Pemilu Parpol, Pilpres,dan Pilkada adalah "peristiwa politik”. Meski begitu, setiap kali Indonesia menggelar "pentas politik” ini, agama selalu campur tangan dan 'ikut nimbrung'. Simak opini Sumanto al Qurtuby.
Iklan
Setiap kali pagelaran politik ini digelar, para ulama dan tokoh agama (termasuk ustad, pemimpin ormas keagamaan, penceramah, pimpinan institusi agama, akademisi, dlsb.) ikut sibuk menjadi "corong” atau "echo” para politisi dan kandidat atau pasangan calon (paslon) tertentu. Bahkan tidak sedikit para tokoh agama dan ulama yang ikut terjun langsung menjadi "paslon” dan "cawan” (calon dewan) bersaing dengan tokoh-tokoh dari kubu lain.
Fenomena paslon dan "cawan” dari kelompok ulama dan tokoh agama ini sudah menjadi trend dan "menggurita” pasca rontoknya rezim Orde Baru tahun 1998 yang menandai dibukanya kembali kran demokrasi di Indonesia setelah sekian lama "mati suri". Sejak itu, lantaran ada peluang dan kesempatan untuk menjadi politisi atau birokrat, banyak para tokoh agama dan ulama yang kambuh "syahwat” politiknya. Sampai saat ini, banyak tokoh agama dan ulama yang "ereksi” terhadap politik-kekuasaan.
Ulama "asketis” makin langka
Tentu saja ada ada tokoh agama dan ulama yang memilih menjadi "golput” dan menjaga jarak dengan dunia politik-kekuasaan. Ulama jenis ini saya sebut sebagai "ulama asketis”, yaitu ulama yang lebih memilih mengurusi umat, memberdayakan warga, dan menjauhi hingar-bingar dunia politik praktis kekuasaan yang korup. Harus diakui, ulama jenis ini kini populasinya semakin menurun dan nyaris menjadi "makhluk langka” sehingga perlu dilindungi supaya tidak terancam punah. Penting untuk dicatat, ulama asketis ini bukan berarti tidak berpolitik. Mereka juga berpolitik tetapi menggunakan mekanisme, cara, strategi, taktik, dan tujuan yang berbeda dengan "ulama politik”, yaitu ulama (dan tokoh agama manapun) yang secara terang-terangan maupun "malu-malu kucing” terjun di dunia politik praktis. Dalam sejarahnya, memang ada bermacam-macam "politik ulama”: ada yang pro dan anti-politik-kekuasaan, tapi ada pula yang memilih di "jalur abu-abu” (istilahnya dulu, "akomodatif-kritis”—akomodatif tetapi tetap kritis terhadap pemerintah).
Simaklah hiruk-pikuk para tokoh agama dan ulama menjelang Pilkada ini. Karena didorong oleh "nafsu”, ambisi, keinginan, dan kepentingan tertentu (baik kepentingan politik-ekonomi maupun kepentingan ideologi-keagamaan), mereka rela menjadi "bamper” paslon tertentu. Mereka rela "berkelahi” dan "berperang” (psywar) dengan para tokoh agama dan ulama yang mendukung paslon lain. Demi memuluskan jalan bagi paslon yang mereka dukung itu, mereka juga tidak segan-segan menyitir ayat-ayat dan teks-teks keagamaan sebagai "legitimasi teologis”.
Tidak puas dengan ayat Al-Qur'an dan hadis, pendapat para ulama "zaman baheula” maupun ulama kesohor kontemporer, apalagi dari kawasan Arab dan Timur Tengah, juga ikut disitir guna menyokong pendapat mereka. Ayat dan teks apapun (baik itu Firman Tuhan, sabda nabi, ataupun perkataan para ulama / sarjana agama) memang tidak bertulang, sehingga mudah untuk dibelak-belokkan dan ditafsiri sesuai dengan selera dan kepentingan pembacanya. Naifnya atau tragisnya, para "ulama politik” ini saling mengklaim bahwa ayat, hadis, dan pendapat ulama yang mereka pilih, seleksi, dan sitir itulah yang paling sahih, paling valid, paling benar, paling aurat, dan paling agamis.
Dalam konteks Pilkada Jakarta misalnya, para "ulama politik” pro-Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) menyitir sejumlah ayat, hadis, tafsir, dan pendapat para ulama yang membolehkan memilih non-Muslim sebagai kepala daerah, sedangkan mereka yang anti-Ahok mengutip sejumlah ayat, hadis, tafsir, dan pendapat para ulama yang melarang dan mengharamkan memilih non-Muslim sebagai kepala daerah di kawasan yang mayoritas berpenduduk Muslim.
