Angela Merkel: 'Jalan Panjang' untuk Hak-Hak Perempuan
2 Oktober 2020
Kanselir Jerman Angela Merkel mengakui pemenuhan hak-hak perempuan belum akan tercapai dalam waktu dekat. Merkel mengatakan, kesetaraan hak akan tercapai apabila masyarakat dan pemerintah bergerak ke arah yang sama.
Iklan
Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan masih ada "jalan panjang" yang harus dilalui untuk pemenuhan hak-hak perempuan.
Pernyataan tersebut diucapkannya dalam pertemuan virtual Majelis Umum PBB yang digelar minggu ini dalam rangka memperingati 25 tahun konferensi perempuan pada 1995 di Beijing, Cina.
25 tahun lalu, 189 negara sepakat untuk memprioritaskan "partisipasi penuh dan kesetaraan hak perempuan dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya di tingkat nasional, regional dan internasional, dan pemberantasan segala bentuk diskriminasi atas dasar gender."
"Dua puluh lima tahun setelah Deklarasi Beijing, kesetaraan harus dicapai. Tapi jalan kita masih panjang," kata Merkel. "Ayo bergabung. Mari bekerja sama untuk benar-benar mencapai tujuan Deklarasi Beijing. Semakin cepat semakin baik."
Melihat kembali konferensi Beijing, Merkel mengatakan platform dan deklarasinya tetap menjadi "landasan penting untuk implementasi hak-hak perempuan di seluruh dunia."
Kesetaraan adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh perempuan bersama laki-laki, dan hanya “jika masyarakat, bisnis, dan pemerintah bergerak ke arah yang sama.”
Perempuan Dunia yang Berjuang Perangi Virus Corona
Dari mulai mengambil langkah pencegahan dini hingga mengembangkan vaksin, para perempuan ini berjuang untuk mengendalikan pandemi COVID-19.
Foto: Reuters/M. Schreiber
Serius — Angela Merkel
Jerman jadi perhatian dunia atas upayanya menangani pandemi virus corona serta angka kematian yang rendah. Kanselir Angela Merkel dipuji karena untuk kali pertama dalam masa jabatannya ia tampil langsung melalui televisi, memperingatkan bahaya virus corona. Ia merinci langkah-langkah penanganan COVID-19 yang harus diikuti untuk mengatasi “tantangan terbesar” yang dihadapi Jerman sejak PD II.
Foto: Reuters/M. Schreiber
Kembangkan vaksin — Marylyn Addo
Marylyn Addo, profesor di bidang virologi yang memimpin Pusat Penelitian Infeksi Jerman dan Kepala Departemen Infeksi Pusat Medis Hamburg-Eppendorf. Institusi ini bertugas untuk mengembangkan vaksin virus corona. Sebelumnya, Addo telah berhasil mengembangkan vaksin untuk virus Ebola dan MERS.
Foto: Privat
Tindakan pencegahan — Jacinda Ardern
Di bawah kepemimpinan PM Ardern, Selandia Baru lakukan tes menyeluruh dan menerapkan pembatasan wilayah yang ketat untuk mencegah penyebaran pandemi virus corona. Pada 14 Maret silam, Ardern umumkan siapa pun yang masuk ke negaranya harus melakukan isolasi mandiri selama dua pekan. Tak lama berselang, ia kemudian melarang semua pengunjung masuk dan mengumumkan status lockdown.
Foto: picture-alliance/AP Photo/N. Perry
Tes corona massal — Jung Eun-kyeong
Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan, Jung Eun-kyeong, dipuji sebagai “pahlawan nasional” atas kinerjanya memerangi COVID-19. Media Korea Selatan memberitakan bahwa Jung kerap tidak tidur dan menolak meninggalkan kantor demi mengatasi penyebaran corona di Korea Selatan. Ia pun membantu mengarahkan langkah-langkah tes massal di negeri ginseng tersebut.
Foto: picture-alliance/Yonhapnews Agency
Membuka jalan Uni Eropa — Mette Frederiksen
Di bawah kepemimpinan PM Frederiksen, Denmark merupakan salah satu negara di Eropa yang merespon cepat penyebaran virus corona. Frederiksen dengan sigap menerapkan langkah-langkah ketat di awal bulan Maret, antara lain dengan menutup perbatasan untuk semua pengunjung yang tidak memiliki visa masuk.
Foto: Reuters/Ritzau Scanpix
Aksi cepat — Tsai Ing-wen
Meski letaknya sangat dekat dengan episentrum virus corona yakni Cina, Taiwan berhasil menekan penyebaran COVID-19. Ini mematahkan prediksi para ahli yang sebut Taiwan akan jadi salah satu negara dengan kasus corona terbanyak di dunia. Presiden Taiwan Tsai Ing-wen ambil tindakan dini dengan melarang masuk pengunjung dari Cina, Hong Kong, dan Makau seiring melonjaknya kasus di Cina. (Ed: rap/ts)
"COVID-19 telah menekan dan mengeksploitasi pengingkaran berkelanjutan terhadap hak-hak perempuan. Perempuan dan anak perempuan menanggung beban dampak sosial dan ekonomi besar-besaran dari pandemi," kata Guterres.
"Sekarang adalah waktunya untuk melawan penolakan ... Hak asasi dan kebebasan penuh perempuan adalah fundamental bagi perdamaian dan kemakmuran di planet yang sehat." (ha/hp)