Jika diperhatikan seksama, dunia, termasuk Indonesia juga dihuni oleh sejumlah “manusia-manusia Tuhan” Apa definisi fenomena “manusia-manusia Tuhan” ini ? Perspektif Sumanto al Qurtuby.
Iklan
Yang saya maksud dengan “manusia-manusia Tuhan” ini tentu saja bukan sosok seperti Fir'aun di zaman Mesir Kuno atau sejumlah tokoh legenda “manusia dewa” di zaman Yunani Kuno atau India Kuno. Bukan pula merujuk pada sejumlah elit suku di Afrika, Amerika Latin dan lainnya yang “mengtahbiskan” diri sebagai “Tuhan” dan mengklaim memiliki kekuatan supranatural untuk mengatur kehidupan dengan tujuan agar mendapat “sesembahan” dari—dan ditaati oleh—warga sukunya.
Yang dimaksud dengan “manusia-manusia Tuhan” dalam tulisan ini adalah sekelompok umat manusia dan kaum beragama—di belahan bumi manapun mereka berada—yang berlagak seperti “Tuhan” yang mengatur nasib orang lain kelak di dunia pasca-kematian atau di alam akhirat.
Mereka juga dengan “genitnya” memvonis kelompok manusia mana yang akan selamat masuk surga dan yang akan terjerumus ke jurang neraka. Pada saat yang sama, mereka begitu pede-nya merasa sebagai satu-satunya golongan yang kelak akan selamat di “dunia lain” dan menempati indahnya surga dan manikmati segala isinya.
Lebih lanjut, para “manusia Tuhan” ini juga dengan congkaknya “meluruskan” sistem teologi, tata-ibadat, ritual keagamaan, dan amalan-amalan ibadah orang lain atau pemeluk agama / sekte lain karena dinilai telah menyimpang dari “aturan-aturan resmi ketuhanan”. Mereka bahkan dengan pongahnya “mengbid'ah-sesatkan” adat, tradisi, kebudayaan dan aneka local wisdoms warisan nenek-moyang mereka sendiri.
Buah Haram Wahabisme
Sejak lama dunia mengkhawatirkan paham Wahabisme sebagai wadah terorisme global. Ajaran puritan itu diyakini tidak cuma menjadi rumah ideologi, tapi penganutnya juga ikut membiayai tindak terorisme di Timur Tengah.
Foto: Reuters/C. Barria
Wahabisme Telurkan Radikalisme?
Sejak 2013 silam parlemen Eropa mewanti-wanti terhadap paham Wahabisme. Bahkan Dewan Fatwa Malaysia menilai faham tersebut kerap melahirkan pandangan radikal dan bisa berujung pada tindak terorisme. Pasalnya Wahabisme menganut prinsip pemurnian Islam. Bentuknya yang cenderung eksklusif dan intoleran terhadap ajaran lain membuat penganut Wahabisme rentan terhadap radikalisasi.
Foto: Reuters
Sumber Ideologi
Kebanyakan kelompok teror dari Nigeria, Suriah, Irak hingga ke Pakistan mengklaim Wahabisme atau Salafisme sebagai ideologi dasar. Al-Qaida, Islamic State, Taliban, Lashkar-e-Toiba, Front al Nusra dan Boko Haram adalah kelompok terbesar yang jantung ideologinya merujuk pada paham Islam puritan itu.
Foto: picture-alliance/dpa
Propaganda dari Riyadh
Hingga kini pemerintah Arab Saudi sudah mengucurkan dana hingga 100 miliar dolar AS untuk mempromosikan paham Wahabisme ke seluruh dunia. Sebagai perbandingan, Uni Soviet cuma menghabiskan dana propaganda Komunisme sebesar 7 miliar dolar AS selama 70 tahun sejak dekade 1920-an. Pakar keamanan mencurigai, sebagian dana dakwah itu disalahgunakan untuk membiayai terorisme.
Foto: picture-alliance/dpa/T. Brakemeier
Dana Gelap di Musim Haji
Pada nota rahasia senat AS dari tahun 2009 yang bocor ke publik, calon presiden AS Hillary Clinton menyebut hartawan Arab Saudi sebagai "donor terbesar" kelompok terorisme di seluruh dunia. Biasanya teroris memanfaatkan musim haji untuk masuk ke Arab Saudi tanpa mengundang kecurigaan aparat keamanan.
Foto: AFP/Getty Images/M. Al-Shaikh
Bisnis Perang
Penyandang dana teror terbesar di Arab Saudi tidak lain adalah hartawan berkocek tebal. Dengan mengandalkan uang minyak, mereka secara langsung atau tidak langsung menyokong konflik bersenjata di Pakistan atau Afganistan. Hal tersebut terungkap dalam dokumen rahasia Kementerian Pertahanan AS yang bocor di Wikileaks.
Foto: Getty Images/AFP/A. Karimi
Sumbangan buat Laskar Tuhan
Kelompok teroris tidak jarang menggunakan perusahaan atau yayasan untuk mengumpulkan dana perang. Lashkar-e-Toiba di Pakistan misalnya menggunakan lembaga kemanusiaan Jamaat-ud Dakwa, untuk meminta sumbangan. Kedoknya adalah dakwah Islam. Salah satu sumber dana terbesar biasanya adalah Arab Saudi.
Foto: AP
Senjata dari Emir
Arab Saudi bukan satu-satunya negara Islam yang menyokong terorisme. Menurut catatan Pentagon yang dipublikasikan majalah The Atlantic, Qatar membantu Jabhat al-Nusra dengan perlengkapan militer dan dana. Kelompok teror tersebut sempat beroperasi sebagai perpanjangan tangan Al-Qaida di Suriah. Jerman juga pernah melayangkan tudingan serupa terhadap pemerintah Qatar ihwal dana untuk Islamic State
Foto: picture-alliance/AP Photo/K. Jebreili
Dinar untuk al Nusra
Tahun 2014 silam Washington Post memublikasikan laporan yang mengungkap keterlibatan Kuwait dalam pembiayaan kelompok teror di Suriah, seperti Jabhat al Nusra. Laporan yang berlandaskan kesaksikan perwira militer dan intelijen AS itu menyebut dana sumbangan raksasa senilai ratusan juta dolar AS.
Foto: Reuters/H. Katan
Dukungan "tak langsung"
Harus ditekankan tidak ada bukti keterlibatan kerajaan al-Saud dalam berbagai aksi teror di seluruh dunia. Namun pada serangan teror 11 September 2001 di New York, AS, komite bentukan senat menemukan bahwa pelaku memiliki hubungan "tidak langsung" dengan kerajaan dan "mendapat dukungan dari kaum kaya Saudi dan pejabat tinggi di pemerintahan."
Foto: AP
Pencegahan Setengah Hati
Sejauh ini pemerintah Arab Saudi terkesan setengah hati membatasi transaksi keuangan gelap untuk pendanaan terorisme dari warga negaranya. Dalam dokumen rahasia Kementerian Pertahanan AS yang bocor ke publik, Riyadh misalnya aktif melumat sumber dana Al-Qaida, tapi banyak membiarkan transaksi keuangan untuk kelompok teror lain seperti Taliban atau Lashkar-e-Toiba.
Foto: picture-alliance/dpa/Saudi Press Agency
Bantahan Riyadh
Namun Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Adel al-Jubeir, membantah hubungan antara ideologi Wahabi dengan terorisme. "Anggapan bahwa Saudi membiayai ekstremisme atau Ideologi kami menyokong ekstremisme adalah omong kosong. Kami aktif memburu pelaku, uang dan dalang di balik tindak terorisme," tukasnya.
Foto: Reuters/C. Barria
11 foto1 | 11
Catut nama Tuhan
Atas nama menegakkan “aturan Tuhan” itu—dan demi mewujudkan atau menghayalkan “ajaran yang murni”—mereka tidak sungkan-sungkan alias tidak tahu malu melakukan berbagai tindakan norak tak bermoral. Serta aksi yang jauh dari “etika profetis” dan norma-norma agung yang ditanamkan para pendiri agama. Menghujat, mengumpat dan menyumpahserapahi orang lain termasuk para tokoh, pejuang, klerik, ulama, sarjana, dan pemikir agama dengan kata-kata kotor dan kasar sudah sering dipertontonkan oleh “manusia-manusia Tuhan” ini. Hanya karena berbeda agama, mazhab, pandangan, haluan, wawasan dan pemikiran keagamaan-kebudayaan, mereka ngotot melakukan tindakan tidak pantas bahkan anarkis itu kepada orang lain.
Bukan hanya dengan kata-kata verbal saja, mereka bahkan secara sadar melakukan tindakan kekerasan fisik secara brutal (mengamuk, menjarah, merusak, membakar, menggeruduk, mengeroyok dan bahkan menghabisi nyawa dan memerkosa) orang lain, pemeluk agama lain, pengikut sekte lain, aktivis ormas lain dan seterusnya beserta propertinya. Mereka mengklaim, lagi-lagi, aneka tindakan biadab dan tidak manusiawi itu sebagai bagian dari upaya untuk merealisasikan “mandat Tuhan”.
Kehancuran Mekkah dan Madinah
Sejak menguasai dua kota suci, Mekkah dan Madinah, kerajaan al Saud secara sistematis menghancurkan berbagai situs bersejarah Islam. Langkah itu tidak cuma digerakkan oleh kepentingan bisnis haji, tapi juga keyakinan
Foto: picture-alliance/dpa/afp/Naamani
Ambisi Haji
Sejak jatuhnya harga minyak, pemerintah Arab Saudi ingin lebih cepat mengembangkan wisata Haji sebagai salah satu pondasi perekonomian. Salah satu proyek terbesar adalah perluasan Masjid al Haram di Mekkah dan pembangunan berbagai hotel berbintang di sekitarnya. Namun proyek tersebut bergulir dengan mengorbankan berbagai situs bersejarah dari era kelahiran Islam.
Foto: picture-alliance/dAP Photo/K. Mohammed
Makam Khadijah
Isteri pertama nabi Muhammad S.A.W, Khadijah binti Khuwaylid dimakamkan di kompleks pemakaman Jannatul Mualla di Mekkah. Namun tahun 1925, kompleks tersebut dibuat rata dengan tanah oleh Raja Ibn Saud. Termasuk yang menghilang adalah kubah yang menaungi makam Khadijah R.A.
Benteng Ayjad
Benteng yang tampak pada sisi kiri gambar dibangun tahun 1780 oleh kesultanan Utsmaniyah untuk melindungi Kabah dari serangan kelompok bandit yang kebanyakan berfaham Wahabi. Tahun 2002 kerajaan Arab Saudi menghancurkan benteng historis itu untuk membangun hotel berbintang lima, Mecca Royal Hotel Clock Tower. Langkah tersebut mengundang kecaman dunia. Namun Riyadh bergeming
Foto: public domain
Rumah Khadijah
Tidak cuma makam Khadijah yang dibuldozer kerajaan Arab Saudi, rumahnya yang terletak di dekat bukit Marwah juga lenyap pada saat perluasan Masjid al Haram. Kini lokasi tersebut diyakini telah menjadi toilet umum. Menurut catatan sejarah, nabi Muhammad tinggal selama lebih dari 20 tahun di rumah isteri pertamanya itu.
Foto: Fayez Nureldine/AFP/Getty Images
Maqbaratul Baqi'
Pemakaman historis ini antara lain menjadi pembaringan terakhir buat sejumlah keluarga nabi Muhammad dan juga khalifah ketiga, Uthman bin Affan. Kompleks pemakaman Al-Baqi' terutama dipercantik pada era kekhalifahan bani Umayyah. Tapi tahun 1926 raja Ibnu Saud memerintahkan pembongkaran musoleum dan makam, serta membuat kompleks al-Baqi' rata dengan tanah.
Foto: public domain
Petaka di Gunung Uhud
Termasuk makam yang dihancurkan adalah milik Hamza ibn ‘Abdul-Muttalib, paman nabi Muhammad yang meninggal dalam perang Uhud. Kompleks bersejarah di utara Mekkah itu kini dipagar. Pemerintah Arab Saudi juga menutup enam masjid di sekitar gunung Uhud, di mana nabi Muhammad diklaim pernah beribadah. Masjid ke tujuh, milik khalifah Abu Bakar as-Siddiq, dirubuhkan dan kini menjadi rumah ATM
Foto: Public Domain
Daftar Panjang
Daftar situs bersejarah Islam yang hancur oleh monarki Arab Saudi antara lain rumah kelahiran cucu nabi Muhammad, Hassan dan Hussein, makam Amina binti Wahab, ibu nabi Muhammad, kompleks makam Banu Hashim dan berbagai masjid atau makam yang dikhawatirkan bakal dijadikan tempat ziarah kaum Syiah.
Foto: Getty Images/AFP
Bayang-bayang Wahabisme
Penghancuran situs bersejarah Islam oleh kerajaan Arab Saudi tidak cuma digerakkan oleh motivasi bisnis semata, melainkan juga oleh faham Wahabisme yang melarang ziarah makam. Majelis Ulama Arab Saudi misalnya ikut berperan sebagai konsultan dalam berbagai proyek konstruksi di Mekkah dan Madinah.
Foto: picture-alliance/AP Photo
8 foto1 | 8
Apakah Tuhan menghendaki keseragaman ?
Apakah klaim teologi-keagamaan mereka valid dan bisa dibenarkan? Betulkah Tuhan Yang Maha Agung dan Bijak itu “merestui” berbagai tindakan konyol, brutal, dan inhuman yang dilakukan oleh para hamba-Nya yang sedang berakting “menjadi Tuhan” ini? Benarkah fakta-fakta pluralitas dan kemajemukan tradisi-kebudayaan umat manusia ini harus “disingularkan” dan “diseragamkan”?
Betulkah Tuhan menghendaki keseragaman, bukan keragaman, seperti klaim mereka selama ini? Jika memang benar Tuhan menghendaki keseragaman tetapi mengapa Dia ciptakan alam semesta beserta segenap isinya ini dalam keadaan warna-warni: flora-faunanya, etnik-sukunya, bahasanya, rasnya, warna kulitnya, agamanya, dan seterusnya?
Sejumlah pertanyaan diatas adalah pertanyaan filosofis-teologis fundamental yang mestinya perlu direnungkan dan dijawab dengan bijak oleh umat manusia, lebih-lebih para pemeluk agama, sebelum melakukan aksi-aksi sosialnya. Dalam rangka menyikapi keanekaragaman itu, dalam konteks Islam, Al-Qur'an (misalnya dalam Surat Al-Hujurat) sudah dengan tegas menegaskan agar manusia mengenali dan mempelajari keragaman itu dan bukan membumihanguskannya sehingga diharapkan bisa bersikap secara adil dan bijak terhadap fakta-fakta pluralitas kemanusiaan dan kebudayaan itu.
Negara-negara Tak Bertuhan
Dua pertiga penduduk Bumi mengaku beragama, tapi sisanya tidak bertuhan. Negara mana yang paling banyak menampung kaum ateis? Uniknya Asia justru berada di urutan terdepan
Foto: picture-alliance/ David Wimsett/UPPA/Photoshot
#1. Cina
Tradisi Cina tidak mengenal istilah agama dalam prinsipnya yang mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, melainkan ajaran nenek moyang yang terwujud dalam bentuk Taoisme atau Khonghucu. Sebab itu tidak heran jika dalam jajak pendapat lembaga penelitian Gallup, sekitar 61% penduduk Cina mengaku tidak bertuhan. Sementara 29% mengaku tidak taat beragama.
Foto: picture-alliance/dpa
#2. Hong Kong
Sebagian besar penduduk Hongkong menganut kepercayaan tradisional Tionghoa. Sementara lainnya memeluk agama Kristen, Protestan, Taoisme atau Buddha. Namun menurut jajak pendapat Gallup, sekitar 34% penduduk bekas jajahan Inggris itu mengaku tidak percaya kepada Tuhan.
Foto: Getty Images/AFP/P. Lopez
#3. Jepang
Serupa Cina, sebagian besar penduduk Jepang menganut kepercayaan etnis Shinto alias agama para dewa. Dalam hakekatnya Shintoisme tidak mengenal prinsip ketuhanan seperti agama samawi. Sebab itu pula banyak penganut Shinto yang mengaku tidak bertuhan. Gallup menemukan sekitar 31% penduduk Jepang mengklaim dirinya sebagai Atheis.
Foto: Reuters
#4. Republik Ceko
Sekitar 30% penduduk Republik Ceko mengaku tidak bertuhan. Sementara jumlah terbesar memilih tidak menjawab perihal agama yang dianut. Faktanya, agama sulit berjejak di negeri di jantung Eropa tersebut. Penganut Katholik dan Protestan misalnya cuma berkisar 12 persen dari total populasi.
Foto: picture-alliance/dpa/Xamax
#5. Spanyol
Katholik mewakili porsi terbesar dari penduduk Spanyol yang beragama. Sementara sisanya tersebar antara Protestan atau Islam. Uniknya kendati beragama, sebagian besar penduduk Spanyol mengaku tidak taat menjalani ritual keagamaan. Sementara 20% mengaku atheis atau agnostik.
Foto: Biel Alino/AFP/GettyImages
5 foto1 | 5
Bukankah Islam itu memang dihadirkan di muka bumi ini sebagai rahmat dan anugerah bagi semua mahluk di alam semesta ini (istilah Al-Qur'an-nya: “rahmatan lil alamin”), bukan sebagai bencana atau malapetaka bagi kemanusiaan? Dan bukankah Nabi Muhammad yang mulia itu lahir di dunia ini dalam rangka untuk memperbaiki moralitas atau ahlak manusia, khususnya para suku Arab, yang amburadul dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, dan bukannya untuk “mengagamakan” atau “mengislamkan” orang lain?
Apakah Tuhan membenarkan kekerasan?
Berdasarkan sejumlah argumen ini, maka saya khawatir aneka tindakan kekerasan—verbal maupun fisik—dan segala perilaku intoleran, tak bermoral dan tidak manusiawi yang mereka klaim sebagai “amanat Tuhan” itu sejatinya merupakan “mandat setan” yang berasal dari egoisme dan nafsu keserakahan mereka sendiri.
Keserakahan bukan hanya dalam konteks politik-ekonomi tetapi juga bisa dalam konteks teologi-keagamaan. Orang-orang yang bernafsu mengagamakan orang lain adalah termasuk golongan orang-orang serakah ini.
Satu Rumah Tiga Agama
Sebuah proyek di Berlin ingin menyatukan tiga agama Samawi dalam satu atap. Nantinya umat Muslim, Kristen dan Yahudi saling berbagi ruang saat beribadah. The House of One bakal dibiayai murni lewat Crowdfunding.
Foto: Lia Darjes
Berkumpul di Bawah Satu Atap
Tidak lama lagi ibukota Jerman, Berlin, bakal menyambut sebuah rumah ibadah unik, yang menyatukan tiga agama Ibrahim, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Rencananya The House of One akan memiliki ruang terpisah untuk ketiga agama, dan beberapa ruang umum untuk para pemeluk buat saling bersosialiasi.
Foto: KuehnMalvezzi
Tiga Penggagas
Ide membangun The House of One diusung oleh tiga pemuka agama, yakni Pendeta Gregor Hohberg, Rabi Tovia Ben-Chorin dan seorang imam Muslim, Kadir Sanci. "Ketiga agama ini mengambil rute yang berbeda dalam perjalanannya, tapi tujuannya tetap sama," ujar Kadir Sanci. Menurutnya The House of One merupakan kesempatan baik buat ketiga agama untuk menjalin hubungan dalam kerangka kemanusiaan
Foto: Lia Darjes
Berpondasi Sejarah
Di atas lahan yang digunakan The House of One dulunya berdiri gereja St. Petri yang dihancurkan pada era Perang Dingin. Arsitek Kuehn Malvezzi memutuskan menggunakan pondasi gereja St. Petri untuk membangun The House of One. Sang arsitek mengakomodir permintaan masing-masing rumah ibadah, seperti Masjid dan Sinagoga yang harus mengadap ke arah timur.
Foto: Michel Koczy
Cerca dan Curiga
Awalnya tidak ada komunitas Muslim yang ingin terlibat dalam proyek tersebut. Namun, FID, sebuah kelompok minoritas Islam moderat yang anggotanya kebanyakan berdarah Turki mengamini. Kelompok tersebut harus menghadapi cercaan dari saudara seimannya lantaran dianggap menkhianati aqidah Islam. Namun menurut Sanci, perdamaian adalah rahmat semua agama.
Foto: KuehnMalvezzi
Dikritik Seperti Makam Firaun
Tidak jarang proyek di Berlin ini mengundang kritik tajam. Salah seorang tokoh agama Katholik Jerman, Martin Mosebach, misalnya menilai desain arsitektur The House of One tidak mencerminkan sebuah bangunan suci. Bentuk di beberapa bagiannya malah tampak serupa seperti makan Firaun. Tapi ketiga pemuka agama yang terlibat memilih acuh dan melanjutkan dialog terbuka untuk menggalang dukungan publik
Foto: Lia Darjes
Sumbangan Massa
Penggagas proyek The House of One menyadari betul pentingnya peran publik dalam pembangunan. Sebab itu mereka sepenuhnya mengandalkan pendanaan massa alias crowdfunding. Setiap orang bisa menyumbang uang buat membeli satu batu bata. Sebanyak 4,350.000 batu bata dibutuhkan buat menyempurnakan bangunan. Sejauh ini dana yang terkumpul sebesar 1 juta Euro dari 43 juta yang dibutuhkan
Foto: KuehnMalvezzi
Merajut Damai
Manajamen proyek berharap rumah baru ini bakal menjadi pusat pertukaran budaya antara ketiga pemeluk agama untuk saling menengenal dan saling menghargai. "Adalah hal baik buat mengenal lebih dekat jiran kita," ujar Imam Kadir Sanci.
Foto: Lia Darjes
7 foto1 | 7
Lagi pula, menganggap Tuhan telah memberi legitimasi atau menjustifikasi aneka tindakan biadab yang dilakukan umat manusia, jelas merupakan bentuk pelecehan terhadap “harga diri” dan “martabat Tuhan” yang mereka anggap “pro-kekerasan” dan “anti-kemajemuan.” Jadi, alih-alih ingin menjadi “manusia Tuhan”, mereka justru telah berakting memerankan atau meniru perilaku setan.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby
Dosen Antropologi dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta penulis buku Religious Violence and Conciliation: Christians and Muslims in the Moluccas (London & New York: Routledge, 2016).
@squrtuby
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Rumah Ibadah: Bentuk Penghargaan Keyakinan
Jerman membuka diri untuk berbagai keyakinan. Di antaranya terlihat dari pembangunan rumah-rumah ibadah Muslim, yang diharapkan menjadi bagian dari integrasi antar budaya.
Foto: Getty Images
Mesjid Merkez di Duisburg
Diawali perdebatan selama enam tahun dan tahap perencanaan, yang disusul proses pembangunan selama enam tahun, akhirnya Mesjid Merkez di Duisburg berdiri pada tahun 2008. The Turkish-Islamic Union for Religious Affairs (DITIB) mendanai pembangunan mesjid ini. Mesjid ini juga digunakan sebagai wadah berdialog antar umat beragama.
Foto: Getty Images
Mesjid Gaya Klasik
Sekitar 1.200 orang bisa berkumpul di bawah kubah mesjid Merkez yang bergaya klasik ini. Ruang bawah tanah bangunan tersebut berisi perpustakaan. Ada lagi ruangan seluas 1.000 meter persegi yang bisa dipakai untuk acara khusus.
