1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Anggota Parlemen Keturunan Afrika di Bundestag

Bettina Marx | Daniel Pelz
28 Juni 2022

Untuk pertama kalinya dalam sejarah politik Jerman, tiga warga keturunan Afrika duduk di parlemen Jerman, Bundestag. Apa cerita mereka dan apa saja bidang kerjanya?

Armand Zorn (SPD)
Armand Zorn (SPD)Foto: Sebastian Gollnow/dpa/picture alliance

Armand Zorn lahir di Kamerun, dan pindah ke kota Halle ketika dia berusia 12 tahun, untuk tinggal bersama ibunya yang dibawa pasangan barunya ke Jerman. Dia sempat tinggal di Paris, Bologna, Hong Kong dan Oxford. Sejak 2015 dia tinggal di Frankfurt, dan sudah aktif di politik sejak 2009. Tahun 2011 dia bergabung dengan Partai Sosial Demokrat Jerman, SPD, yang dalam pemilu tahun lalu memenangkan kursi terbanyak di parlemen. Pemerintahan koalisi Jerman saat ini berada di bawah pimpinan Kanselir Olaf Scholz dari partai SPD.

Armand Zorn mengatakan, dia selalu ingin memperjuangkan keadilan sosial yang lebih banyak. "Saya punya banyak pengalaman bertemu dengan orang-orang muda pekerja keras, kompeten, tetapi tidak pernah mendapatkan kesuksesan yang pantas mereka dapatkan,” katanya. Dia sekarang menjadi anggota Komisi Keuangan di parlemen Jerman Bundestag, juga merangkap anggota Komisi Urusan Digital.

Dalam pekerjaannya, dia tetap terhubung dengan Afrika, tanah air leluhurnya. "Di bidang keuangan, misalnya, banyak masalah yang terkait dengan stabilitas keuangan global," kata Armand Zorn, sambil menunjuk pada rasio utang negara-negara Afrika. "Ini tentang menyediakan dana juga untuk meningkatkan prospek negara-negara Afrika dan memungkinkan pembangunan di kawasan."

Awet Tesfaiesus (Partai Hijau)Foto: Felix Zahn/photothek/picture alliance

Awet Tesfaiesus: Membela pencari suaka

Awet Tesfaiesus yang lahir tahun 1974 di ibu kota Eritrea, Asmara, menjadi anggota perlemen Jerman Bundestag dari Partai Hijau sejak usai pemilu lalu. "Ini adalah dunia yang sangat berbeda. Orang-orang mau berbicara dan terbuka," katanya kepada DW dalam wawancara lewat Skype.

"Anda dapat mengundang orang untuk berdiskusi. Anda berada di peringkat atas dalam hierarki," katanya, seraya menekankan betapa berbedanya dengan pengalaman seorang wanita kulit hitam dalam masyarakat "yang selalu diamati kalau masuk toko obat, untuk melihat apakah dia mencuri sesuatu."

Meski demikian, dia mengaku masih mengalami rasisme sehari-hari. "Ketika saya pergi berbelanja, saya masih mendapatkan tatapan itu dari petugas keamanan." Rasisme memang sejak lama membayangi hidupnya. Saat itu, Eritrea belum memisahkan diri dari Ethiopia. Dia dan keluarganya melarikan diri dari perang kemerdekaan Eritrea ke Jerman ketika dia berusia 10 tahun.

Mereka lalu tinggal di tempat penampungan pengungsi, di mana banyak keluarga dari Eritrea tinggal. "Bagi orang tua saya, itu sulit," kenang Awet esfaiesus. "Kami tinggal di tempat sempit dengan banyak anak Eritrea. Ada enam dari kami di satu kamar dengan seluruh keluarga. Tetapi ketika Anda masih kecil, Anda mengabaikannya. Anda senang ada begitu banyak orang hebat."

Pengalamannya menginspirasi dia untuk belajar hukum, dan dia kemudian membuka firma hukum yang mengkhususkan diri dalam hukum suaka. Dia ingin membantu orang lain yang juga datang ke Jerman sebagai pengungsi, tetapi frustrasi dengan situasi pengungsi yang tidak punya status jelas dan tidak mendapat izin kerja di Jerman dan di Uni Eropa.

"Di Italia, banyak orang yang hidup di jalanan, mereka sudah dianggap memenuhi syarat untuk suaka, tetapi tidak dapat mengklaim bantuan sosial atau mengambil kursus bahasa," jelasnya. "Sangat frustasi melawan sistem seperti itu, tetapi saya merasa perlu membuat perubahan politik."

Tesfaiesus telah menjadi anggota Partai Hijau sejak 2009, dan menjadi anggota dewan kota di kota Kassel selama 5 tahun sebelum menjadi anggota Bundestag pada Oktober tahun lalu. Dia menjadi perwakilan partainya di Komisi Urusan Kebudayaan. Dan di sini dia punya target ambisius: Harta budaya yang dijarah harus dikembalikan ke negara asal.

"Waktu saya jalan di museum Jerman dan melihat warisan seni dan budaya dari daerah saya, hati saya sakit. Benda-benda ini dipajang, tetapi tidak berarti apa-apa bagi orang-orang yang melihatnya," katanya. "Padahal benda-benda itu sangat berarti bagi orang-orang di negara asal mereka, yang telah dirampok identitasnya."

Karamba Diaby (SPD)Foto: DW

Karamba Diaby: Politisi kawakan anti-rasisme

Di samping dua pendatang baru, masih Karamba Diaby, yang masuk ke Bundestag tahun 2013. Dia adalah anggota pertama parlemen Jerman yang berasal dari Afrika. Saat itu, bahkan harian kondang AS New York Times menulis laporan khusus tentang dia. Pada pemilu 2021, dia terpilih dengan mandat langsung untuk duduk di Bundestag.

Karamba Diaby datang ke bekas Jerman Timur pada 1980-an dari Senegal dengan program beasiswa. Dia kota Halle dia belajar ilmu kimia dan akhirnya mendapatkan gelar doktor dalam bidang keilmuan kontaminasi logam berat. Kota Halle sudah menjadi "tanah air" keduanya, sekalipun di kawasan ini banyak pendukung ekstrem kanan yang anti imigran.

"Ancaman pembunuhan dan sebagainya menyakiti saya. Tapi saya juga selalu melihat dukungan dan solidaritas ketika mendapat besuatu yang tidak pantas, seperti postingan (media sosial) yang menghina atau merendahkan," katanya kepada DW.

"Saya telah dikirimi surat dari orang-orang yang menyatakan solidaritas dan dari siswa sekolah yang mengumpulkan tanda tangan di kelas masing-masing."

Setelah hampir 9 tahun menjadi anggota Bundestag, Karamba Diaby sekarang duduk di Komisi Luar Negeri dan Komisi Kerjasama Pembangunan. Dia mengatakan, parlemen Jerman sekarang sudah jauh berbeda dari tahun 2013, jauh lebih beragam.

"Semakin beragam parlemen, semakin beragam perspektifnya," pungkasnya.

(hp/as)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait