Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kenaikan muka air laut, gangguan di sektor pertanian dan ketahanan pangan jadi ancaman di depan mata. Kebakaran lahan menjadi tentangan terberat.
Iklan
Meski sering disebut-sebut, istilah perubahan iklim di Indonesia belum tergolong populer. Masih diperlukan penerjemahan ke bahasa sehari-hari yang lebih mengena dan dapat dirasakan langsung dampaknya oleh masyarakat umum.
Argumentasi yang acap kali disampaikan bahwa masalah perubahan iklim masih jauh dirasakan dampaknya di masa depan, dan bukan di depan mata, SANGAT tidak tepat.
Sudah terlalu banyak sebetulnya dampak yang dirasakan. Hanya saja, memang karena dampak yang timbul selalu terkait dengan berbagai penyebab lain, maka lebih sering permasalahan yang ada dianggap sebagai permasalahan lain, bukan permasalahan karena perubahan iklim.
Ubah cara pandang, ayo bergerak
Sudah waktunya cara pandang ini mengalami perubahan dan sudah waktunya pula semua pihak melakukan aksi dan upaya nyata untuk menangani dampak yang muncul dan mengendalikan perubahan iklim supaya tidak semakin parah.
Pertama-tama, perlu dipahami dulu istilah yang biasa digunakan dalam konteks perubahan iklim. Yakni: adaptasi untuk menangani dampak dan mitigasi untuk mengendalikan perubahan iklimnya.
Pada dasarnya, adaptasi lebih difokuskan kepada bagaimana kita semua dapat melakukan aksi dan upaya yang dapat mengatasi dampak yang timbul ataupun dampak yang diperkirakan akan timbul akibat perubahan iklim.
Apa yang Anda ketahui tentang perubahan iklim?
Perubahan iklim menjadi satu tema yang kerap dibahas dalam beberapa tahun terakhir. Sejauh mana Anda tahu tentang masalah yang berdampak besar bagi kita semua ini?
Foto: picture-alliance/W. Steinberg
Pertanyaan:
Berapa derajat Bumi menjadi lebih hangat sejak masa pra-industri?
Foto: picture-alliance/dpa
Jawaban:
Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim IPCC, suhu rata-rata di bumi telah meningkat 0,8 derajat Celcius sejak 1850. Dinas metereologi Inggris Met Office menyebut, suhu akan meningkat 1 derajat pada akhir 2015. Para pakar mengatakan, kenaikan suhu sampai 2 derajat dapat mengundang bencana besar. Namun banyak ahli juga mengatakan, 1,5 derajat sudah melampaui ambang risiko.
Foto: DW/G. Rueter
Pertanyaan:
Dampak apa yang akan timbul jika suhu bumi meningkat 2 derajat pada tahun 2100?
Foto: DW/K.Hasan
Jawaban:
Hingga 3 juta orang di wilayah pesisir akan terancam banjir. Dan diperkirakan sekitar 250 juta orang akan kehilangan tempat tinggal akibat perubahan iklim. Sampai 2 miliar warga dunia akan menghadapi kekurangan air. Jika suhu meningkat 1 derajat sampai akhir abad ini, 20 sampai 30 persen spesies mahluk hidup bisa punah, karena tidak mampu beradaptasi dengan cepat.
Foto: picture-alliance/AP/T. Gutierrez
Pertanyaan:
Apa yang menyebabkan efek rumah kaca?
Foto: IRNA
Jawaban:
Penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak atau bensin, yang sebagian besar untuk produksi listrik dan transportasi, menghasilkan karbon dioksida. Ketika mencapai bagian atas atmosfer, karbon dioksida akan mengikat panas. Proses ini menjadikan suhu meningkat dan menyebabkan perubahan iklim.
Foto: picture-alliance/AP/M. Meissner
Pertanyaan:
Negara mana yang paling terkena dampak cuaca ekstrim?
Foto: Reuters
Jawaban:
Menurut indeks risiko iklim global yang dikeluarkan oleh Germanwatch, antara tahun 1995 sampai 2014, negara-negara berkembang seperti Honduras, Myanmar dan Haiti yang paling menderita akibat banjir, badai dan gelombang panas. Negara yang paling terpukul akibat perubahan iklim di tahun 2014 adalah Afghanistan, Serbia, Bosnia dan Herzegovina.
Foto: Reuters
Pertanyaan:
Apa hubungan antara perubahan iklim dan kenaikan tingkat keasaman laut?
Foto: imago/OceanPhoto
Jawaban:
Satu proses kimia berlangsung saat laut dan samudra menyerap peningkatan karbon dioksida dari atmosfer. Proses ini mengubah tingkat pH air laut. Peningkatan pH ini akan menurunkan kemampuan hidup makhluk laut seperti kerang. Hal ini akan mempengaruhi seluruh rantai makanan di laut, yang mana manusia juga tergantung padanya.
Foto: XL Catlin Seaview Survey
Pertanyaan:
Moda transportasi apa yang paling ramah lingkungan: mobil, kereta api, bus atau pesawat terbang?
Foto: picture-alliance/dpa/L. van Lieshout
Jawaban:
Terbang dengan pesawat komersial dari Bandung ke Denpasar, yang berjarak sekitar 900 km, menghasilkan sekitar 250 kg CO2. Untuk jarak yang sama, satu mobil VW golf menghasilkan 180 kg emisi dan bus sekitar 30 kg. Sementara untuk menempuh jarak 900 km, kereta api hanya menghasilkan 11 kg CO2.
Foto: picture-alliance/W. Steinberg
12 foto1 | 12
Yang pasti, adaptasi jika hanya dilakukan kalau dampak sudah timbul akan memberikan implikasi biaya yang lebih tinggi daripada jika adaptasi ini disiapkan sebagai bentuk antisipasi.
Sementara itu, mitigasi sebetulnya lebih merupakan berbagai aksi dan upaya yang kita lakukan agar gas-gas yang menjadi penyebab perubahan iklim dapat ditekan keberadaannya, sehingga laju perubahan iklim dapat dikurangi.
Mitigasi dapat dilakukan dengan mengurangi gas rumah kaca yang dikeluarkan (diemisikan) maupun dengan menyerap kembali gas rumah kaca yang sudah ada di udara lepas.
Di akhir 2015 lalu, negara-negara yang diwakili oleh pemerintahnya masing-masing telah bersepakat bahwa perubahan iklim harus diselesaikan bersama-sama. Bukan hanya oleh kelompok negara tertentu dan bukan pula hanya oleh pemerintah saja.
Hal ini wajar karena pada akhirnya kita harus melakukan adaptasi dan mitigasi demi memastikan keberlanjutan kehidupan dan juga memastikan terwujudnya kesejahteraan yang menjadi cita-cita semua bangsa di dunia.
Karena itu, sudah waktunya kita memandang perubahan iklim sebagai tantangan bukan halangan. Jika perubahan iklim dipandang sebagai halangan, maka kita akan menyerah begitu saja, sementara tantangan adalah sesuatu yang harus dihadapi dan diselesaikan dengan baik dan benar. Indonesia harus menjawab tantangan ini dan tidak hanya pemerintah tetapi juga semua pihak harus turut menjawabnya.
Tantangan terberat Indonesia: kebakaran lahan
Salah satu tantangan yang terbesar yang erat kaitannya dengan perubahan iklim adalah permasalahan kebakaran lahan. Berbagai kajian telah disampaikan, betapa kebakaran lahan tersebut telah meningkatkan emisi gas rumah kaca Indonesia secara signifikan.
Beberapa argumen mempertentangkan kebutuhan pembangunan yang semakin menekan sehingga terjadi perubahan tata guna lahan. Paradigma ini harus diubah.
Lahan yang ada perlu dipertahankan fungsinya dan jika memang lahan tersebut memiliki potensi kebakaran karena rendahnya kandungan air yang ada, maka harus dilakukan perbaikan sehingga fungsinya dapat terjaga, ini yang sekarang gencar dilakukan dengan restorasi lahan.
Restorasi lahan bukan hal yang mustahil, dan juga bukan hal yang akan mematikan pertumbuhan ekonomi karena dapat dilakukan sebagai bentuk pengelolaan lahan yang bernilai ekonomi.
Tantangannya adalah memastikan bahwa upaya restorasi dapat dilakukan di lahan yang memang harus direstorasi dan memberikan manfaat kepada berbagai pemangku kepentingan yang ada, termasuk masyarakat yang ada di sekitarnya.
Tantangan berikut: kebutuhan energi
Tantangan lain yang tidak kalah besarnya adalah peningkatan kebutuhan energi, terutama energi listrik. Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil, memang masih sangat memerlukan energi listrik.
Target pemerintah untuk 100% elektrifikasi tentu akan memiliki implikasi dalam hal pembiayaan yang akan menentukan jenis pembangkitan yang dipilih.
Kecenderungan yang selama ini ada untuk mengatasi dengan pembangunan pembangkit skala besar dan terpusat perlu ditimbang ulang dengan mengedepankan pembangunan pembangkit skala kecil dan tersebar sehingga dapat pula memenuhi kebutuhan di pulau-pulau kecil yang terpencil dengan memanfaatkan sumberdaya setempat.
Pemanfaatan sumberdaya setempat dan lebih difokuskan pada sumber energi terbarukan, akan dapat membantu pertumbuhan ekonomi lokal dan turut mengendalikan perubahan iklim dengan sumber energi yang tidak mengeluarkan emisi gas rumah kaca.
Kedua tantangan besar tadi sebetulnya merupakan peluang aksi mitigasi yang sangat besar dan dapat dilakukan oleh berbagai pihak, bukan hanya pemerintah semata. Tantangan di sisi adaptasi juga menarik untuk dibahas dalam catatan selanjutnya.
Penulis:
Kuki Soejachmoen, pengamat masalah perubahan iklim.
@KukiMHS
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Dampak Perubahan Iklim Sudah Landa Dunia
Efek perubahan iklim sudah terasa. Pakar iklim peringatkan, jika kenaikan suhu global lebihi rata-rata 2 derajat Celsius, dampaknya akan fatal. Inilah beberapa bukti bencana yang sudah melanda akibat perubahan iklim:
Foto: picture-alliance/dpa
Kabut Asap Cekik Asia Tenggara
Kebakaran hutan di Indonesia yang dipicu fenomena iklim El Nino, durasinya bertambah panjang dari biasanya. Akibatnya negara tetangga Malaysia, Singapura dan Thailand dicekik kabut asap berbulan-bulan. Kuala Lumpur disergap asbut berminggu-minggu (foto). Beberapa kali pemerintah negara jiran terpaksa meliburkan sekolah dan Kantor pemerintahan, akibat kadar cemaran lebihi ambang batas aman.
Foto: MOHD RASFAN/AFP/Getty Images
Masalah Kesehatan Dipicu Kabut Asap
Kalimantan dan Sumatra sudah langganan disergap kabut asap akibat kebakaran hutan. Tapi serangan kabut asap tahun ini jauh lebih hebat dan panjang dibanding tahun tahun sebelumnya. NASA melaporkan penyebabnya: fenomena iklim El Nino yang Alami perubahan pola. Akibatnya lebih 500.000 warga menderita infeksi saluran pernafasan akibat kabut asap.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Smog di Cina Berkategori Berbahaya
Kadar Smog di Cina telah lewati ambang batas aman yang ditetapkan WHO. Ibukota Beijing dan sejumlah kota besar lainnya menderita tercekik Smog yang terutama berasal dari pambakaran batubara secara intensif. Ekonomi Cina sangat tergantung dari pembangkit listrik batubara. Dampaknya adalah masalah kesehatan bagi jutaan warga
Foto: Getty Images/K. Frayer
Neraka Kebakaran Hutan
Amerika juga tak luput dilanda dampak perubahan iklim. Kebakaran hutan di California September 2015 melalap kawasan ribuan Hektar. Lebih 10.500 pemadam kebakaran dikerahkan. Tapi tetap saja api melumat 1400 rumah milik warga. Api menyala sendiri akibat kemarau panjang dan kekeringan hutan yang dipicu fenomena iklim El Nino.
Foto: picture-alliance/dpa
Masalah Sosial Dipicu Kemarau Panjang
Kemarau panjang dan kekeringan dipicu perubahan iklim, timbulkan masalah sosial berat di negara berkembang. Terutama anak perempuan yang jadi korban. Organisasi bantuan "Kindernothilfe" mencatat, kasus perkawinan dini meningkat. Pasalnya orang tua tak mampu lagi memberi makan keluarganya. Menikahkan dini anak perempuan berarti satu beban berkurang dan dari uang mahar anak lain bisa diberi makan.
Foto: picture-alliance/dpa/A. Burgi
Banjir Makin Kerap Datang
Di belahan bumi lainnya terjadi fenomena kebalikan. Curah hujan makin tinggi dan badai makin sering melanda. Banjir yang tak kenal musim memaksa jutaan orang bermigrasi. Angka kemiskinan hingga 2030 diramalkan meningkat drastis. Bencana lingkungan di kawasan Afrika dan Asia Selatan memicu gagal panen, kelaparan dan wabah penyakit.
Foto: picture-alliance/dpa
Angin Topan Membuat Sengsara
Ini bukan pemandangan mistis, melainkan citra udara dari atas pulau Luzon di Filipina yang tergenang banjir setelah dilanda angin topan. Ratusan tewas akibat tanah longsor dan banjir. 50.000 warga jadi tuna wisma dan terpaksa mengungsi. Filipina dilanda 20 topan hebat setiap tahunnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Eropa Juga Terimbas
Pemanasan global dan perubahan iklim juga berdampak di Eropa. Sungai Rhein yang melintasi beberapa negara dan penting sebagai urat nadi lalu lintas air, kini nyaris kering akibat tak turun hujan selama berbulan-bulan. Dampak ekonominya, transportasi barang kini mengandalkan moda darat yang jauh lebih mahal.
Foto: picture-alliance/dpa
Terumbu Karang Mati massal
Kematian massal terumbu karang juga melanda kawasan luas di bawah laut. Terumbu karang ini berwarna pucat, sebuah indikasi koloni binatang ini nyaris mati. Koral Yang sehat berwarna indah cemerlang. Pemicu kematian massal terumbu karang adalah makin hangatnya suhu air laut, yang memicu stress dan pertumbuhan ganggang beracun.
Foto: imago/blickwinkel
Beruang Kutub Terancam Punah
Beruang kutub menjadi simbol bagi perubahan iklim. Akibat lumernya lapisan es abadi di kutub utara, binatang ini kehilangan habitat alaminya. Tidak ada lapisan es, berarti beruang kutub tidak bisa berburu mangsanya dan akan mati kelaparan. Ramalan pesimistis menyebutkan: hingga 2050 populasi beruang kutub akan menyusut hingga tinggal 30 persen dari populasi saat ini.