1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Ancaman dan Tantangan Bagi Nasionalisme

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
6 November 2021

Mewujudkan tujuan atau impian nasionalisme, yaitu untuk mempromosikan sebuah bangsa agar selaras dengan negara, itu tidak mudah.

Bendera Merah PutihFoto: Reuters/W. Kurniawan

Nasionalisme adalah sebuah ide, gerakan, atau ideologi politik yang menyatakan atau menegaskan bahwa sebuah bangsa (nation) harus sejalan, sebangun, atau selaras (congruent) dengan tujuan, cita-cita, dan kepentingan sebuah negara (state). Jadi, secara konseptual, hubungan "bangsa” dan "negara” itu sangat erat atau dekat. Karena itulah kenapa kemudian muncul frase "nation-state” (negara bangsa).

Bangsa sering diartikan sebagai sebuah komunitas masyarakat yang dibentuk oleh sekelompok elite politik atas dasar persamaan bahasa, etnis, sejarah, budaya, atau teritori. Jadi, sebuah bangsa pada dasarnya adalah sebuah identitas kolektif masyarakat. Dalam hal ini, sebuah bangsa bersifat lebih politis daripada etnisitas. Lebih lanjut, karena sebuah bangsa itu bersifat "re-kreasi” (re-creation atau penciptaan / pembentukan kembali), maka tak heran jika ilmuwan politik Benedict Anderson dulu pernah menyebutnya sebagai "imagined community”, sedangkan Paul James menyebutnya "abstract community.

Sementara itu, state bisa didefinisikan sebagai bentuk organisasi politik hierarkis yang memerintah banyak komunitas dan kelompok sosial dalam sebuah teritori atau area geografi tertentu. Dibanding dengan organisasi politik lain seperti band, tribe, atau chiefdom, konsep state jauh lebih rumit, kompleks, birokratis, hierarkis, dan luas.  

Dalam implementasinya, mewujudkan tujuan atau impian nasionalisme, yaitu untuk mempromosikan sebuah bangsa agar congruent dengan negara, itu tidak mudah. Meskipun dalam penulisannya, kata "nation” dan "state” itu digandeng yang menunjukkan atau mengidealkan adanya harmoni dan keselarasan antara "bangsa” dan "negara”, tetapi dalam praktiknya keduanya sering berselisih, terlibat konflik dan perseteruan.

Hal itu bisa terjadi, antara lain, karena bangsa (yang terdiri atas beragam etnis dan kelompok sosial itu) dan negara (para penyelenggara pemerintahan dan elite politik) sering memiliki tujuan, agenda, dan kepentingan yang berbeda yang tidak mudah untuk diselaraskan atau diharmoniskan.

Semaking kompleks dan majemuk sebuah bangsa dan negara, maka akan semakin besar dan berat hambatan dan tantangannya dalam mewujudkan "spirit” nasionalisme. Karena setiap negara memiliki tingkat kompleksitas dan kemajemukan yang berbeda, maka masing-masing memiliki tingkat tantangan yang berbeda pula. Dalam hal ini, tantangan Indonesia jauh lebih berat ketimbang negara-negara lain yang tidak terlalu plural dan kompleks struktur bangsanya.

Sejumlah faktor yang menjadi ancaman dan tantangan

Saya mencatat ada sejumlah tantangan mendasar yang perlu dihadapi dan selesaikan. Jika tidak dibenahi, mereka akan menjadi ancaman atau "batu sandungan” (stumbling block) bagi pemerintah dan masyarakat dalam merealisasikan cita-cita nasionalisme.

Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: S. al Qurtuby

Pertama, ancaman dan tantangan tersebut datang dari kelompok islamis yang mengusung islamisme, yakni sebuah  ideologi politik yang didasarkan pada interpretasi atas teks dan doktrin kepolitikan Islam tertentu. Varian kelompok islamis ini bermacam-macam: dari yang sangat ekstrem (seperti kelompok teroris Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharud Daulah, Mujahidin Indonesia Timur, dlsb) sampai yang ekstrem (misalnya, sejumlah ormas yang suka memobilisasi massa, menggeruduk, dan melalukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain yang tidak sejalan dengan mereka). Ada pula kelompok islamis yang tidak mengakui tindakan kekerasan fisik dalam memperjuangkan aspirasi Islam politik (setidaknya secara teori meskipun praktiknya berbeda) seperti kelompok Hizbut Tahrir.

Apapun bentuk dan variannya, kelompok islamis ini merupakan ancaman bagi nasionalisme karena mereka tidak mengakui konsep, wacana, dan gagasan nasionalisme itu yang dianggap sebagai produk profan-sekuler yang tidak religius atau, seperti yang biasa mereka gaungkan, "tidak ada dalilnya”. Karena itu mereka menolak segala bentuk aktivitas yang bernuansa "patriotisme sekuler” (misalnya upacara kemerdekaan atau pengibaran dan penghormatan pada sang saka merah putih dan lainnya).