Foto: Getty Images
Koeksistensi Agama
Bahkan politisi Jerman konservatif menyerukan umat Islam untuk membangun mesjid. Di negara bagian Bayern ada beberapa tempat ibadah Muslim di lingkungan Katolik. Mesjid Kanun i Sultan Süleyman di kota Neu-Ulm selesai pada tahun 2006.
Foto: dapd
Mesjid Komunitas Turki di Berlin
Ada sekitar 80 mesjid dan mushola di Berlin. Kebanyakan dari bangunan-bangunan itu hampir tidak dikenali, karena banyak yang ukurannya kecil dan terletak di halaman belakang. Mesjid Sehitlik didirikan di distrik Tempelhof, di lokasi pemakaman Turki tertua di Eropa Tengah. Dua menara ramping mesjid mencapai lebih dari 30 meter yang menjulang ke langit.
Foto: Getty Images
Mesjid Utama di Köln
Terjadi aksi protes besar selama perencanaan mesjid baru di kota Köln. Pembangunannya dimulai pada bulan November 2009. Ukuran bangunan dan tampilannya menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat dan politisi Köln. Ini menjadi salah satu sebab tertundanya pembukaan mesjid sampai tahun 2013.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesjid di bekas ibukota
Mesjid Al Muhajirin merupakan salah satu mesjid di kota Bonn, Jerman. Bekas ibukota Jerman saat ini memiliki sekitar sembilan mesjid.
Foto: Al-Muhajirin Moschee Bonn e.V.
Gambaran Islam
Banyak komunitas Muslim yang berpikiran terbuka yang mendukung integrasi ke dalam masyarakat Jerman, ada juga pendatang dari kelompok yang radikal. Mesjid Al Muhsinin Salafi di Bonn telah lama berada di bawah pengawasan badan keamanan Jerman. Itu salah satu dari 30 lokasi yang diduga menjadi bagian dari jaringan Islam fundamental.
Foto: picture-alliance/JOKER
Tempat Pertemuan Jihadis
Mesjid kecil di daerah perumahan juga ada. Misalnya Mesjid Falah di Frankfurt. Dinas keamanan Jerman sempat menggerebek masjid ini, atas dugaan keterlibatan dengan terorisme.
Foto: dapd
Tempat Pertemuan Modern
Banyak komunitas Muslim yang berkomitmen untuk dialog antaragama. Komunitas Muslim Frankfurt, yang mulai dengan kegiatan mahasiswa, memulai dialog antaragama pada awal tahun 1960-an. Sekarang mereka kerap bertemu di aula doa Masjid Abu Bakr. Di sini, pengunjung bisa mendapatkan wawasan tentang agama dan budaya Muslim di Jerman.
Foto: picture-alliance/dpa
Terbuka dan Modern
Forum Islam di Penzberg, München dikelola masyarakat yang menggambarkan dirinya sebagai warga independen, multinasional, netral dan terbuka. Karakteristik tersebut tercermin dalam arsitektur mesjid, yang dibuka pada tahun 2005, dengan bagian depan gedung berkilau biru yang terbuat dari ribuan keping kaca dan menara baja halusnya.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesjid DITIB di Göttingen
Mesjid DITIB di Göttingen adalah bangunan baru lainnya, yang dibuka pada tahun 2007. Umatnya kebanyakan warga berlatar belakang Turki. Mesjid itu memiliki hubungan dengan komunitas mahasiswa Muslim Universitas Göttingen. Mereka menawarkan bantuan kepada anak-anak untuk menyelesaikan pekerjaan rumah mereka dan aktif terlibat dalam integrasi sosial.
Foto: picture-alliance/dpa
Mesjid Keempat Tertua di Jerman
Islamic Center di Hamburg adalah salah satu institusi Muslim tertua di Eropa dan merupakan pusat Islam Syiah di Jerman. Mesjid Imam Ali dibiayai oleh komunitas bisnis Iran pada tahun 1960-an. Meski badan-badan keamanan Jerman melakukan pengawasan terhadapnya, masjid ini tetap menyajikan gambaran keterbukaan.