023
Lembaga HAM itu mencatat penggunaan senjata tidak mematikan oleh kepolisian di 30 negara dunia meningkat drastis. Tembakan peluru karet tercatat paling sering menyebabkan luka pada mata, atau bahkan kematian.
Iklan
Kesimpulan itu diumumkan lembaga pemantau HAM, Amnesty International, dalam sebuah riset tentang intensitas dan dampak penggunaan peluru karet dalam aksi demonstrasi, Selasa (14/3).
Organisasi yang bermarkas di London, Inggris, menuntut regulasi global yang lebih ketat terhadap perdagangan dan penggunaan "senjata tidak mematikan.”
"Ribuan demonstran dan saksi mata mengalami luka srius, sementara belasan orang tewas oleh penggunaan senjata tidak mematikan secara membabi buta dan berlebihan oleh aparat keamanan,” demikian bunyi riset berjudul "Mataku meledak” itu.
Senjata tidak mematikan mencakup peluru karet dan granat air mata. Kedua jenis senjata bisa mematikan jika dilepaskan dari jarak dekat atau mengenai organ vital. Riset Amnesty dilakuan di 30 negara di Amerika Tengah dan Selatan, Eropa, Timur Tengah, Afrika dan Amerika Serikat.
Kesaksian Korban Selamat Tragedi Kanjuruhan
02:35
"Kami menemukan ragam kasus cedera mata, termasuk bola mata pecah, terlepasnya retina dan hilangnya kemampuan melihat,” tulis Amnesty dalam keterangan persnya.
Penggunaan eksesif timbulkan korban
Di Cile, tindak aparat keamanan menghadapi gelombang protes sejak Oktober 2019 sejauh ini sudah menyebabkan lebih dari 30 kasus kebutaan, menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Iklan
Adapun di negara lain, demonstran tercatat mengalami cedera parah, seperti patah tulang atau keretakan pada tengkorak, cedera otak, cedera organ dalam seperti tertusuknya jantung dan paru-paru oleh tulang rusuk yang patah,” imbuh Amnesty.
Potret Aksi Protes Nasional Menentang Kudeta Militer di Myanmar
Warga Myanmar melakukan protes nasional menentang kudeta militer. Berbagai kalangan mulai dari dokter, guru, dan buruh menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi dan pemulihan demokrasi Myanmar.
Foto: AFP/Getty Images
Dokter dan perawat di garda depan
Kurang dari 24 jam setelah kudeta militer, para dokter dan perawat dari berbagai rumah sakit mengumumkan bahwa mereka melakukan mogok kerja. Mereka juga mengajak warga lainnya untuk bergabung dalam kampanye pembangkangan sipil.
Foto: REUTERS
Koalisi protes dari berbagai kalangan
Sejak ajakan pembangkangan sipil tersebut, para pelajar, guru, buruh dan banyak kelompok sosial lainnya bergabung dalam gelombang protes. Para demonstran menyerukan dan meneriakkan slogan-slogan seperti "Berikan kekuatan kembali kepada rakyat!" atau "Tujuan kami adalah mendapatkan demokrasi!"
Foto: Ye Aung Thu/AFP/Getty Images
Para biksu mendukung gerakan protes
Para Biksu juga turut dalam barisan para demonstran. "Sangha", komunitas monastik di Myanmar selalu memainkan peran penting di negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha ini.
Foto: AP Photo/picture alliance
Protes nasional
Demonstrasi berlangsung tidak hanya di pusat kota besar, seperti Yangon dan Mandalay, tetapi orang-orang juga turun ke jalan di daerah etnis minoritas, seperti di Negara Bagian Shan (terlihat di foto).
Foto: AFP/Getty Images
Simbol tiga jari
Para demonstran melambangkan simbol tiga jari sebagai bentuk perlawanan terhadap kudeta militer. Simbol yang diadopsi dari film Hollywood "The Hunger Games" ini juga dilakukan oleh para demonstran di Thailand untuk melawan monarki.
Foto: REUTERS
Dukungan dari balkon
Bagi warga yang tidak turun ke jalan untuk berunjuk rasa, mereka turut menyuarakan dukungan dari balkon-balkon rumah mereka dan menyediakan makanan dan air.
Foto: REUTERS
Menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi
Para demonstran menuntut dikembalikannya pemerintahan demokratis dan pembebasan Aung San Suu Kyi serta politisi tingkat tinggi lain dari partai yang memerintah Myanmar secara de facto, yakni Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Militer menangkap Aung San Suu Kyi dan anggota NLD lainnya pada hari Senin 1 Februari 2021.
Foto: Reuters
Dukungan untuk pemerintahan militer
Pendukung pemerintah militer dan partai para jenderal USDP (Partai Solidaritas dan Pembangunan Persatuan), juga mengadakan beberapa demonstrasi terisolasi di seluruh negeri.
Foto: Thet Aung/AFP/Getty Images
Memori Kudeta 1988
Kudeta tahun 1988 selalu teringat jelas di benak warga selama protes saat ini. Kala itu, suasana menjadi kacau dan tidak tertib saat militer diminta menangani kondisi di tengah protes anti-pemerintah. Ribuan orang tewas, puluhan ribu orang ditangkap, dan banyak mahasiswa dan aktivis mengungsi ke luar negeri.
Foto: ullstein bild-Heritage Images/Alain Evrard
Meriam air di Naypyitaw
Naypyitaw, ibu kota Myanmar di pusat terpencil negara itu, dibangun khusus oleh militer dan diresmikan pada tahun 2005. Pasukan keamanan di kota ini telah mengerahkan meriam air untuk melawan para demonstran.
Foto: Social Media via Reuters
Ketegangan semakin meningkat
Kekerasan meningkat di beberapa wilayah, salah satunya di Myawaddy, sebuah kota di Negara Bagian Kayin selatan. Polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet.
Foto: Reuters TV
Bunga untuk pasukan keamanan
Militer mengumumkan bahwa penentangan terhadap junta militer adalah tindakan melanggar hukum dan ''pembuat onar harus disingkirkan''. Ancaman militer itu ditanggapi dengan bentuk perlawanan dari para demonstran, tetapi juga dengan cara yang lembut seperti memberi bunga kepada petugas polisi. Penulis: Rodion Ebbighausen (pkp/ gtp)
Foto: Ye Aung Thu/AFP/Getty Images
12 foto1 | 12
Sementara itu, kasus kematian akibat granat air mata dilaporkan di Irak, di mana aparat keamanan menggunakan amunisi yang 10 kali lipat lebih berat ketimbang granat air mata pada umumnya. Menurut Amnesty, tindak aparat di Irak menyebabkan puluhan kasus kematian pada 2019.
Di Spanyol, polisi dilaporkan mulai sering menggunakan peluru karet sebesar bola tenis untuk menghadapi demonstran. Menurut organisasi HAM lokal, Stop Balas de Goma, seorang demonstran tewas setelah tertembak di bagian kepala.
"Pengawasan global yang berkekuatan hukum terhadap produksi dan perdagangan senjata tidak mematikan, termasuk juga panduan pengunaan, sagat dibutuhkan untuk memerangi siklus penyalahgunaan,” kata peneliti Amnesty, Patrick Wilcken.
Dalam risetnya, Amnesty Internationa bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Omega, yang bergabung dengan 28 organisasi lain untuk mendesak PBB menyusun Perjanjian Perdagangan Bebas Penyiksaan, yang mencakup penjualan senjata tidak mematikan bagi aparat keamanan.