Perkembangan satuan militer seperti misalnya Korps Marinir TNI AL dan Korps Brimob Polri menarik untuk diikuti. Bagaimana isi perutnya, diulas tuntas Aris Santoso.
Iklan
Mengikuti perkembangan sebuah satuan militer, khususnya bagi yang berminat, memiliki daya tarik sendiri. Seperti kehidupan manusia, dengan segala jatuh-bangunnya, yang akhirnya tetap tegak, bahkan melegenda. Dua satuan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Korps Marinir TNI AL dan Korps Brimob Polri.
Secara kebetulan hari kelahiran dua satuan tersebut saling berdekatan, hari jadi Korps Marinir adalah 15 November 1945, sementara Brimob adalah 14 November 1945. Satu kesamaan dari dua satuan ini adalah, meski pernah mengalami pasang-surut yang dahsyat, nama dua satuan ini tetap tersimpan rapi dalam kenangan rakyat . Seperti Brimob misalnya, pada masa yang paling "pahit” pernah hanya dipimpin perwira berpangkat Kombes (kolonel), dan bukan dalam komando tersendiri, namun di bawah Direktorat Samapta.
Pasukan Elite dan Pasukan Khusus
Bila didefinisikan secara ringkas, sebuah satuan disebut pasukan elite apabila sudah membuktikan prestasinya dalam operasi tempur, dan diakui secara terbuka oleh masyarakat. Satuan seperti Yonif 400 Banteng Raiders (Kodam IV/Diponegoro) atau Yonif 328 Para Raiders Kostrad, bisa dijadikan contoh tentang satuan elite. Meski kini jarang lagi ada operasi militer setingkat bataliyon, kecuali pamtas (pengamanan perbatasan), namun berkat prestasi generasi terdahulu, nama dua satuan tersebut sudah terlanjur melegenda. Penjelasan ini juga berlaku bagi satuan lainnya, yang akan terlalu panjang daftarnya bila dituliskan di sini.
Kemudian soal pasukan khusus, adalah pasukan dengan tugas khusus, biasanya dilakukan secara senyap. Pasukan ini juga dibekali persenjataan dan peralatan khusus sesuai dengan karakteristik tugasnya. Satuan seperti Satgultor 81 Kopassus, Denjaka Marinir, Denbravo 90 Paskhas AU, dan seterusnya, merupakan contoh populer tentang sebuah pasukan khusus. Ciri lainnya adalah, anggotanya relatif kecil, namun memiliki kemampuan di atas rata-rata, mengingat tugas mereka umumnya juga berisiko tinggi, semisal pembebasan sandera
Marinir dan Brimob masuk kategori satuan elite, karena jejak mereka yang panjang dalam operasi tempur, sejak masa lalu hingga sekarang. Satuan Brimob misalnya, adalah yang mengawal Presiden Soekarno di masa awal kemerdekaan, ketika satuan seperti Paspampres, belum lagi didirikan. Namun sebagai satuan elite, di bawah komando mereka terdapat pula satuan khusus.
Dalam Marinir misalnya, terdapat Denjaka (Detasemen Jalamangkara) sebagai satuan antiteror. Kemudian ada lagi Yontaifib (bataliyon intai amfibi), yang memiliki kemampuan tempur amfibi. Demikian juga dengan Brimob, yang juga memiliki satuan antiteror, yang di masa lalu disebut dengan Gegana. Di bawah Brimob juga terdapat satuan yang di masa lalu sangat legendaris, yaitu Menpor (Resimen Pelopor).
Kopassus Dalam Pusaran Sejarah
Dalam sejarahnya Komando Pasukan Khsusus banyak terlibat menjaga keutuhan NKRI. Tapi di balik segudang prestasi, tersimpan aib yang menyeret Kopassus dalam jerat pelanggaran HAM.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Heroisme Baret Merah
Tidak ada kekuatan tempur lain milik TNI yang memancing imajinasi heroik sekental Kopassus. Sejak didirikan pada 16 April 1952 buat menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan, satuan elit Angkatan Darat ini sudah berulangkali terlibat dalam operasi mengamankan NKRI.
Foto: Getty Images/AFP/R.Gacad
Kecil dan Mematikan
Dalam strukturnya yang unik, Kopassus selalu beroperasi dalam satuan kecil dengan mengandalkan serangan cepat dan mematikan. Pasukan elit ini biasanya melakukan tugas penyusupan, pengintaian, penyerbuan, anti terorisme dan berbagai jenis perang non konvensional lain. Untuk itu setiap prajurit Kopassus dibekali kemampuan tempur yang tinggi.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mendunia Lewat Woyla
Nama Kopassus pertamakali dikenal oleh dunia internasional setelah sukses membebaskan 57 sandera dalam drama pembajakan pesawat Garuda 206 oleh kelompok ekstremis Islam, Komando Jihad, tahun 1981. Sejak saat itu Kopassus sering dilibatkan dalam operasi anti terorisme di Indonesia dan dianggap sebagai salah satu pasukan elit paling mumpuni di dunia.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Terjun Saat Bencana
Segudang prestasi Kopassus membuat prajurit elit Indonesia itu banyak dilirik negeri jiran untuk mengikuti latihan bersama, di antaranya Myanmar, Brunei dan Filipina. Tapi tidak selamanya Kopassus cuma diterjunkan dalam misi rahasia. Tidak jarang Kopassus ikut membantu penanggulangan bencana alam di Indonesia, seperti banjir, gempa bumi atau bahkan kebakaran hutan.
Foto: picture-alliance/dpa
Nila di Tanah Seroja
Namun begitu Kopassus bukan tanpa dosa. Selama gejolak di Timor Leste misalnya, pasukan elit TNI ini sering dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat. Tahun 1975 lima wartawan Australia diduga tewas ditembak prajurit Kopassus di kota Balibo, Timor Leste. Kasus yang kemudian dikenal dengan sebutan Balibo Five itu kemudian diseret ke ranah hukum dan masih belum menemukan kejelasan hingga kini.
Foto: picture-alliance/dpa
Pengawal Tahta Penguasa
Jelang runtuhnya ejim Orde Baru, Kopassus mulai terseret arus politik dan perlahan berubah dari alat negara menjadi abdi penguasa. Pasukan elit yang saat itu dipimpin oleh Prabowo Subianto ini antara lain dituding menculik belasan mahasiswa dan menyulut kerusuhan massal pada bulan Mei 1998.
Foto: picture-alliance/dpa
Serambi Berdarah
Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan hingga 12.000 orang tewas selama operasi militer TNI di Aceh antara 1990-1998. Sebagaimana lazimnya, prajurit Kopassus berada di garda terdepan dalam perang melawan Gerakan Aceh Merdeka itu. Sayangnya hingga kini belum ada kelanjutan hukum mengenai kasus pelanggaran HAM di Aceh.
Foto: Getty Images/AFP/Stringer
Neraka di Papua
Papua adalah kasus lain yang menyeret Kopasus dalam jerat HAM. Berbagai kasus pembunuhan aktivis lokal dialamatkan pada prajurit baret merah, termasuk diantaranya pembunuhan terhadap Theys Eluay, mantan ketua Presidium Dewan Papua. Tahun 2009 silam organisasi HAM, Human Rights Watch, menerbitkan laporan yang berisikan dugaan pelanggaran HAM terhadap warga sipil oleh Kopassus.
Foto: Getty Images/AFP/A.Berry
8 foto1 | 8
Satuan Tempur dan Kekuasaan
Dari catatan sejarah kita bisa menyaksikan, bagaimana nama Marinir dan Brimob sempat mengalami pasang surut. Soal performa mungkin tidak ada yang berkurang, semata-mata hanyalah persoalan citra. Di masa Presiden Soekarno, Marinir dan Brimob sangat dengan figur Bung Karno. Begitu dekatnya Bung Karno dengan Brimob, Bung Karno pernah mengorbitkan seorang perwira Brimob berpangkat Kombes (setara kolonel) untuk menjadi Kapolri, yaitu Irjen Sutjipto Danukusumo (Kapolri 1964-1965).
Kedekatan Marinir dengan Bung Karno, saya kira sudah banyak yang tahu, dan kini terulang kembali di masa Presiden Jokowi. Ini terlihat dalam acara nobar (nonton bareng) film G30S/PKI di halaman Korem Bogor, akhir September yang lalu. Dengan alasan dadakan, pendamping Jokowi dari unsur militer semuanya berasal dari Korps Marinir.
Ini sebenarnya tindakan simbolis, sebagai cara menjaga keseimbangan dalam mengendalikan TNI. Jokowi mengulang skema yang biasa dilakukan Bung Karno dulu, bila hubungan dengan TNI AD sedang menghadapi masalah, selalu ada Korps Marinir di belakang Bung Karno.
Pasang-surut Brimob lebih tajam lagi, utamanya di masa kepemimpinan Pangab Jenderal Benny Moerdani (1983-1988). Bagi matra darat, era kepemimpinan Benny bisa jadi adalah kenangan manis, namun tidak bagi Korps Brimob. Seperti sudah disebut sekilas di atas, pada era Benny inilah, posisi Brimob seolah mencapai titik nadir, ketika satuan ini hanya dipimpin perwira berpangkat kombes (kolonel), dan struktur komandonya "ditumpangkan” pada Direktorat Samapta Polri, jadi bukan sebagai Korps yang berdiri sendiri.
Sementara pada waktu yang bersamaan, tokoh terkemuka Brimob (khususnya Resimen Pelopor) yaitu Jenderal Anton Sujarwo menjabat Kapolri. Terlihat ada faktor politis di sini, seolah memang ada grand design Benny untuk mengecilkan peran Brimob. Sementara Anton Soejarwo sebagai sesepuh Brimob, tidak mampu berbuat banyak bagi Brimob yang sedang menghadapi cobaan kala itu. Bagi yang paham zaman itu, memang seolah terjadi saling sandera antara Benny dan Anton, mengingat keduanya adalah segenerasi dan sama-sama tokoh kebanggaan dari satuan asal.
Ramainya Peringatan HUT Ke-72 TNI
Hampir 6.000 serdadu ikut meramaikan upacara peringatan HUT ke-72 Tentara Nasional Indonesia. Meski dibubuhi kegaduhan seputar ambisi politik panglima, perayaan tersebut tetap berlangsung meriah.
Foto: Reuters/Beawiharta
Bersolek Jelang Pawai
Sedikitnya 5.932 tentara ikut meramaikan parade prajurit dalam upacara peringatan HUT ke-72 TNI di Cilegon, Banten. Beberapa diantaranya bersolek memakai "riasan perang" untuk gelar atraksi kanuragan dan kelihaian bela diri militer.
Foto: Reuters/Beawiharta
Tertahan dan Terlambat
Meski sempat tertahan kemacetan lalu lintas dan harus berjalan kaki sejauh 3 km, Presiden Joko Widodo akhirnya memimpin inspeksi pasukan sebelum berpidato mengenai kesetiaan dan profesionalisme tentara. Jokowi juga mengutup ujaran Jenderal Sudirman mengenai kesetiaan tentara pada negara.
Foto: Reuters/Beawiharta
Hantu Dwifungsi
Perayaan HUT TNI tahun ini dibumbui oleh polemik seputar hak berpolitik tentara yang dicetuskan Panglima Gatot Nurmantyo. Menurutnya tentara suatu saat bisa kembali berpolitik, "jika masyarakat sudah siap."
Foto: Reuters/Beawiharta
Bugar dan Disiplin
Selain mendemonstrasikan disiplin dan kebugaran tubuh, sebanyak 1.800 prajurit juga menunjukkan kepiawaian mereka dalam olahraga bela diri, pencak silat serta olah kanuragan Debus.
Foto: Reuters/Beawiharta
Rakyat Terlibat
Mengusung tema "Bersama Rakyat TNI Kuat," TNI mengajak murid sekolah untuk menaiki lusinan kendaraan lapis baja dalam parade di hadapan rombongan Istana Negara.
Foto: Reuters/Beawiharta
Demonstrasi Alutsista
Namun yang paling ditunggu-tunggu adalah demonstrasi berbagai sistem persenjataan yang saat ini dimiliki TNI. Terutama aksi gabungan tiga matra TNI yang digelar untuk menunjukkan kesiapan TNI menghadapi serangan asing menjadi tontonan paling seru selama peringatan HUT ke 72 tahun ini. (rzn/as - rtr,ap)
Foto: Reuters/Beawiharta
6 foto1 | 6
Formasi Infanteri
Dalam praktik di lapangan selalu terbuka potensi konflik antara anggota Marinir atau Brimob berhadapan dengan anggota satuan Angkatan Darat, mulai konflik kecil-kecilan, hinggga sampai tingkat bataliyon, seperti yang pernah terjadi di Binjai (Sumut), pada Oktober 2002. Bila kita telusuri lebih jauh, salah satu akar konflik adalah latar belakang karakter atau kompetensi yang mirip, yaitu sama-sama sebagai prajurit infanteri. Brimob dan Marinir pada dasarnya adalah satuan infanteri, seperti juga Paskhas, yang juga satuan infanteri, yang menginduk pada TNI AU.
Konflik antara Yonif Linud 100/PS (kini Yonif 100/Raider) dengan Brimob Polda Sumut, seperti sudah disebut sekilas di atas, bisa menjadi contoh menarik. Selain karena eskalasinya yang terbilang tinggi, peristiwa itu masih berjejak sampai sekarang. Komandan Yonif 100 saat peristiwa terjadi adalah Mayor Madsuni (Akmil 1988A), yang kini menjabat Danjen Kopassus.
Menilik capaian Mayjen Madsuni hari ini, kita bisa menduga-duga bagaimana pandangan pimpinan TNI atas konflik antar satuan, khususnya terhadap Brimob. Kira-kira begini jalan pikiran pimpinan TNI saat peristiwa terjadi, bila menghadapi Brimob jangan tanggung-tanggung, bila bisa mengatasi Brimob, justru menjadi faktor pendukung bagi komandan satuan untuk dipromosikan di kemudian hari.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
Dua Wajah Tentara - NKRI di Bawah Bayang Militer
TNI banyak berjasa menyatukan Indonesia. Tapi kiprah mereka di tiga wilayah justru membuktikan sebaliknya. Pendekatan keamanan yang dianut mabes di Cilangkap justru mendorong separatisme dan mengancam keutuhan NKRI
Foto: AFP/Getty Images/Choo Youn Kong
Ancaman Terhadap NKRI?
Presiden Joko Widodo menjadi kepala negara pertama yang memahami perlunya perubahan di tubuh TNI. Ia memerintahkan pergeseran paradigma di Papua, "bukan lagi pendekatan keamanan represif, tetapi diganti pendekatan pembangunan dengan pendekatan kesejahteraan." Diyakini, kiprah TNI menjaga kesatuan RI justru banyak melahirkan gerakan separatisme.
Foto: Reuters/Beawiharta
Api di Tanah Bara
Sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969 yang banyak memicu keraguan, Papua berada dalam dekapan militer Indonesia. Sejak itu pula Jakarta menerapkan pendekatan keamanan buat memastikan provinsi di ufuk timur itu tetap menjadi bagian NKRI. Tapi keterlibatan TNI bukan tanpa dosa. Puluhan hingga ratusan kasus pelanggaran HAM dicatat hingga kini.
Foto: T. Eranius/AFP/Getty Images
Rasionalisasi Pembunuhan
Tudingan terberat ke arah mabes TNI di Cilangkap adalah rasionalisasi pembunuhan warga sipil di Papua. Theys Hiyo Eluay yang ditemukan mati tahun 2001 silam adalah salah satu korban. Pelakunya, anggota Komando Pasukan Khusus, mendapat hukuman ringan berkat campur tangan bekas Kepala Staf TNI, Ryamizad Ryacudu yang kini jadi Menteri Pertahanan. "Pembunuh Theys adalah pahlawan," katanya saat itu
Foto: Getty Images/AFP/T. Eranius
Merawat Konflik, Menjaga Kepentingan
Berulangkali aksi TNI memprovokasi konflik dan kerusuhan. Desember 2014 silam aparat keamanan menembak mati empat orang ketika warga Paniai mengamuk lantaran salah satu rekannya dipukuli hingga mati oleh TNI. Provokasi berupa pembunuhan juga dilakukan di beberapa daerah lain di Papua. Faktanya nasionalisme Papua berkembang pesat akibat tindakan represif TNI, seperti juga di Aceh dan Timor Leste
Foto: picture-alliance/dpa
Seroja Dipetik Paksa
Diperkirakan hingga 200.000 orang meninggal dunia dan hilang selama 24 tahun pendudukan Indonesia di Timor Leste. Sejak operasi Seroja 1975, Timor Leste secara praktis berada di bawah kekuasaan TNI, meski ada upaya kuat Suharto buat membangun pemerintahan sipil.
Foto: picture-alliance/dpa
Petaka di Santa Cruz
Kegagalan pemerintahan sipil Indonesia di Timor Leste berakibat fatal. Pada 12 November 1991, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut referendum dan kemerdekaan dijawab dengan aksi brutal oleh aparat keamanan. Sebanyak 271 orang tewas, 382 terluka, dan 250 lainnya menghilang.
Foto: picture-alliance/dpa
Akhir Kegelapan
Sejak pembantaian tersebut Indonesia mulai dihujani tekanan internasional buat membebaskan Timor Leste. Australia yang tadinya mendukung pendudukan, berbalik mendesak kemerdekaan bekas koloni Portugal itu. PBB pun mulai menggodok opsi misi perdamaian. Akhirnya menyusul arus balik reformasi 1998, penduduk Timor Leste menggelar referendum kemerdekaan tahun 1999 yang didukung lebih dari 70% pemilih.
Foto: picture-alliance/dpa/Choo
Serambi Berdarah
Pendekatan serupa dianut TNI menyikapi kebangkitan nasionalisme Aceh, meski dengan akhir yang berbeda. Perang yang dilancarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka, dijawab dengan teror terhadap pendukung dan simpatisan organisasi pimpinan Hasan Tiro itu. Namun berbagai aksi keji TNI justru memperkuat kebencian masyarakat Aceh terhadap pemerintah Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/O. Budhi
Daerah Operasi Militer
Dua kali Jakarta mendeklarasikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer, antara 1990-1998 dan 2003-2004. Amnesty International mencatat, perang di Aceh sedikitnya menelan 15.000 korban jiwa, kebanyakan warga sipil. TNI dituding bertanggungjawab dalam banyak kasus pelanggaran HAM, antara lain penyiksaan dan pemerkosaan, tapi hingga kini tidak ada konsekuensi hukum.
Foto: picture-alliance/dpa/Saini
Alam Berbicara
Perang di Aceh berakhir dramatis. Di tengah eskalasi kekerasan pada masa darurat militer, bencana alam berupa gempa bumi dan Tsunami menghantam provinsi di ujung barat Indonesia itu. Lebih dari 100.000 penduduk tewas. Tidak lama kemudian semua pihak yang bertikai sepakat berdamai dengan menandatangani perjanjian di Helsinki, 2005.