1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikEtiopia

Amnesty: TPLF Balas Serangan Etiopia Dengan Pemerkosaan

16 Februari 2022

Amnesty International melaporkan kejahatan kemanusiaan oleh gerlilyawan Tigray di kota-kota Amhara. Perempuan di bawah umur mengalami pemerkosaan massal dan kekerasan seksual. Korban termuda baru berusia 14 tahun.

Gerilayawan TPLF
Gerilayawan TPLF Foto: YASUYOSHI CHIBA/AFP

Laporan Amnesty International, yang dirilis pada Selasa (15/2), dibuat berdasarkan testimoni 30 penyintas kejahatan seksual dan korban lain di desa Chenna dan Kobo. Insiden dicatat terjadi antara Agustus dan September 2021 silam. 

Periode itu ditandai pendudukan Fron Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), terhadap kota dan desa di wilayah perbatasan Amhara. Hampir separuh korban kekerasan sekual mengalami pemerkosaan massal. Doktor mengaku menemukan bukti forensik, bahwa pelaku menusukkan bayonet ke dalam kemaluan korban.

Seorang remaja perempuan berusia 14 tahun melaporkan kepada Amnesty, gerilayawan TPLF memerkosa dia dan ibunya sebagai tindakan balas dendam terhadap keganasan militer Etiopia di Tigray.

"Salah seorangnya memerkosa saya di halaman luar dan yang lain memerkosa ibu saya di dalam rumah,” kata dia. "Ibu saya sekarang sangat sakit, dia mengalami depresi. Kami tidak membahas apa yang sudah terjadi, mustahil.”

Investigasi teranyar melanjutkan laporan Amnesty, November silam, yang mendokumentasikan kejahatan seksual oleh TPLF di kota Amhara, Nifas Mewcha.

Kota Nifas Mewcha di utara kawasan Amhara, Etiopia.Foto: Belete Tigabe

"Bukti-bukti semakin menggunung yang menunjukkan pasukan Tigray melakukan kejahatan perang dan kemungkinan kejahatan kemanusiaan di area-area yang didudukinya di Amhara, sejak Juli 2021,” kata Wakil Direktur Afrika Timur di Amnesty International, Sarah Jackson. 

"Kejahatan mereka termasuk insiden pemerkosaan luas, pembunuhan dan penjarahan, di antaranya di sejumlah rumah sakit,” imbuhnya lagi.

Perang mereda, damai menjauh

Laporan Amnesty dipublikasikan bertepatan pada hari ketika parlemen Etiopia mencabut status darurat perang yang berlaku sejak November silam. Kabar itu dipastikan oleh Kementerian Luar Negeri lewat akun twitternya, Selasa (15/2).

Langkah itu disambut Amerika Serikat yang mengimbau Addis Abeba agar "secepatnya” membebaskan warga sipil asal Tigray yang ditahan. Status darurat diberlakukan ketika TPLF bergerak mendekati ibu kota. 

Buntutnya pemerintah dan sebagian warga menangkapi warga etnis Tigray yang hidup di ibu kota dan dicurigai berkomplot dengan TPLF. Hal ini dikecam oleh dunia internasional, termasuk lembaga-lembaga perlindungan HAM. 

Hingga kini belum jelas apakah para terpidana perang itu akan dibebaskan setelah status darurat dicabut.

Juru bicara Kemenlu AS, Ned Price, mengatakan langkah pencabutan UU Darurat Perang adalah "langkah penting lain yang diambil pemerintah Etiopia untuk membuka jalan bagi resolusi damai,” kata dia seperti dikutip AFP.

"Kami mengimbau agar langkah ini diikuti dengan pembebasan terhadap semua individu yang ditahan tanpa dakwaan di bawah status darurat perang,” imbuhnya. "Diakhirinya penahanana mereka akan memfasilitasi dialog nasional yang inklusif dan produktif.”

Etiopia terbelah sejak 15 bulan terakhir antara gerilayawan etnis Tigray di utara dan pemerintah pusat yang mewakili etnis-etnis lain. Perang dikabarkan berkecamuk secara brutal. 

Meski mencabut UU Darurat Perang, Etiopia tetap membombardir gerilayawan TPLF di sejumlah lokasi di Tigray dengan pesawat nirawak, menurut laporan saksi mata dan petugas kemanusiaan. Sebagai balasan, TPLF Januari silam mengumumkan operasi militer di wilayah etnis Afar yang berdekatan.

rzn/vlz (afp,dpa)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait