1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Angelika Weiz - Musisi Jazz Era Jerman Timur

13 November 2009

Sebelum Tembok Berlin runtuh, Angelika Weiz, mesti berjuang keras dalam menampilkan karya-karyanya. Ia sampai harus menulis dalam Bahasa Inggris untuk menghindari berbagai masalah dari aparat Jerman Timur yang menindas.

Angelika WeizFoto: picture-alliance / ZB

Dulu kebebasan seperti sekarang, tak terbayangkan oleh Angelika Weiz, musikus Jazz dari Jerman Timur. Hingga 20 tahun lalu, dunia penciptaan kesenian di Jerman Timur yang waktu itu masih merupakan bagian dari blok komunis di bawah komando Uni Sovyet, luar biasa dikekang. Para musikus, jika bermaksud menerbitkan album rekaman, hanya punya satu alamat. Itulah Amiga, lembaga rekaman milik pemerintah. Namun sebelumnya, para musikus harus terlebih dahulu menyetorkan lirik mereka, untuk diperiksa, dan disensor. Tidak ada yang dikecualikan, juga para musikus seterkenal apapun. Sehingga banyak musikus hebat yang akhirnya tak pernah berhasil menerbitkan album rekaman.

Salah satu diantara mereka adalah Angelika Weiz, musikus jazz yang berusaha menjaga kebebasannya saat itu sebagai seniman dengan menulis lirik dalam Bahasa Inggris. Dilahirkan di Heilligenstadt, Thuringen, pada tahun 1954, Angelika Weiz sudah memperlihatkan watak pembangkangan sejak usia dini. Dalam penuturannya, Angelika Weiz mengungkapkan, bagaimana ia mendapat kekangan pertama sebagai musikus, ketika masih di bangku sekolah. Kendati untuk perkara yang tak ada urusannya dengan politik. Katanya dalam suatu pesta sekolah, ia tertangkap basah oleh gurunya tatkala sedang mengisap rokok. Guru yang begitu marah, karena tak terbiasa dengan pembangkangan, menyatakan Angelika Weiz dilarang untuk menyanyi selamanya. Tetapi kata Angelika Weiz, itu larangan yang tidak masuk akal.

Namun menyadari hidup di negeri otoriter di bawah rezim Komunis-Stalinis yang menindas, ia tetap saja merasa perlu berjaga-jaga. Karenanya ia mengikuti sebuah pendidikan fotografi, dan bekerja sebagai fotografer untuk beberapa waktu. Namun ia segera mengikuti pendidikan musik di Weimar. Awalnya ia mengambil jurusan Tari dan Musik Ringan. Namun tak berapa lama, ia tak berdaya menghadapi daya tarik jazz dan blues. Dia kemudian bergabung dengan sejumlah kelompok band dan tampil dalam berbagai pertunjukan mahasiswa. Selain bergabung bersama kelompok Bluesband Ergo.

Suaranya yang berat, dengan lengkingan yang menjangkau nada-nada tinggi, Angelika Weiz segera dikenal luas. Perusahaan rekaman negara Amiga, mencatat dan memantau bakatnya. Ketika Guenther Fischer Band, sebuah kelompok jazz paling terkenal di Jerman Timur, membutuhkan penyanyi, Amiga menghubunginya. Weiz kemudian tampil selama tiga tahun bersama Günther Fischer Band di berbagai kesempatan penting. termasuk di Istana Republik, tempat pertunjukan terbesar di Berlin Timur.

Angelika Weiz mengenang, bagaimana kemudian ia menikmati sukses sebagai artis terkenal. Iapun mendirikan kelompoknya sendiri pada tahun 1986. Namanya, Good Vibrations Orchestra. Namun satu hal yang ternyata jadi penghambat laju karirnya lebih jauh, adalah karena lagu-lagu ciptaaanya ditulis semua dalam Bahasa Inggris.

.

"Lirik dalam Bahasa Inggris -- Demi Tuhan. Di atas panggung, pada dasarnya kita bisa melakukan apa saja yang kita inginkan. Namun kalau kita hendak memproduksi karya-karya kita, ya muncul masalah yang ribet," kenang Angelika Weiz

Masalah yang ribet itu adalah dalam urusan politik kebudayaan. Satu-satunya perusahaan rekaman di Jerman Timur, adalah perusahaan plat merah bernama Amiga. Ia bersama sejumlah pemusiknya, berbicara dengan para pejabat Amiga, menjajaki kemungkinan melakukan rekaman. Dalam pembicaraan itu, Rene Büttner, direktur Amiga, mengungkapkan pujiannya pada kualitas musik Angelika Weiz. Namun Rene Büttner menyatakan, rekaman hanya bisa dilangsungkan jika lirik lagunya Bahasa Jerman. Jika lagunya berbahasa Inggris, rekaman tak bisa dilakukan.

Angelika Weiz makin dikenal sebagai musikus berpembawaan sulit justru membuatnya makin populer di panggung-panggung pertunjukan. Lebih dari itu, reputasinya sebagai musikus bengal sangat menguntungkannya secara politik. Karena hal itu membuat para pejabat kebudayaan Jerman timur tidak pernah memerintahkannya untuk tampil dalam acara-acara musik propaganda, atau malam kesenian kenegaraan, atau tampil bersama sayap pemuda partai komunis, Frei Deutsche Jugend, untuk menyanyi bagi pemimpin Jerman Timur Erich Honecker.

Suatu hari, kelompok yang didirikannya, Good Vibrations Orchestra, diundang tampil pada malam penganugerahan Hadiah Tahunan musik populer Jerman Timur, Amiga Emas. Ia memanfaatkan kesempatan itu dengan mengungkapkan frustrasinya berurusan dengan Amiga untuk memproduksi album rekaman. Bukan kebetulan, di antara yang hadir, terdapat para agen polisi rahasisa, Stasi, serta para pejabat Partai Komunis.

Beberapa hari sesudah itu, Angelika mendapat telepon yang mengabarkan, ia akan diizinkan memproduksi album rekaman. Betapa girangnya Angelika Weiz. Namun kesempatan yang lama dinantikannya itu tak datang tanpa syarat. Para pejabat Amiga menyatakan, dalam albumnya itu setidaknya harus ada dua lagu berbahasa Jerman.

Angelika Weiz tak ingin melepas peluang yang sudah terbuka untuk menerbitkan album rekaman, namun tak mau tunduk pada tekanan rezim. Ia pun mencari akal. "Sudah jelas, bahwa saya tidak akan patuh begitu saja untuk menulis lirik dalam Bahasa Jerman. Lalu terbersit gagasan mengenai lagu yang sudah ada, yang liriknya juga sudah mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Judulnya "Unsere Heimat," atau "Tanah Air Kita". Kami semua mempelajarinya dulu semasa di sekolah. Lagu ini bertujuan membangkitkan patriotisme. Dan seiring perjalanan waktu, lagu ini bergeser jadi bernuansa lingkungan."

Angelika Weiz menafsirkan ulang lagu ini. Bahwa suatu lagu yang berbicara tentang kenyamanan lingkungan dan kecantikan alam pedesaan bisa dihadirkan sebagai sebuah lagu protes terhadap perusakan lingkungan yang hebat di Jerman Timur. Namun ia merasa, kritik ini tidak cukup. Ia lalu menggubah ulang lagu Tanah Air ini bersama pianis Wolfgang Fiedler. Syairnya mengarah pada keluhan lebih terang-terangan mengenai rusaknya lingkungan. "Tanah Air Kita, yang bukan sekadar tentang kota dan desa atau kampung halaman. Tanah air kita yang juga pepohonan di hutan lebat, tanah air kita yang juga rerumputan di padang rumput."

Pada awalnya semua berlangsung lancar-lancar dan mulus-mulus saja. Kerja keras siang malam di studio rekaman akhirnya bisa selesai bulan Maret 1989. Tetapi para petinggi Amiga berubah pikiran. Perusahan rekaman negara itu kini menolak untuk mengeluarkan album rekaman itu. Dalihnya, Angelika Weiz telah memutar balikkan dan mengkorupsi makna patriotik lagu Unsere Heimat. Hasil rekaman lagu itupun raib entah ke mana.

Betapapun, ini bukan hal yang mengejutkan bagi Angelika Weiz. Ia mengaku, sudah memperkirakan bawa pada akhirnya hal itu akan terjadi dan ia akan harus berjuang sendiri secara khusus agar album itu bisa diedarkan. Namun beberapa bulan kemudian Tembok Berlin dirubuhkan. Rezim komunis Jerman Timur ambruk.

Sesudah penyatuan kembali Jerman tahun 1990, Angelika Weiz benar-benar memproduksi dan mengedarkan album musiknya sendiri. Sayangnya, ia tak memperoleh sambutan sebagaimana dialaminya dulu. Tentu saja ia kecewa, namun ia mengaku mengertti sepenuhnya. "Tidak ada yang kepingin mendengar karya-karya kami, Ossies, kaum Timur. Tetapi saya bisa memahaminya. Karena pertama-tama kan orang-orang perlu untuk menemukan awal baru, dan mencari arah atau orientasi baru untuk kehidupan mereka".

Terlepas dari itu, Angelika Weiz tetap setia pada musiknya dan berkarya. Ia tetap tampil dalam berbagai konser dan mendirikan kelompok baru lagi, Angelika Weiz Trio. Ia mengungkapkan kebahagiaannya karena bisa berkarya dalam berbagai jenis musik secara leluasa dan bebas sensor sejak Tembok Berlin runtuh. Namun keruntuhan tembok lambang penindasan itu juga membawa masalahnya sendiri.

"Saya ingin sekali memproduksi karya-karya musik. Tetapi saya menghadapi kesulitan untuk pengadaan dananya. Sekarang ini uang berfungsi sebagai lembaga sensor. Begitulah perubahannya."

Nadine Wojcik/Ging Ginanjar

Editor: Yuniman Farid