1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikMyanmar

Antara Giok dan Rubi: Gurita Bisnis Militer Myanmar

12 Februari 2021

Imperium bisnis militer Myanmar diyakini menggurita, mulai dari tambang hingga pariwisata. Menyusul kudeta pekan lalu, AS menjatuhkan sanksi ekonomi, yang membuat panik perusahaan asing lantaran kadung menjalin bisnis.

Tambang giok di Hpakant, negara bagian Kachin, Myanmar.
Tambang giok di Hpakant, negara bagian Kachin, Myanmar.Foto: Getty Images/AFP/Y. A. Thu

Pertambangan, perbankan, energi, pertanian atau bahkan Pariwisata: Militer Myanmar atau Tatmadaw tak kenal lelah menumpuk harta lewat jaringan bisnisnya. Tapi kini, kekayaan itu menjadi sasaran embargo ekonomi AS, menyusul kudeta terhadap pemerintahan sipil Myanmar, 1 Februari lalu. 

Kamis (11/2), Presiden Joe Biden membekukan aset Tatmadaw senilai USD 1 miliar di Amerika Serikat. Sementara Kementerian Keuangan memblokir setiap aset AS atau transaksi dengan 10 petinggi militer yang dinilai mendalangi kudeta. 

Namun begitu, junta militer Myanmar diyakini masih bisa mengakses cadangan kekayaannya lewat jaringan konglomerat di dalam dan luar negeri, lapor kelompok anti-korupsi, Justice for Myanmar (JFM). 

Melalui dua grup usaha, Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC), para jendral mengontrol atau mengawasi setidaknya 133 perusahaan, menurut catatan JFM. 

Kedua grup membawahi ragam unit usaha, mulai dari produsen bir, perkebunan tembakau, transportasi dan logistik, pabrik tekstil, hotel atau bank. Militer juga diyakini ikut berkecimpung dalam bisnis gelap perdagangan batu mulia. 

Dua komoditas yang paling disorot adalah batu giok dan rubi. Myanmar merupakan produsen giok terbesar di dunia. Perdagangan kedua batu berharga itu ditaksir bernilai miliaran US Dollar setiap tahunnya. Namun hanya sebagian kecil transaksi yang tercatat resmi. Sisanya diyakini diselundupkan ke Cina.  

Korupsi lewat korporasi 

Cina, Eropa dan Thailand merupakan negara tujuan ekspor paling besar bagi Myanmar.

Menurut LSM Global Witness, sejak 2001 industri giok Myanmar berada “di bawah kontrol jejaring elit militer, bandar narkoba dan kroni-kroninya.” Saat ini perusahaan yang mengantongi izin penambangan giok paling besar adalah Myanmar Imperial Jade Co. Ltd. yang menginduk kepada MEHL. 

Kamis (11/2) perusahaan itu masuk dalam daftar sanksi ekonomi AS. 

MEHL menjalin relasi bisnis dengan perusahaan Cina, Jepang, Korea Selatan dan Singapura. Menurut catatan pemerintah, dewan direksi dan pemegang saham MEHL kebanyakan adalah pensiunan jendral atau perwira aktif.  

Antara 1990 dan 2011, MEHL tercatat mengucurkan dividen senilai USD 18 miliar kepada pemegang saham, menurut laporan Amnesty International, September 2020 lalu. Pada 2011 saja, kepala junta, Jendral Min Aung Hlaing, tercatat menerima setidaknya keuntungan senilai USD 250.000 atau sekitar Rp 3,5 miliar.  

Pemimpin junta militer Myanmar, Jendral Min Aung HlaingFoto: Tatmadaw True Information Team Facebook page via AP/picture alliance

Selama hampir separuh abad berkuasa, “petinggi-petinggi militer punya waktu banyak untuk memperkaya diri,” kata Francoise Nicolas, Direktur Asia Institute of International Relations, sebuah lembaga pemikir Prancis. 

Adapun proses demokratisasi dan pemulihan kekuasaan sipil pada 2011 silam tidak banyak mengusik imperium bisnis Tatmadaw, lapor Amnesty. 

Namun kemenangan Aung San Suu Kyi yang mendulang lebih dari 80% suara pada pemilihan umum November silam menggoyang kekuasaan militer, tutur Francoise. “Kemenangan ini mengancam sebagian kekayaan mereka, dan mungkin melandasi keputusan untuk melancarkan kudeta.” 

Pasca kudeta, militer dilaporkan memperkuat kontrolnya terhadap perusahaan-perusahaan negara, termasuk sektor minyak dan gas yang dianggap lahan basah. 

Stop investasi asing

Hal ini menempatkan perusahaan-perusahaan asing dalam posisi pelik. Tapi sejauh ini hanya perusahaan bir Jepang, Kirin, dan perusahaan energi Singapura Puma, yang sudah menyatakan hengkang dari Myanmar pasca kudeta. 

Sementara raksasa minyak Prancis, Total, yang memiliki 31,24% ladang gas Yadana di Myanmar, mengaku masih mempelajari dampak kudeta. Pada 2019 silam, Total membayar USD 257 juta kepada pemerintah Myanmar.  

“Kami mengimbau perusahaan minyak dan gas agar mengakhiri hubungannya dengan perusahaan migas Myanmar dan keluar dari negeri kami,”kata Yadanar Maung, juru bicara Justice for Myanmar. 

Hal senada diungkapkan Debbie Stothard dari organisasi HAM, Federation for Human Rights. Terutama Singapura sebagai investor terbesar Myanmar "memiliki nilai tawar yang tinggi” untuk menggandakan tekanan internasional terhadap junta militer

“Sejumlah petinggi Tatmadaw banyak berinvestasi di Singapura sejak pertengahan 2000an. Tren ini menguat sejak beberapa tahun terakhir,” kata dia.  

Jika militer memang berniat melindungi kekayaannya lewat kudeta, maka penghentian hubungan bisnis dengan Myanmar terasa lebih mendesak, papar Yadanar Maungh. “Tanpa langkah yang tegas, militer akan terus melakukan tindak kekerasan terhadap rakyat dan demokrasi tidak akan punya harapan lagi." 

rzn/hp (afp, rtr, theirrawady) 

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya