Victor Gao Tentang Penjara Uighur: "Bukan Kamp Konsentrasi"
Thomas Sparrow
20 Desember 2019
Analis Cina, Victor Gao membela penahanan sekitar 1 juta warga Uighur di provinsi Xinjiang dengan mengatakan bahwa Cina sedang berurusan dengan ekstremisme dan separatisme.
Inilah bagaimana Victor Gao, seorang analis hubungan internasional Cina membela penahanan yang dilakukan pemerintah Cina terhadap sekitar 1 juta Muslim Uighur di provinsi Xinjiang, Cina barat laut.
Sejumlah dokumen bocor yang diterbitkan bulan lalu dan ditolak oleh Cina sebagai "dokumen palsu", dideskripsikan oleh himpunan jurnalis sebagai "operasi manual" untuk "pengasingan massa minoritas terbesar sejak Holocaust." Dokumen-dokumen pemerintah tahun 2017 juga menyebutkan bahwa para napi diindoktrinasi dan menjalani kondisi kehidupan yang ketat.
Tetapi menurut Victor Gao, "ini bukan kamp konsentrasi" dan pemerintah berurusan dengan ekstremisme dan separatisme. "Di Xinjiang, tidak dapat disangkal ada peningkatan radikalisasi," kata Gao kepada pembawa acara Conflict Zone DW, Tim Sebastian selama wawancara di London.
Pemerintah Cina mengatakan kamp-kamp di Xinjiang menawarkan pendidikan sukarela untuk mencegah radikalisasi.
Hak asasi manusia di Xinjiang
23 negara, termasuk Jerman, Prancis, dan AS telah meminta pemerintah Cina untuk menegakkan kewajiban hak asasi manusia. Para pejabat PBB mengatakan mereka juga memiliki "keprihatinan serius" tentang meningkatnya praktik penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa, tidak adanya pengawasan yudisial, dan pembatasan hak atas kebebasan berekspresi, berpikir, hati nurani, dan beragama.
Namun, Gao membantah argumen itu dengan mengatakan bahwa "lebih dari 50 negara di dunia mendukung apa yang dilakukan pemerintah Cina di Xinjiang dalam menangani ekstremisme dan separatisme."
Negara-negara, yang meliputi Pakistan, Rusia dan Serbia, membela tindakan Cina sebagai metode anti-teror yang efektif. Gao menambahkan bahwa "hak asasi manusia sangat, sangat penting," tetapi ia menekankan bahwa memerangi terorisme dan ekstremisme sama-sama relevan bagi Cina.
Beijing menentang kekerasan di Hong Kong
Victor Gao juga membela tindakan pemerintah Cina di Hong Kong, di mana protes anti-pemerintah yang dimulai sejak Juni lalu telah menyebabkan bentrokan antara polisi dan aktivis.
"Apa yang membuat Beijing tidak senang dan ditentang tegas adalah kekerasan yang terjadi di Hong Kong," kata Gao, yang merupakan mantan penerjemah Bahasa Inggris pimpinan Cina Deng Xiaoping pada 1980-an.
"Mari kita jujur dan terus terang tentang hal itu," tambahnya. "Tidak ada negara, baik Inggris maupun Amerika Serikat, yang akan mentolerir tingkat kekerasan yang telah melanda Hong Kong selama enam bulan terakhir. Tidak ada negara, tidak ada pemerintah."
Gao menekankan bahwa tanggung jawab utama Hong Kong saat ini adalah "hukum dan ketertiban."
"Kita tidak boleh bingung dengan keluhan dan tuntutan politik lainnya di Hong Kong," katanya.
Presiden Cina, Xi Jinping bulan ini menggambarkan protes di Hong Kong sebagai "situasi" paling rumit dan sulit "sejak kembali ke tanah air."
Hong Kong, bekas koloni Inggris, diserahkan ke Cina pada tahun 1997 dan memiliki sistem peradilan dan hukum yang terpisah dari daratan Cina dengan prinsip 'Satu Sistem Dua Negara'. Menurut Gao, "Cina mengendalikan situasi di Hong Kong sejauh menyangkut kedaulatan." Dan ia menambahkan bahwa Hong Kong telah "mendapat banyak manfaat selama 22 tahun terakhir." ha/gtp
Potret Muslim Uighur di Cina
Cina melarang minoritas muslim Uighur mengenakan jilbab atau memelihara janggut. Aturan baru tersebut menambah sederet tindakan represif pemerintah Beijing terhadap etnis Turk tersebut. Siapa sebenarnya bangsa Uighur?
