1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Anggota Hizbullah Divonis Bersalah Membunuh Bekas PM Hariri 

19 Agustus 2020

Mahkamah internasional untuk Lebanon memutus bersalah seorang anggota Hizbullah atas pembunuhan bekas Perdana Menteri Rafiq Hariri. Suriah dan pemimpin Hizbullah sebaliknya dibebaskan dari tuduhan karena minim bukti.

Bekas Perdana Menteri Libanon, Rafiq Hariri.
Bekas Perdana Menteri Libanon, Rafiq Hariri.Foto: picture-alliance/dpa

Setelah masa persidangan selama 11 tahun, mahkamah PBB memvonis seorang anggota Hizbullah bersalah terlibat dalam pembunuhan bekas Perdana Menteri Lebanon, Rafiq Hariri.  

Vonis terhadap Salim Ayyash, 56, dijatuhkan secara in absentia oleh Mahkamah Khusus untuk Lebanon (STL), di Den Haag, Belanda, Selasa (18/8). Dia dinilai bertanggungjawab atas serangan bom bunuh diri di Beirut yang menewaskan Hariri dan 21 orang lain. 

“Pengadilan tanpa keraguan memutus bersalah Salim Ayyash sebagai salah seorang pelaku pembunuhan Rafiq Hariri,” kata Hakim Ketua, David Re. Kepada keluarga korban, dia “berharap putusan ini bisa memberikan Anda kedamaian,” ujarnya. 

Majelis hakim juga menilai pembunuhan Hariri bersifat “politis” dan dipicu oleh keputusannya mengusir militer Suriah dari Lebanon.  

Putra Rafiq, Saad Hariri yang mengundurkan diri sebagai perdana menteri tahun lalu, mengatakan pihaknya “menerima putusan mahkamah.” 

“Ekpektasi semua orang lebih tinggi dari apa yang diputuskan hari ini, tapi saya meyakini bahwa putusan mahkamah cukup memuaskan. Kami menerimanya,” kata dia usai menghadiri pembacaan keputusan di Den Haag. 

Meski demikian Majelis Hakim membebaskan tiga terdakwa lain, Assad Sabra, Hussein Oneissi dan Hassan Habib Merhi, lantaran minimnya barang bukti. Pengadilan juga memutuskan tidak ada bukti kuat terhadap dugaan keterlibatan Suriah atau petinggi Hizbullah dalam pembunuhan tersebut. 

Vonis penjara terhadap Ayyash baru akan diputuskan nanti. Dia terancam hukuman kurung seumur hidup jika berhasil dibawa ke Belanda. 

Namun pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrullah, menolak menyerahkan empat anggotanya. Dia mengatakan mahkamah PBB tidak memiliki legitimasi atas Lebanon. 

Majelis hakim di pengadilan pembunuhan bekas Perdana Menteri Libanon, Rafiq Hariri, Den Haag, Belanda, Selasa (18/8).Foto: picture-alliance/AP Photo/P. van de Wouw

Hizbullah dan Suriah dibebaskan dari tuduhan 

Pengadilan mengungkap, Ayyash mengelola jejaring mata-mata via ponsel untuk memantau pergerakan Hariri sejak beberapa bulan sebelum pembunuhannya. Seorang pelaku bom bunuh diri lalu mengendarai mobil Mitshubishi yang bermuatan bom, dan meledakkan diri di samping iring-iringan mobil perdana menteri saat melintasi kawasan pesisir Beirut pada hari Valentine, 2015. 

Jaksa mengatakan Ayyash adalah tokoh kunci kelompok pembunuh, sementara Oneissi dan Sabra mengirimkan video kejadian ke stasiun televisi al-Jazeera dan mengatasnamakan diri sebagai perwakilan sebuah organisasi fiktif.  

Salah seorang komandan Hizbullah, Mustafa Badreddine, juga dikaitkan dengan telefon seluler yang digunakan dalam pembunuhan Hariri. Namun Mustafa diyakini sudah meninggal dunia di sekitar Damaskus pada Mei 2016. 

Di penghujung karir politiknya, Rafiq Hariri aktif menggalang dukungan buat mendepak militer Suriah yang bercokol di Lebanon sejak berakhirnya Perang Saudara 1976. Berita pembunuhan Hariri pada Februari 2015 itu akhirnya menggerakkan aksi demonstrasi besar-besaran di seluruh negeri untuk mengusir Suriah. 

Namun berbeda dengan asumsi awal, pengadilan di Den Haag menilai Damaskus tidak terbukti terlibat. “Suriah dan Hizbullah mungkin punya motif untuk membunuh Hariri dan sekutu politiknya, tapi tidak ada bukti bahwa pemimpin Hizbullah terlibat dan tidak ada bukti langsung terkait keterlibatan Suriah,” kata Hakim David Re.

Reaksi kecewa pendukung Hariri

Meski demikian, putusan STL tetap “membantu mengonfirmasi apa yang semakin diakui oleh dunia, bahwa (Hizbullah) dan anggotanya bukan pelindung Lebanon seperti yang mereka klaim,” kata Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo.  

Sementara itu Uni Eropa dalam keterangan persnya “menegaskan pentingnya melawan impunitas dan memperkuat pengawasan serta penegakkan hukum di level internasional. Kami harap putusan ini akan ditindaklanjuti secara sesuai.” 

Mahkamah Khusus untuk Lebanon didirikan oleh Dewan Keamanan PBB pada tahun 2007. Saat itu, STL disebut sebagai tribunal internasional pertama untuk mengadili tindak pidana terorisme. Namun demikian pengadilan dalam kasus Hariri baru dimulai pada 2014. 

Menurut PBB, aktivitas SLT hingga kini telah menelan biaya USD 600 juta dan sejauh ini baru mengadili empat kasus.  

Putusan SLT terkait kasus Hariri mendapat sambutan beragam di Lebanon. Namun bagi pendukung Hariri, putusan itu mengecewakan. “Saya sangat marah,” kata Sami Kara yang mengeluhkan bahwa setelah 15 tahun dan ratusan juta US Dollar, pengadilan hanya mampu membuktikan “bahwa satu orang bertanggungjawab atas tindak kriminal sebesar itu.” 

Uang itu, kata dia, seharusnya digunakan untuk membangun pembangkit listrik di Lebanon yang sedang mengalami krisis. 

rzn/hp (ap,afp)