Selanjutnya, kedua, kelompok pseudo-nasionalis. Kelompok ini adalah mereka yang pura-pura bersikap nasionalis ("nasionalis semu”) tetapi sebetulnya hanya menjadikan nasionalisme sebagai jalan, cara, strategi, atau taktik untuk menguasai aset-aset politik dan ekonomi bangsa dan negara Indonesia demi kepentingan dirinya, keluarganya, bisnisnya, atau kelompoknya (parpol, ormas dan lainnya). Kelompok ini, biasanya elite politik, ada di pusaran kekuasaan (pemerintah, parlemen) maupun diluar kekuasaan (misalnya kelompok elite politik yang gagal dalam kontestasi kepolitikan).

Ketiga, kelompok pengusung "regionalisme” dan "separatisme”. Meskipun sama-sama memiliki sentimen kedaerahan, gerakan regionalisme dan separatisme memiliki motivasi dan tujuan yang berbeda. Kelompok separatis (secessionist) jelas bertujuan memisahkan diri dari pemerintah pusat untuk kemudian membentuk pemerintahan sendiri yang otonom. Sedangkan regionalisme hanya sikap fanatik berlebihan terhadap kepentingan daerah asal hingga mengabaikan kepentingan nasional dan daerah-daerah lain yang membutuhkan.

Keempat, kaum rasis. Rasisme adalah ideologi yang sangat berbahaya bagi nasionalisme. Ideologi ini biasanya bergandengan dengan chauvinisme, yaitu mentalitas atau kepercayaan berlebihan atas supremasi, superioritas, dan dominasi sebuah kelompok atas lainnya. Rasisme itu juga eksis di Indonesia. Misalnya, sentimen anti-Tionghoa yang didengungkan oleh sekelompok elite politik, agama, dan pebisnis (yang merasa) "pribumi”.

Kelima, kelompok ultrafanatik agama. Kelompok ini juga menjadi ancaman bagi nasionalisme. Atas nama supremasi dan keunggulan agama tertentu, kelompok ini (guru, orang tua, tokoh agama, dlsb) tak jarang menyebarkan kebencian terhadap umat agama lain yang mereka anggap sesat, kafir, atau tak layak menghuni Indonesia sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Tak jarang mereka menyebarkan kebencian itu pada anak-anak sekolah yang masih muda belia sehingga tak heran jika banyak anak-anak yang sudah lancar dan lihai mem-bully umat agama lain.

Keenam, para koruptor. Gerakan nasionalisme sering tidak bisa berjalan dengan baik di masyarakat karena "digerogoti” oleh para koruptor. Dengan kata lain, praktik korupsi bisa membuat masyarakatmenjadi pesimistis dan apatis terhadap nasionalisme dan patriotisme.

Peluang dan Harapan

Meskipun ancaman dan tantangan menghadang di depan mata bukan berarti bahwa jalan mewujudkan nasionalisme sudah buntu atau deadlock. Para elite (baik sipil maupun militer) dan masyarakat sipil yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai kebangsaan dan masa depan negara yang gemilang masih banyak.

Mereka perlu bersinergi untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita nasionalisme demi masa depan bangsa dan negara yang adil makmur gemah ripah loh jinawi toto titi tentrem lan raharjo, yakni sebuah negeri yang makmur, aman, dan sentosa.

Adapun konsep dan bentuk nasionalisme yang saya anggap cocok untuk konteks Indonesia adalah "civic nationalism”, yakni sebuah gagasan, aksi, dan gerakan nasionalisme yang bertumpu atau berbasis pada citizenship atau kewargaan (kewarganegaraan) apapun latar belakang etnis, bahasa, dan keyakinan atau agama warga negara (citizen) tersebut.

Dengan kata lain, idealnya dan seharusnya, semua warga negara Indonesia–tanpa kecuali–memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab moral yang sama untuk membela dan memperjuangkan nasionalisme serta memajukan dan memakmurkan bangsa dan negara Republik Indonesia sebagai "rumah” mereka. 

Sumanto Al Qurtuby adalah Direktur Nusantara Institute; dosen antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum & Minerals, Arab Saudi; Visiting Senior Scholar di National University of Singapore, dan kontributor di Middle East Institute, Washington, D.C. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University. Selama menekuni karir akademis, ia telah menerima fellowship dari berbagai institusi riset dan pendidikan seperti National Science Foundation; Earhart Foundation; the Institute on Culture, Religion and World Affairs; the Institute for the Study of Muslim Societies and Civilization; Oxford Center for Islamic Studies, Kyoto University's Center for Southeast Asian Studies, University of Notre Dame's Kroc Institute for International Peace Studies; Mennonite Central Committee; National University of Singapore's Middle East Institute, dlsb. Sumanto telah menulis lebih dari 25 buku, puluhan artikel ilmiah, dan ratusan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Di antara jurnal ilmiah yang menerbitkan artikel-artikelnya, antara lain, Asian Journal of Social Science, International Journal of Asian Studies, Asian Perspective, Islam and Christian-Muslim Relations, Southeast Asian Studies, dlsb. Di antara buku-bukunya, antara lain, Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London: Routledge, 2016) dan Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam (London & New York: I.B. Tauris & Bloomsbury).

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya