Apakah bisa mencegah munculnya korban prostitusi paksa dengan melindungi pelakunya? Paradigma itu ironisnya diusulkan organisasi HAM, Amnesty International yang sontak mendulang kecaman dari aktivis perempuan.
Iklan
Organisasi HAM Amnesty International sepakat mengadopsi kebijakan yang mendukung dekriminalisasi prostitusi. "Pekerja seks termasuk kelompok yang paling termajinalkan dan selalu terancam dikriminasi, kekerasan dan penganiayaan," ujar Sekjend AI, Salil Shetty.
Kelompok yang berbasis di Dublin, Irlandia, itu juga mendesak agar pihak ketiga dalam bisnis prostitusi, misalnya pemilik rumah bordel, tidak lagi dipidanakan. Amnesty berdalih, berbagai riset menunjukkan dekriminalisasi prostitusi adalah cara terbaik melindungi hak pekerja seks.
Arah kebijakan Amensty dianggap penting karena organisasi nirlaba tersebut memiliki akses buat melobi pemerintah di berbagai negara.
Hujan Kecaman
Sebab itu pula kini Amnesty kebanjiran kritik. Koalisi Melawan Perdagangan Perempuan (CATW) misalnya menulis surat terbuka yang mengecam organisasi tersebut. "Tidak logis jika ada anggapan bahwa untuk melindungi mereka yang dieksploitasi, kita harus melindungi pelaku eksploitasi," ujar Direktur CATW, Taina Bien Aime.
Lebih dari 8500 orang telah menandatangani petisi online melawan Amnesty yang digagas CATW.
Kecaman juga datang dari bekas pekerja seks. "Kami merasa Amnesty mendukung lelaki yang membunuh perempuan dan ini adalah sebuah tamparan," kata Bridget Perrier, perempuan Kanada yang bekerja sebagai pelacur sejak usia 12 tahun.
Kritik lain menyebut rancangan dekriminalisasi prostitusi yang diusung Amnesty gagal memahami alasan utama perempuan bekerja di industri seks, termasuk kemiskinan, kekerasan rumah tangga dan perdagangan manusia.
Lewat Riset dan Penelitian
Namun Amnesty berdalih, proposal tersebut tidak mengubah posisi mereka yang menilai buruh paksa dan perdagangan manusia dengan tujuan seks termasuk pelanggaran berat Hak Azasi Manusia dan sebab itu harus dipidanakan.
Kesepakatan dewan organisasi terkait dekriminalisasi prostitusi disebut diambil setelah melalui proses konsultasi dan penelitian selama dua tahun. Amnesty mengklaim pihaknya mempelajari bukti-bukti dari PBB dan menggelar penelitian di berbagai negara, antara lain Argentina, Hong Kong, Norwegia dan Papua Nugini.
Kritik pedas tidak cuma datang dari aktivis. Berbagai bintang Hollywood juga mengecam Amnesty sejak proposal tersebut dipublikasikan, termasuk di antaranya Meryl Streep, Kate Winslet dan Emma Thompson.
rzn/yf (afp,rtr)
Filipina: Anak-anak dari Wisata Seks
Mereka terlihat berbeda dari anak-anak lain, tumbuh tanpa ayah dan dalam kemiskinan. Mereka adalah anak-anak wisatawan seks di Filipina.
Foto: DW/R. I. Duerr
Tergantung pada Industri Seks
Kemiskinan dan tidak adanya peluang kerja, kerap membawa gadis-gadis muda di kota Olopango, terjun dalam dunia prostitusi. Banyak juga perempuan muda dari kota lian datang ke sini untuk mencari pekerjaan di bar. Di negara bermayoritas Katolik ini , alat kontrasepsi sulit didapat. Akibatnya, setiap tahun lahir ribuan anak berayahkan wisatawan asing. Kebanyakan dari mereka tumbuh dalam kemiskinan.
Foto: DW/R. I. Duerr
Generasi tanpa Ayah
Daniel (4 tahun) kemungkinan tidak akan pernah mengenal ayahnya, seorang Amerika. Kedua kakaknya berayahkan orang Filipina, yang juga meninggalkan ibunya. Sejak bertahun-tahun ia bekerja di sebuah bar. Agar dapat memberikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anaknya, kini ia berharap dapat bekerja di sebuah pabrik elektro milik Korea Selatan.
Foto: DW/R. I. Duerr
Warisan Wisata Seks
Bermain dengan bola basket merupakan aktivitas favorit Ryan (tengah). Ayahnya berasal dari Jepang. Ibu Ryan masih bekerja sebagai PSK di sebuah bar di Olongapo. Ryan memiliki empat saudara, juga dengan ayah yang berbeda-beda.
Foto: DW/R. I. Duerr
Peluang Karir?
Anak berkulit putih, seperti Sabrina (tengah) kadang dijuluki "Bangus" atau Ikan Bandeng. Dalam lingkungan mereka, anak-anak ini biasanya "dibedakan". Namun, berkat wajah mereka kadang mereka beruntung bisa berkarir di Dunia film atau mode. Sabrina, maupun ibunya, tidak memiliki kontak lagi dengan ayahnya di Jerman.
Foto: DW/R. I. Duerr
Ditinggal sebelum Bertemu
Setiap hari Leila menyandang ranselnya yang penuh dengan buku dan pensil. Gadis berusia lima tahun ini tidak sabar lagi untuk bisa pergi ke sekolah tahun depan. Ayahnya 'kabur' kembali ke Amerika Serikat Saat Leila masih berada dalam kandungan.
Foto: DW/R. I. Duerr
Tanpa Peluang
Ayah Ayla merupakan seorang Amerika berkulit hitam. Ibunya, yang tidak pernah belajar membaca dan menulis, dulu bekerja sebagai PSK . Sekarang ia membuka jasa cuci baju.
Foto: DW/R. I. Duerr
Stigma Seumur Hidup
Anak-anak yang berayahkan warga Afrika atau Afro-Amerika kerap menghadapi "diskriminasi" di lingkungan mereka, dengan menyebut mMereka "Negro".
Foto: DW/R. I. Duerr
Tidak Mampu Berobat
Lester masih berusia satu tahun saat ayahnya meninggal. Selama tujuh tahun, ibunya, Jessica, hidup bersama dengan ayah Lester, seorang Amerika, yang merupakan manajer di sebuah bar tempat Jessica bekerja. Lester menderita pneumonia parah. Namun ibunya yang kini bekerja di sebuah laundry tidak memapu membawanya ke dokter.
Foto: DW/R. I. Duerr
Hidup Baru
Putra Angela, Samuel, berayahkan seorang warga Swiss. Angela tidak memiliki kontak lagi dengannya sejak ia mengandung Samuel. Kini Angela bersuamikan orang Filipina, dan telah dikaruniai bayi. Pekerjaannya di bar ia tinggalkan demi suaminya.
Foto: DW/R. I. Duerr
Kabar Terputus
Sejak lahir ibu Rachel, Pamela (kiri), tunarungu dan tunawicara. Pada usia 16 tahun, Pamela mulai bekerja di bar di Olongapo. Dengan ponslenya, Rachel menunjukkan foto ibunya, Saat berumur sekitar 20 tahun, bersama pacar Jermannya. Sejak kelahiran Rachel, ayahnya kerpa mengirim uang dari Jerman. Namun sejak beberapa bulan, tidak ada kabar lagi darinya.