Anak Korban Konflik Diajarkan Membunuh Sebelum Menghitung
29 Juni 2021
Sebanyak 130 orang dibantai di Burkina Faso oleh sekelompok bocah berusia belasan tahun pada awal Juni silam, lapor PBB. Tragedi itu adalah bukti teranyar maraknya keterlibatan anak-anak dalam beragam konflik di dunia.
Iklan
Anak-anak di kawasan konflik lebih dulu belajar melakukan kejahatan kemanusiaan, sebelum bisa menghitung. Kesimpulan muram itu disampaikan Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas-Greenfeld, di hadapan Dewan Keamanan PBB, Senin (28/6), antara lain dengan merujuk kepada kasus di Burkina Faso.
Dalam tragedi itu, pelaku "rata-rata berusia antara 12 hingga 14 tahun,” kata Linda. Mereka menyerbu sebuah desa di kawasan Sahel, dan melakoni adegan horor, di mana "bocah membunuh bocah, anak-anak membantai anak-anak."
Selama masa dinasnya sebagai diplomat konflik, Linda mengaku telah sering bertemu korban perang, tapi pengalaman anak-anak lah yang "paling membuat patah hati.”
"Anak-anak akan menceritakan sesuatu yang tidak seharusnya dialami seorang bocah, entah itu ditodong senjata, diperkosa, dipaksa membunuh saudara sendiri, orang tua sendiri,” kisahnya. Seringkali, "anak-anak ini belum setinggi senapan yang mereka bopong.”
Meski melakukan kejahatan kemanusiaan, serdadu anak-anak tetap digolongkan sebagai korban perang. Dan dalam hal ini, "kita belum berbuat cukup,” bahkan 25 tahun setelah PBB membentuk badan yang fokus mengurusi anak korban perang, kata Linda.
Bocah di daerah konflik "tantangan terbesar” bagi dunia
Sepanjang tahun 2020, PBB mencatat 24.000 kasus pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan, penyanderaan, pemerkosaan atau perekrutan serdadu anak di seluruh dunia. Korbannya berjumlah 19.300 anak-anak di 21 wilayah konflik.
Iklan
Angka korban terutama mencuat di empat negara, yakni Afghanstan, Suriah, Yaman dan Somalia. Di sana sebanyak 8,400 anak-anak dilaporkan tewas atau mengalami cacat akibat perang. Adapun 7.000 anak-anak di dunia saat ini dipaksa berperang di Kongo, Somalia, Suriah dan Myanmar, lapor PBB.
Tahun lalu, angka kejahatan pemerkosaan dan tindak kekerasan seksual lain melonjak 70 persen dibandingkan 2019. Sementara kasus penculikan meningkat 90% pada periode yang sama. PBB mencatat, serangan berdarah terhadap sekolah atau rumah sakit "masih terlalu sering terjadi.”
Henrietta Fore, Direktur UNICEF, mengatakan laporan itu menggarisbawahi kerusakan jangka panjang yang dialami anak-anak korban perang. Menurutnya, konflik saat ini berdurasi lebih lama, semakin rumit dan berdarah.
"Rata-rata dalam lima tahun terkahir, setiap hari PBB memverifikasi setidaknya 70 anak-anak yang mengalami pelanggaran HAM berat,” kata dia.
Tentara Anak-Anak dan Trauma Perang
Perang memicu munculnya tentara anak-anak. Setelah perang usai, yang tersisa adalah anak dengan trauma perang, fisik maupun psikologis serta tidak punya hak dasar dan terlupakan dalam reintegrasi sosial kemasyarakatan.
Foto: Jm Lopez/AFP/Getty Images
Terseret Pusaran Konflik
Rumah yang hancur dibom, anggota keluarga tewas atau cedera. Anak-anak merasakan langsung dampak perang seperti di kota kedua terbesar Suriah, Aleppo. Banyak anak-anak terseret konflik, baik untuk membela dirinya sendiri agar tetap hidup atau untuk membela kota kelahirannya.
Foto: AFP/Getty Images/F. al Halabi
Atas Nama Teror
Milisi Teror "Islamic State" tidak ragu lakukan kekerasan brutal pada anak-anak. PBB melaporkan ISIS menyalahgunakan anak-anak sebagai pelaku bom bunuh diri, pasukan pembunuh atau perisai hidup. Walau diketahui amat brutal, banyak anak-anak dan remaja tetap tertarik bergabung dengan ISIS.
Foto: picture-alliance/ZUMA Press/Medyan Dairieh
Dikirim ke Front Terdepan
UNICEF melaporkan, banyak anak-anak dibawah umur, lelaki maupun perempuan, direkrut oleh pemberontak atau juga milisi pro-pemerintah untuk dijadikan tentara anak-anak. Mereka bukan hanya dipaksa bertempur di front terdepan, tapi juga dijadikan kurir, pengangkut logistik atau pemuas nafsu seksual tentara dewasa.
Foto: picture-alliance/dpa/epa Albadri
Diloloh Narkoba dan Dicuci Otak
Anak-anak mudah dimanipulasi untuk jadi serdadu. Seringnya mereka diloloh narkotika dan obat terlarang serta dicuci otak dengan film dan propaganda agar siap melakukan tugasnya. Tentara anak-anak juga terus diintimidasi dan hidup dalam ketakutan suatu saat dapat dibunuh oleh komandan pasukan akibat dituduh membangkang.
Foto: picture-alliance/AP Photo/S. Azim
Siapa Termasuk Tentara Anak-anak?
Lebih 150 negara telah meratifikasi protokol tambahan konvensi larangan dilibatkannya anak-anak dalam konflik bersenjata yang mulai berlaku 12 Februari 2002. PBB menaksir jumlah tentara anak-anak 250.000 orang di 23 negara yang dilanda perang. Menurut konvensi 2002, yang digolongkan anak-anak adalah mereka yang umurnya di bawah 18 tahun.
Foto: picture-alliance/dpa/EPA
Dibantu Pasukan Perdamaian PBB
Kadang anak-anak bisa melarikan diri atau dibebaskan tentara pemerintah. Perempuan ex tentara anak-anak ini menyerahkan senjatanya kepada pasukan perdamaian PBB. Sebagai imbalannya ia mendapat bantuan pangan dan pelayanan medis. Bekas tentara anak-anak kebanyakan menderita kurang gizi, luka terbuka, penyakit menular seksual serta penyakit psikologis dan kecanduan narkoba.
Foto: picture-alliance/dpa
Kembali Hidup Normal
Anak bekas tentara dalam perang di timur Kongo ini mengikuti program reintegrasi dan kembali bersekolah. Tapi jumlah ex-serdadu anak-anak yang kembali ke kehidupan notmal amat kecil, dibanding mereka yang terus mengalami trauma perang dan tidak terjangkau program resosialisasi. Terutama di kawasan bekas perang di benua Afrika, banyak bekas tentara anak-anak yang tidak diperhatikan nasibnya.
Foto: picture-alliance/dpa/W. Langenstrassen
Mengolah Trauma
Salah seorang bekas tentara anak-anak yang sukses keluar dari derita adalah China Keitetsi. Ia mengolah pengalaman mengerikan dan brutal saat jadi tentara anak-anak di Uganda menjadi sebuah buku berjudul "Air Mata di Antara Langit dan Bumi". Dalam bukunza, China menceritakan usahanya melupakan kekejaman perang setelah berhasil melarikan diri ke Denmark.
Foto: picture-alliance/dpa
Kembali Hidup Ceria
Emmanuel Jal juga bekas tentara anak-anak, dan kini sukses jadi bintang hip-hop internasional. Tampilannya di panggung selalu ceria dan penuh semangat hidup. Tapi pengalaman mengerikan saat perang tidak bisa terhapus dari ingatannya. Lagunya banyak mengiisahkan tentang perang saudara di Sudan yang ia alami sendiri, Jal kini juga menjadi aktivis perdamaian.
Foto: picture-alliance/dpa
9 foto1 | 9
Pertemuan DK PBB yang kali ini dikepalai Estonia menitikberatkan agenda pada dampak perang terhadap anak-anak di Yaman, pembunuhan anak-anak oleh junta militer di Myanmar dan pembantaian terhadap 150 anak-anak di Afghanistan selama tiga bulan pertama pada 2021.
Laporan yang disusun kantor sekretaris jendral PBB itu menyebutkan bocah perempuan "mewakili 98% korban kekerasan seksual,” kata Presiden Estrtonia, Kersti Kaljulaid. Menurutnya, fenomena ini "merupakan tantangan terbesar yang akan kita hadapi di dekade ke depan,” dan wabah corona hanya memperburuk situasi kaum perempuan dan anak-anak di dunia.