1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Angin Reformasi Kini Bertiup ke Mesir

26 Januari 2011

Kerusuhan sosial di Mesir menunjukkan, warga sudah tidak takut lagi terhadap tekanan rezim penguasa.

Polisi anti huru hara terlibat bentrokan dengan para demonstran di Kairo.Foto: picture-alliance/dpa


Kerusuhan sosial di Mesir yang sudah mengakibatkan korban tewas, menjadi sorotan dalam tajuk sejumlah harian internasional.

Harian liberal Italia La Stampa dalam tajuknya berkomentar : Ramalan bahwa angin reformasi dari Tunisia tidak akan berhembus ke Mesir, karena realitas di negeri itu berbeda, kini langsung dibantah oleh aksi rakyat di jalanan. Puluhan ribu warga Mesir yang marah, akan tetapi tetap berdisiplin, menggabungkan diri dengan angin reformasi. Sebuah awal, yang akan mengaduk-aduk dunia Arab. Tidak diragukan lagi, peristiwa ini merupakan buah dari cara komunikasi massa terbaru, yakni jejaring sosial. Aksi protesnya terutama ditujukan pada ketiadaan lapangan kerja dan roti. Juga terhadap kekayaan yang terkumpul di segelintir orang. Sementara di sisi lainnya, penguasa yang arogan tidak tahu apa artinya pergantian kekuasaan. Semua itu menciptakan campuran yang mudah meledak, di negara Arab yang paling banyak penduduknya.

Harian konservatif Austria Die Presse berkomentar senada : Rezim di Mesir masih berharap dan menghibur diri, bahwa kondisi yang pada tanggal 14 Januari memicu revolusi di Tunisia, ada di kawasan lain dan bukan di Mesir. Tapi, kenyataannya terdapat situasi yang paralel. Yang membuat penguasa yang telah bercokol sangat lama di Mesir, Hosni Mubarak merasa ketakutan. Yakni, tingginya angka pengangguran di kalangan generasi muda, korupsi, semakin lebarnya kesenjangan antara yang kaya dan miskin serta tidak adanya perspektif. Lebih berbahaya lagi bagi Mubarak adalah fenomena psikologi massa, dimana untuk pertama kalinya 15 ribu warga menggelar pawai di jalanan Kairo. Rakyat kini sudah kehilangan rasa takutnya.

Sementara harian liberal kanan Italia Corriere della Sera mengomentari aksi protes di Mesir itu dengan memandang pada stabilitas seluruh kawasan. Demamnya amat mudah menular dan sulit dihentikan atau diredam. Anginnya sudah menerpa sebagian besar kawasan di selatan Laut Tengah. Apa yang dimulai awal tahun ini di Mesir, kini kembali lagi ke tempat asal mulanya. Setelah sebelumnya menjalar ke Tunisia, Aljazair, Libanon dan bahkan ke Albania. Dapat dipastikan, revolusi di Tunisia yang kini mendorong warga Mesir yang belum aktif, untuk ikut bergerak. Menimbang kenyataan, bahwa perlawanan rakyat di Tunisia berhasil menumbangkan pemerintahan dan memaksa presiden Ben Ali melarikan diri ke luar negeri. Kita menjadi saksi dari sebuah perkembangan, yang beberapa bulan lalu kelihatannya mustahil terjadi.

Juga perubahan kekuasaan di Libanon menjadi tema komentar sejumlah harian internasional. Harian konservatif Perancis Le Figaro dalam tajuknya mengomentari penunjukan Najib Mikati sebagai PM baru Libanon. Milyarder Najib Mikati dari kelompok Sunni, mungkin saat ini bukan solusi yang terlalu buruk. Ia disebut-sebut sebagai tokoh moderat yang penuh rasa tanggung jawab yang juga memperoleh kepercayaan dari barat. Di sebuah negara, dimana aliansi politik seringkali lebih banyak ditentukan oleh kepentingan khusus ketimbang kelompok agama, Mikati merupakan tokoh hasil kompromi. Paling tidak, karena kurangnya kandidat yang lebih baik. Juga tidak disebut, bahwa ia akan menjadi bola permainan milisi Hisbullah. Artinya, Hisbullah belum menang di Libanon.

AS/DK/afp/dpa