Foto: Reuters/T. Peter
Represi dan Larangan
Uighur adalah etnis minoritas di Cina yang secara kultural merasa lebih dekat terhadap bangsa Turk di Asia Tengah ketimbang mayoritas bangsa Han. Kendati ditetapkan sebagai daerah otonomi, Xinjiang tidak benar-benar bebas dari cengkraman partai Komunis. Baru-baru ini Beijing mengeluarkan aturan baru yang melarang warga muslim Uighur melakukan ibadah atau mengenakan pakaian keagamaan di depan umum.
Foto: Reuters/T. Peter
Dalih Radikalisme
Larangan tersebut antara lain mengatur batas usia remaja untuk bisa memasuki masjid menjadi 18 tahun dan kewajiban pemuka agama untuk melaporkan naskah pidatonya sebelum dibacakan di depan umum. Selain itu upacara pernikahan atau pemakaman yang menggunakan unsur agama Islam dipandang "sebagai gejala redikalisme agama."
Foto: Reuters/T. Peter
Balada Turkestan Timur
Keberadaan bangsa Uighur di Xinjiang dicatat oleh sejarah sejak berabad-abad silam. Pada awal abad ke20 etnis tersebut mendeklarasikan kemerdekaan dengan nama Turkestan Timur. Namun pada 1949, Mao Zedong menyeret Xinjiang ke dalam kekuasaan penuh Beijing. Sejak saat itu hubungan Cina dengan etnis minoritasnya itu diwarnai kecurigaan, terutama terhadap gerakan separatisme dan terorisme.
Foto: Reuters/T. Peter
Minoritas di Tanah Sendiri
Salah satu cara Beijing mengontrol daerah terluarnya itu adalah dengan mendorong imigrasi massal bangsa Han ke Xinjiang. Pada 1949 jumlah populasi Han di Xinjiang hanya berkisar 6%, tahun 2010 lalu jumlahnya berlipatganda menjadi 40%. Di utara Xinjiang yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi, bangsa Uighur bahkan menjadi minoritas.
Foto: picture-alliance/dpa/H. W. Young
Hui Yang Dimanja
Kendati lebih dikenal, Uighur bukan etnis muslim terbesar di Cina, melainkan bangsa Hui. Berbeda dengan Uighur, bangsa Hui lebih dekat dengan mayoritas Han secara kultural dan linguistik. Di antara etnis muslim Cina yang lain, bangsa Hui juga merupakan yang paling banyak menikmati kebebasan sipil seperti membangun mesjid atau mendapat dana negara buat membangun sekolah agama.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Wong
Terorisme dan Separatisme
Salah satu kelompok yang paling aktif memperjuangkan kemerdekaan Xinjiang adalah Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM). Kelompok lain yang lebih ganas adalah Partai Islam Turkestan yang dituding bertalian erat dengan Al-Qaida dan bertanggungjawab atas serangkaian serangan bom di ruang publik di Xinjiang.
Foto: Getty Images
Kemakmuran Semu
Xinjiang adalah provinsi terbesar di Cina dan menyimpan sumber daya alam tak terhingga. Tidak heran jika Beijing memusatkan perhatian pada kawasan yang dilalui jalur sutera itu. Sejak beberapa tahun dana investasi bernilai ratusan triliun Rupiah mengalir ke Xinjiang. Namun kemakmuran tersebut lebih banyak dinikmati bangsa Han ketimbang etnis lokal.
Foto: Reuters/T. Peter
Ketimpangan Berbuah Konflik
BBC menulis akar ketegangan antara bangsa Uighur dan etnis Han bersumber pada faktor ekonomi dan kultural. Perkembangan pesat di Xinjiang turut menjaring kaum berpendidikan dari seluruh Cina. Akibatnya etnis Han secara umum mendapat pekerjaan yang lebih baik dan mampu hidup lebih mapan. Ketimpangan tersebut memperparah sikap anti Cina di kalangan etnis Uighur. Ed.: Rizki Nugraha (bbg. sumber)