Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas melakukan kunjungan pertamanya ke Turki. Ankara kemungkinan akan menggunakan kunjungan ini sebagai peluang untuk mengambil hati Berlin.
Iklan
Hubungan antara Turki dan Jerman di bawah kepemimpinan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam beberapa tahun terakhir memang tidak bisa dikatakan baik.
Pada Maret 2017, Erdogan menyerang Kanselir Angela Merkel dan menuduhnya menggunakan "langkah-langkah Nazi" karena Berlin mencegah menteri-menteri Turki menggelar kampanye di Jerman.
Pada tahun yang sama, akses anggota parlemen Jerman ke pasukan yang ditempatkan di pangkalan udara Incirlik di Turki selatan ditolak. Tindakan ini mendorong penarikan tentara Jerman dari pangkalan itu.
Selain itu, ada banyak kasus warga Jerman yang dipenjara di Turki dalam beberapa tahun terakhir.
Tapi sekarang, tampaknya Turki berusaha untuk memperbaiki hubungan dengan Jerman dan Uni Eropa. Keinginan ini bertepatan dengan adanya ketegangan hubungan antara Ankara dengan Washington dan kejatuhan ekonomi Turki.
Kedatangan Menteri Luar Negeri Heiko Maas sangat bertepatan pada saat Turki membutuhkan sekutu andal. Tetapi Erdogan juga perlu melakukan langkah politik yang tepat.
Prioritaskan warga Jerman yang dipenjara
Tujuan pertama Maas adalah mengusahakan pembebasan tujuh warga Jerman yang dipenjara karena alasan politik sejak kudeta yang gagal pada 2016. Tiga dari tahanan itu memiliki kewarganegaraan ganda dengan Turki.
Roy Karadag, seorang ahli Turki dan direktur Institut Studi Antarbudaya dan Internasional di Universitas Bremen, mengharapkan para tahanan bisa segera dibebaskan.
Siapakah Recep Tayyip Erdogan?
Dari aktivis menjadi presiden, karir politik Recep Tayyip Erdogan menanjak pesat. Namun ia juga menjadi sosok yang kontroversial. DW melihat lebih dekat jalan Erdogan menuju tampuk kekuasaan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Morenatti
Bangkitnya Turki di bawah Erdogan
Di Turki dan di luar negeri, sosok Recep Tayyip Erdogan menimbulkan efek berlawanan. Ada yang menggambarkannya sebagai "sultan" Ottoman baru dan ada juga yang menganggapnya pemimpin yang otoriter. DW mengeksplorasi bangkitnya pemimpin Turki ini dari masa awal berkampanye untuk urusan Islamis hingga menjadi presiden di negara yang memiliki kekuatan militer terbesar kedua di NATO.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Morenatti
Walikota Istanbul yang pernah dipenjara
Setelah bertahun-tahun bergerak di jajaran Partai Kesejahteraan yang berakar Islamis, Erdogan terpilih sebagai walikota Istanbul pada 1994. Namun empat tahun kemudian, partai itu dinyatakan inkonstitusional karena mengancam sistem pemerintahan sekuler Turki dan dibubarkan. Ia kemudian dipenjara empat bulan karena pembacaan puisi kontroversial di depan umum dan akibatnya ia kehilangan jabatannya.
Erdogan mendirikan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), yang memenangkan mayoritas kursi pada tahun 2002. Dia diangkat menjadi perdana menteri pada tahun 2003. Di tahun-tahun pertamanya, Erdogan bekerja untuk menyediakan layanan sosial, meningkatkan ekonomi dan menerapkan reformasi demokratis. Beberapa orang berpendapat bahwa Erdogan mengubah haluan pemerintahan Turki menjadi lebih religius.
Foto: picture-alliance/dpa/B. Ozbilici
Ingin generasi yang saleh
Meskipun konstitusi Turki menjamin sistem sekluarisme, pengamat yakin bahwa Erdogan telah berhasil membersihkan sistem sekuler di sana. Pemimpin Turki ini mengatakan bahwa salah satu tujuannya adalah untuk membangkitkan "generasi yang saleh." Pendukung Erdogan memuji inisiatifnya dengan alasan bahwa tahun-tahun diskriminasi terhadap Muslim yang religius akhirnya bisa berakhir.
Foto: picture-alliance/AA/C. Ozdel
Berhasil lolos dari usaha kudeta
Pada Juli 2016, kudeta militer gagal yang menargetkan Erdogan dan pemerintahannya menyebabkan lebih dari 200 orang tewas, termasuk warga sipil dan tentara. Setelah upaya kudeta, Erdogan mengumumkan keadaan darurat dan bersumpah untuk "membersihkan" militer. "Di Turki, angkatan bersenjata tidak mengatur negara atau memimpin negara. Mereka tidak bisa," katanya.
Foto: picture-alliance/AA/K. Ozer
Penumpasan oposisi
Sejak kudeta gagal, pihak berwenang menangkap lebih dari 50.000 orang di angkatan bersenjata, kepolisian, pengadilan, sekolah dan media. Erdogan menuduh Fethullah Gulen (seorang ulama yang diasingkan di AS dan mantan sekutu Erdogan) dan para pendukungnya telah mencoba merusak pemerintahan. Namun organisasi HAM meyakini tuduhan itu merupakan sarana untuk memperkuat kekuasaan dan pengaruhnya.
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Gurel
Didukung dan dikritik
Meskipun Erdogan menikmati dukungan signifikan di Turki dan komunitas diaspora Turki, dia dikritik karena kebijakannya yang keras dan aksi-aksi terhadap militan Kurdi setelah runtuhnya proses perdamaian pada 2015. Januari 2018, Erdogan meluncurkan serangan mematikan ke utara Suriah (Afrin), sebuah operasi yang secara luas dikecam oleh organisasi HAM.
Foto: picture- alliance/ZUMAPRESS/Brais G. Rouco
Era baru?
Menjabat sebagai presiden Turki sejak 2014, Erdogan ingin memperpanjang jabatannya. Pemilu bulan Juni akan menandai transisi Turki menjadi negara presidensial bergaya eksekutif. Namun disinyalir, lanskap media Turki didominasi oleh kelompok yang punya hubungan dengan Partai AKP yang berkuasa. Para pengamat percaya, pemilu ini menandai era baru bagi Turki - belum jelas, era baik atau buruk.(na/hp)
Foto: picture-alliance/dpa/T. Bozoglu
8 foto1 | 8
"Saya percaya tahanan Jerman, atau tepatnya para sandera, akan dibebaskan dengan imbalan dukungan ekonomi, keuangan dan politik," katanya.
Tetapi Turki harus melakukan reformasi substansial jika ingin mendapatkan bantuan keuangan dari Jerman dan negara-negara Eropa lain. Turki juga harus bisa meyakinkan investor asing kalau negara itu adalah tempat yang aman untuk berbisnis, kata Jürgen Hardt, juru bicara kebijakan luar negeri dari partai Kristen konservatif CDU/CSU.
"Banyak calon investor adalah orang Jerman-Turki atau Turki yang tinggal di negara-negara Eropa. Harus ada jaminan untuk investasi dan keselamatan pribadi mereka," katanya.
"Tidak boleh ada orang yang bepergian ke Turki dan jadi takut ditangkap hanya karena mengatakan sesuatu yang salah dari perspektif Ankara."
Nils Schmid, juru bicara kebijakan luar negeri untuk Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD), prihatin dengan banyaknya pelanggaran hak asasi manusia di Turki.
"Ribuan orang dipenjara," katanya, menunjuk pengusaha Turki dan aktivis hak asasi manusia Osman Kavala, yang disebut Schmid sebagai "mitra yang sangat penting ketika menyangkut pertukaran budaya antara Turki dan Jerman."
Masa depan konflik Suriah juga menjadi topik selama kunjungan Maas. Pemerintah Suriah bersiap untuk melancarkan serangan terhadap kubu pemberontak besar terakhir di provinsi Idlib, dan PBB telah memperingatkan tentang akan adanya krisis kemanusiaan baru.
Turki yang hingga saat ini sudah menampung hampir 3,5 juta pengungsi Suriah akan melihat kedatangan gelombang pengungsi baru ke negaranya.
Sejarah Kudeta Militer di Turki
Sebanyak enam kudeta dilancarkan militer terhadap pemerintah sipil sepanjang sejarah Turki. Hampir semua bermotifkan politik. Militer menganggap diri sebagai pengawal sekularisme Atatürk dan tidak jengah mengintervensi.
Foto: Reuters/O. Orsal
1960: Kudeta Demokrasi
Kepala pemerintahan pertama di Turki yang dipilih langsung oleh rakyat tidak berusia lama. Kekuasaan Adnan Menderes dan Partai Demokrat diwarnai pelanggaran HAM dan upaya untuk mengembalikan Syariat Islam ke pemerintahan Turki. Militer kemudian melancarkan upaya kudeta pertama. Setahun berselang Menderes dihukum mati oleh junta militer.
Foto: picture-alliance/AP Photo
1971: Berakhir Lewat Memorandum
Selang 11 tahun setelah kudeta terakhir, militer melayangkan memorandum yang menyebut pemerintah telah "menyeret negara dalam anarki dan kerusuhan sosial." Surat yang ditandatangani semua perwira tertinggi militer itu mengultimatum pemerintahan untuk segera membubarkan diri dan membentuk pemerintahan kesatuan.
Foto: Imago/ZUMA/Keystone
1980: Kudeta Mengakhiri Perang Proksi
Muak dengan pertikaian antara kaum kanan dan komunis kiri, panglima militer Jendral Kenan Evren melancarkan kudeta buat menyingkirkan pemerintahan sipil. Turki pada dekade 80an ikut terseret dalam arus perang dingin yang ditandai dengan konflik berdarah di level akar rumput. Hingga akhir 70an negeri dua benua itu mengalami 10 pembunuhan per hari terhadap aktivis komunis atau sayap kanan
Foto: imago/Zuma/Keystone
Darah Berbayar Duit
Kudeta 1980 membuahkan pertumbuhan ekonomi buat Turki yang nyaris bangkrut. Namun kekuasaan Jendral Evren hingga 1989 banyak diwarnai oleh penculikan dan penyiksaan terhadap oposisi dan kelompok anti pemerintah. Tahun 2014 Evren akhirnya divonis penjara seumur hidup oleh sebuah pengadilan di Ankara. Namun lantaran faktor usia, vonis tersebut cuma bersifat simbolis.
Foto: AP
1997: Intervensi Senyap
Kembali militer bereaksi ketika pemerintahan Necmettin Erbakan dinilai menanggalkan prinsip sekulerisme Ataturk. Saat itu dewan jendral, termasuk Panglima Militer Jendral Ismail Hakki Karadayi, mengultimatum pemerintah untuk melaksanakan enam butir tuntutan yang membatasi gerak kelompok Islam. Kudeta itu berhasil menjatuhkan Erbakan. Tapi para jendral yang terlibat kemudian diadili tahun 2012
Foto: Adem Altan/AFP/Getty Images
2016: Kudeta Setengah Hati
Pada Jumat malam, 15 Juli 2016, militer tiba-tiba mendeklarasikan kudeta dan mengklaim telah merebut pemerintahan dari tangan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Saat itu Erdogan sedang berlibur di luar negeri. Militer lalu bergerak merebut tempat-tempat strategis, termasuk kantor stasiun televisi CNN Turki di Istanbul
Foto: Getty Images/G.Tan
Balas Dendam Erdogan
Lewat pesan ponsel Erdogan memerintahkan pendukungnya untuk turun ke jalan. Aparat kepolisian dan pasukan pemerintah dikerahkan buat menghalau kelompok makar. Hasilnya ratusan orang tewas dan ribuan lain luka-luka. Kudeta di Turki dinilai berlangsung tanpa perencanaan matang. Erdogan lalu memanfaatkannya buat memberangus musuh politik yang sebagian besar simpatisan kelompok Gulen