Memilih Pemimpin Jakarta
Tiada hari tanpa pemberitaan ‘panasnya pilkada Jakarta 2017‘. Berbagai pergolakan politik mewarnai proses pemilihan orang nomor satu di ibukota negara ini. Inilah serba-serbi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni
Tiga paslon Gubernur DKI Jakarta
Tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dalam pilkada DKI Jakarta 2017: Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dengan nomor urut 1, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat mendapat nomor urut 2. Adapun Anies Baswedan-Sandiaga Uno nomor urut 3.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/D. Husni
Demi Jakarta yang lebih baik
Ketiga kandidat menunjukkan bahwa mereka ingin menjadikan ibukota negara menjadi kota yang nyaman dan aman bagi semua penduduknya, serta bebas dari masalah yang selama ini menghantui: banjir, macet, dll. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan penduduk juga jadi tolak ukur.
Foto: Roxana Duerr
Penuh pertikaian dalam pertarungan
Namun, pertarungan dalam memilih pemimpin DKI Jakarta 2017 penuh dengan perseteruan. Aksi saling gempur buzzer yang kadang mengarah pada kampanye hitam, peredaran berita bohong, saling tuding dan berbagai kekisruhan lainnya. Hiruk pikuk jelang pemilihan kepala daerah itu seolah menenggelamkan seratusan wilayah lainnya yang juga akan menggelar pilkada pada tahun 2017.
Foto: Reuters/K. Pempel
Kepentingan siapa?
Kubu petahana bertarung dengan kubu lainnya, Dalam politik, memang ada prinsip tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan. Namun benarkah kepentingan ini adalah kepentingan rakyat?
Foto: AFP/Getty Images/Bay Ismoyo
Calon kontroversial
Jelang pilkada, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang merupakan keturunan Tionghoa dan bukan Muslim, tersandung kasus dugaan penistaan agama. Proses hukum terus berlangsung hingga pilkada digelar. Iapun banyak dikritik atas kasus penggusuran.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Demonstrasi besar
Aksi demonstrasi besar sehubungan dengan kasus dugaan penistaan agama, berlangsung pada akhir tahun 2016 di Jakarta dalam aksi yang disebut #412 dan #212. Para pemrotes yang ingin agar Ahok ditangkap, bukan hanya datang dari Jakarta, namun juga wilayah-wilayah lain.
Foto: picture-alliance/AP Photo/T. Syuflana
Calon putra mantan penguasa
Agus Harimurti Yudhoyono dikenal sebagai perwira muda cemerlang. Kakek dan ayahnya, Presiden Susilo Bambang Yudoyono-- jenderal yang sangat terkenal. Pilihan Agus untuk pensiun dini adalah proses politik yang masih terus bergulir. Namun dukungan ayahnya, kerap malah jadi ‘bumerang‘ dalam pencalonan Agus. Masyarakat masih harus menunggu bagaimana performa Agus di medan politik.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Mantan menteri yang kontroversial
Anies Baswedan membawa karakter-karakter kebalikan dari petahana. Mantan menteri pendidikan dan wakilnya Sandiaga Uno, mengaku banyak menemui tokoh nasional di selama masa kampanye. Namun pertemuan pria yang dulu dikenal amat moderat dengan Front Pembela Islam (FPI) memicu kekecewaan sebagian kalangan. Debat paslon memberi ruang bagi publik melihat kualitas calon yang mereka pilih.
Foto: Reuters/M. Agung Rajasa
Perang hukum dan medsos
Berkaitan dengan situasi jelang Pilkada DKI, perang hukum diwarnai aksi saling lapor ke kepolisian. Mulai dari laporan terhadap Ahok atas dugaan penistaan agama diikuti laporan terhadap ketua FPI, Rizieq Shibab untuk pelbagai kasus. Sementara itu, medsos pun ramai berkomentar setiap kali isu Pilkada mengemuka, apalagi jika menyangkut FPI yang dikenal berseberangan dan paslon petahana. (ap)
Foto: picture-alliance/dpa/B.Indahono
9 foto1 | 9
Menariknya, pernyataan larangan bagi umat Islam untuk memilih kepala daerah non-Muslim itu tidak berlaku universal (baca, menyeluruh di semua daerah di Indonesia). Bahkan sering kali pernyataan mereka tidak konsisten. Sering kali larangan itu hanya bersifat lokal-partikular-temporal saja, sesuai dengan "kepentingan pragmatis” para ulama dan tokoh agama itu, selain disesuaikan dengan situasi, dinamika, dan perkembangan sosial-politik-budaya masyarakat setempat. Maka, apa yang terjadi di Jakarta, berbeda dengan realitas politik di Semarang, Solo, Ambon, Pontianaak, Manado, Kupang, dan seterusnya.
Dialektika ulama dan kekuasaan itu selalu pasang surut
Dalam konteks sejarah Islam dan Indonesia, dialektika ulama dan kekuasaan itu selalu pasang surut, tidak pernah menunjukkan garis lurus-linier. Sejak zaman dahulu, bahkan sejak era formasi Islam awal, para ulama sudah terbelah dalam menyalurkan aspirasi politik mereka. Sebagian dari mereka pro terhadap pemimpin politik tertentu, sebagian lain menjadi "cheerleader” pemimpin politik lain. Sama seperti perkembangan dewasa ini, para ulama dulu juga hobi "berdendang” menggunakan ayat, hadis, aqwal (perkataan/pendapat) para sahabat Nabi Muhammad dan ulama / fuqaha (ahli hukum Islam) tertentu.
Pada suatu saat, para ulama berada di "margin” kekuasaan, sementara di lain waktu mereka berperan penting di panggung struktural (baca, kekuasaan). Saat ini, setelah sekian lama berada di "pinggiran” dan "pojok” kekuasaan karena ruang gerak politik mereka yang dibatasi oleh Pak Harto di zaman Order Baru dulu, para ulama kembali berusaha masuk dan merangsek ke "tengah,” ke pusat kekuasaan politik. Baik "ulama negeri” (baca, ulama yang berada di struktur pemerintahan dan aktif di institusi-institusi yang berafiliasi dengan pemerintah) maupun "ulama swasta” (yakni mereka yang berada di panggung diluar pemerintah dan lembaga pemerintahan) sama-sama sedang "bermain” dan berpolitik guna mendapatkan akses kekuasaan, mendukung paslon ini-itu, atau melindungi kepentingan kelompok dan ideologi mereka.
Seperti saya sebutkan sebelumnya, dialektika atau relasi dinamis ulama-kekuasaan ini sudah berlangsung sangat klasik, seklasik Islam itu sendiri. Dunia ulama dengan dunia politik-kekuasaan memang tidak bisa dipisahkan secara ketat dan ekstrim. Dalam sejarah keislaman dan keindonesian kita bisa saksikan bahwa perkelahian dan pergumulan antara para penguasa politik dan penguasa agama ini. Kadang penguasa politik di atas angin, kadang penguasa agama yang di atas angin. Di tempat dan waktu lain, para pemimpin politik dan pemimpin agama saling berkolaborasi atau saling memusuhi.
Masa Depan Agama di Dunia
Sebuah penelitian oleh Pew Research Centre 2015 silam mencatat Islam sebagai agama dengan tingkat pertumbuhan populasi tertinggi di dunia. Secara umum pemeluk agama Samawi masih mendominasi pada 2050.
Foto: picture alliance /Godong/Robert Harding
1. Kristen
Umat Kristen pun mengalami lonjakan populasi pada 2050, kendati tidak sebesar kaum Muslim. Pertumbuhan umat Kristen mencapai 35% menjadi 2,9 miliar manusia atau 31% dari total populasi dunia. Menurut hasil penelitian PEW, pada tahun 2050 populasi pemeluk dua agama terbesar di dunia itu akan berimbang, untuk pertamakalinya dalam sejarah.
Foto: Getty Images
2. Islam
Mengacu pada tingkat kesuburan perempuan Muslim yang saat ini mencapai 3,1 bayi per perempuan, jumlah populasi kaum Muslim di dunia pada 2050 akan meningkat sebanyak 70%, menjadi 2,8 miliar orang atau 30% dari penduduk Bumi. Jumlah tersebut sekaligus menyamai populasi umat Kristen di dunia. Selain itu kaum Muslim juga akan mewakili sebanyak 10% dari total populasi penduduk Eropa.
Foto: Getty Images/AFP
3. Hindu
Pertumbuhan populasi pemeluk Hindu terutama dimotori perkembangan demografi di India. Serupa Kristen, umat Hindu akan tumbuh sebanyak 34% pada 2050 menjadi 1,3 miliar manusia atau sekitar 15% dari total populasi dunia.
Foto: picture-alliance/AP Photo
4. Ateisme & Agnostisisme
Kendati bertambah dalam jumlah populasi, prosentase kelompok yang tidak memiliki agama terhadap jumlah penduduk Bumi berkurang dari 16% pada 2010 menjadi 13% pada 2050. Peningkatan terbesar tercatat di Amerika Utara dan Eropa. Pada 2050 sebanyak 26% penduduk AS diyakini tidak memiliki agama. Secara umum jumlah kaum non-agamis di dunia akan meningkat menjadi 1,2 miliar manusia.
Foto: Imago/imagebroker
5. Buddha
Semua pemeluk agama di dunia akan bertambah, kecuali umat Buddha. Populasi pemeluk Buddha di seluruh dunia tidak banyak berubah menyusul tingkat kesuburan yang rendah dan populasi yang menua di Cina, Thailand dan Jepang. Menurut studi PEW, populasi umat Buddha menurun sebanyak 0,3% dari 487 juta pada 2010 menjadi 486 juta pada 2050 atau 5,2% dari total populasi dunia.
Foto: Getty Images/AFP
6. Aliran Kepercayaan
Jumlah pemeluk kepercayaan tradisional saat ini banyak bergantung pada perkembangan demografi di Cina dan Afrika. Pertumbuhannya mencapai 11% dari 405 juta manusia pada 2010 menjadi 450 juta pada 2050 atau sekitar 4,8% dari penduduk Bumi.
Foto: Klaus Bardenhagen
7. Yahudi
Kelompok terkecil agama Samawi adalah Yahudi yang saat ini tercatat memiliki 14 juta pemeluk di seluruh dunia. Dengan tingkat kesuburan sebesar 2,3 bayi per perempuan, pemeluk Yahudi diyakini akan tumbuh sebanyak 14% pada 2050 menjadi 16 juta manusia. Namun prosentasenya hanya sebartas 0,2% dari total penduduk Bumi.
Foto: picture-alliance/ dpa
7 foto1 | 7
Dalam sejarah Indonesia, pemerintah Belanda dulu pernah membatasi peran politik ulama. Berbagai Undang-Undang Pemerintah (Regeering Reglement) dan Undang-Undang Politik (Politieke Maatregel) dibuat untuk mengisolasi para ulama / tokoh agama dari berbagai kegiatan atau aktivitas yang dapat menimbulkan implikasi politik (rust en orde—ketentraman dan ketertiban). Mereka membonsai peran politik ulama karena mereka merupakan kelompok elit agama yang memiliki "kharisma tradisional” (ini istilah Max Weber) yang mampu memobilisir massa untuk menentang pemerintah kolonial sehingga berpotensi menciptakan kekacauan sosial-politik.
Membaca sejarah
Sejarah mencatat, sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 memang telah bermunculan agitasi militan terhadap Belanda yang disponsori para elit agama (kiai, haji, guru, dlsb). Mereka berhasil meningkatkan pengaruhnya atas masyarakat petani, sementara institusi keagamaan semacam pondok pesantren dijadikan sebagai instrumen yang efektif bagi kampanye politik dalam menentang penguasa kolonial. Sikap penentangan para ulama dan elit agama atas Belanda itu ada yang berbentuk perang terbuka seperti "Perang Jawa” (1820–1825) atu Pemberontakan Petani Banten tahun 1888. Adapula yang berbentuk "perang terselubung” (silent protest) seperti ditunjukkan oleh Kiai Ahmad Rifa'i, pemimpin Sekte Rifa'iyyah di pedalaman Jawa Tengah. Sejarawan ternama Sartono Kartodirdjo telah mendokumentasikan dengan baik fakta-fakta sosial perlawanan ulama ini dalam beberapa bukunya, antara lain, Protest Movement in Rural Java, Religious Movement in Java in the 19th and 20th Centuries, dan The Peasant Revolt of Banten in 1888.
Kilas Balik Politik Asia 2016
Tahun ini Asia banyak mencatat peristiwa penting dalam bidang politik, antara lain kudeta di Turki, korupsi di jiran Malaysia dan pembantaian etnis Rohingya di Myanmar.
Foto: Getty Images/Afp/C. Archambault
Turki
Gagalnya kudeta militer Turki pada 15 Juli silam menandai pergeseran kekuasaan di negeri dua benua ini. Sejak itu Presiden Recep Tayyip Erdogan membetoni kekuasaanya lewat amandemen konstitusi dan penangkapan terhadap puluhan ribu pendukung rival politiknya Fethullah Gulen. Tercatat sebanyak 45.000 pegawai negeri ditangkap atau dipecat, diantaranya adalah guru, perwira militer dan jaksa.
Foto: Getty Images/AFP/A. Messinis
Myanmar
Sejak peralihan kekuasaan pada awal tahun Myanmar giat menggulirkan proses demokratisasi setelah lima dekade pemerintahan junta militer. Namun jiran Indonesia itu dihujani kecaman menyusul pembantaian terhadap minoritas Rohingya. Militer Myanmar tercatat telah membunuh lebih dari 200 orang sejak awal 2016 dan diduga melakukan pemerkosaan massal dan penyiksaan terhadap etnis Rohingya.
Foto: DW/C. Kapoor
Malaysia
Puluhan ribu orang turun ke jalan November silam buat menuntut mundur Perdana Menteri Najib Razak menyusul dugaan korupsi. Razak ditengarai menilap uang dari dana investasi Malaysia 1MDB. Juli lalu Wall Street Journal menemukan aliran dana gelap sebesar 700 juta Dollar AS ke rekening pribadi Razak. Namun sang perdana menteri bersikeras dirinya tidak bersalah dan uang tersebut merupakan sumbangan.
Foto: picture-alliance/AP Photo/V. Thian
Laut Cina Selatan
Juli silam Pengadilan Arbitrase Internasional di Den Haag mengabulkan gugatan Filipina atas klaim Cina di Laut Cina Selatan. Beijing sontak menolak putusan tersebut. Namun konstelasi konflik di perairan kaya sumber daya itu berubah setelah kemenangan Rodrigo Duterte dalam pemilu kepresidenan di Filipina. Duterte memilih menjauh dari sekutu lama Amerika Serikat dan mendekat ke Cina.
Foto: imago/Westend61
Korea Selatan
Gejolak politik membekap Korea Selatan menyusul skandal korupsi yang melibatkan teman terdekat Presiden Park Geun-Hye. Akibatnya puluhan ribu penduduk berdemonstrasi November silam buat menuntut pengunduran dirinya. Namun Park berusaha mengulur waktu lewat jalur konstitusi. Ia diyakini ingin bertahan hingga pemilu kepresidenan Desember 2017.
Foto: Reuters/K. Hong-Ji
Filipina
Sejak kemenangan Rodrigo Duterte dalam pemilu kepresidenan bulan Juli, Filipina menjelma menjadi ladang pembantaian bagi pengguna dan pengedar narkoba. Meski mendapat kecaman dunia internasional, Duterte bersikeras mempertahankan kebijakan kontroversialnya itu. Sejak pertengahan tahun polisi dan pembunuh bayaran tercatat telah melumat 6.000 nyawa terduga pengedar narkoba tanpa proses pengadilan.
Foto: Getty Images/D. Tawatao
Thailand
Kematian raja Bhumibol Adulyadey pada 13 Oktober menggoyang Thailand yang tengah dibelit krisis politik. Sang raja pergi meninggalkan bangsa yang sedang terbelah. Pada Agustus sekitar 61% penduduk mendukung konstitusi baru yang dibuat oleh junta militer melalui referendum. Konstitusi baru itu membetoni pengaruh militer di panggung politik Thailand.
Foto: picture-alliance/dpa/R. Yongrit
7 foto1 | 7
Politik segregasi model Belanda inilah yang kelak "difotokopi” oleh pemerintah Orde Baru sepanjang kekuasaan politiknya sehingga tidak terlalu meleset jika dikatakan bahwa politik Orde Baru adalah politik Neo-Kolonialisme. Pada waktu itu, ulama berada di "pinggiran” yang jauh dari kekuasaan, bukan karena kemauan sendiri atau katakanlah pilihan sadar-rasional tetapi karena memang dipinggirkan dari arena kontestasi politik. Pak Harto dulu memang tidak suka kalau ulama berpolitik seperti di zaman Orde Lama, kecuali tentu saja jika politik mereka untuk membela kekuasaannya. Para ulama dari Nahdlatul Ulama (NU) dulu banyak yang terpinggirkan dan menjadi korban politik kekuasaan Pak Harto dan rezim Orde Baru.
Karena terpinggirkan dari gelanggang politik, para ulama NU kemudian mengembangkan model politik baru: "politik kultural” yang mengembangkan berbagai bentuk dan mekanisme perlawanan terhadap pemerintah. Ada yang terlibat aktif advokasi membela rakyat dalam berbagai insiden dan perseeruan dengan pemerintah. Ada yang menggunakan medium pengajian dan dakwah sebagai instumen untuk mengkritik pemerintah. Ada pula yang menciptakan "fiqih sosial” yang dalam batas tertentu sebetulnya bermakna "fiqih perlawanan” terhadap langgam kekuasaan Orde Baru. Di kalangan NU, dulu, sempat muncul anggapan bahwa ulama jangan mengurusi politik-kekuasaan karena dunia politik-kekuasaan itu profan dan korup yang tidak layak ulama yang berkecimpun di bidang spiritual-keagamaan yang sakral. Meskipun sekarang masih banyak para ulama di lingkungan NU yang "emoh” berpolitik praktis dan lebih memilih "jalur budaya”. Tetapi pandangan ekstrim tentang larangan berpolitik praktis bagi ulama itu mulai memudar seiring dengan tumbangnya Pak Harto dan Order Baru.
Hindarilah kekerasan
Kini, pemandangan sudah berubah. Karena ada peluang dan kesempatan, para ulama politik berhamburan dimana-mana. Saya sendiri secara pribadi tidak mempermasalahkan "ulama politik”. Itu hak masing-masing individu untuk menentukan pilihan-pilihan politiknya. Berpolitik praktis silakan, tidak juga silakan. Mau mendukung paslon ini-itu silakan, mau menolak paslon-itu juga silakan. Islam sama sekali tidak melarang umatnya untuk berpolitik praktis. Hanya saja penolakan dan dukungan itu hendanya dilakukan dengan cara-cara santun dan elegan, bukan dengan sikap kekerasan dan makian. Semangat persaudaraan sebagai seiman, seagama, sebangsa, senegara dan sesama umat manusia harus terus dijaga, dirawat, dan dilestarikan jangan sampai hancur berkeping-keping hanya karena berebut "kue kekuasaan”. Pula, keterlibatan ulama di dunia politik praktis (baik langsung maupun tidak langsung) harus diniati atau dimotivasi untuk menciptakan keadilan sosial, kemaslahatan umat, dan kesejahteraan masyarakat, bukan untuk memenuhi ambisi politik-kekuasaan pribadi maupun untuk membantu mengembangbiakkan ideologi dan ormas keagamaan tertentu.
Seradikal Apa Ekstrem Kanan Eropa?
Perkembangan ekonomi yang terseok-seok, ketidakpuasan akan kebijakan Uni Eropa dan krisis imigran menyebabkan partai ekstrem kanan Eropa meraih sukses besar. Inilah para tokohnya serta politik mereka:
Foto: picture-alliance/dpa
Frauke Petry, Partai Alternative (Jerman)
Ketua Alternative für Deutschland AfD, Frauke Petry, menyarankan penjaga perbatasan menggunakan senjata terhadap pelintas perbatasan ilegal. AfD awalnya partai yang skeptis terhadap Uni Eropa. Sekarang mereka sudah menjadi kekuatan anti Eropa dan anti pemerintah. AfD berhasil meraih suara cukup besar dalam pemilu di sejumlah negara bagian Jerman Maret 2016.
Foto: Reuters/W. Rattay
Marine Le Pen, Front National (Perancis)
Banyak orang khawatir, bahwa Brexit dan kemenangan Donald Trump di AS bisa menjadi dorongan baru bagi partai ekstrem kanan Perancis, Front National. Partai itu didirikan 1972, dan kini dipimpin Marine Le Pen, yang 2011 mengambilalih kepemimpinan dari ayahnya, Jean-Marie Le Pen. Partai nasionalis ini menggunakan retorika populis untuk mendorong sikap anti imigran dan anti Uni Eropa.
Foto: Reuters
Geert Wilders, Partai Kebebasan (Belanda)
Pemimpin Partij voor de Vrijheid Belanda ini adalah salah satu politisi ektrem kanan paling penting di Eropa. Ia dinyatakan bersalah atas komentar penuh kebencian yang dilontarkan 2014 terhadap warga Maroko. Partainya dianggap anti UE dan anti Islam. Hadapi pemilu Maret 2017, jajak pendapat tunjukkan, partainya yang menduduki 15 kursi di majelis rendah, dapat dukungan besar.
Foto: picture-alliance/dpa/S. Koning
Nikos Michaloliakos, Chrysi Avgi (Yunani)
Partai Golden Dawn adalah partai neo fasis Yunani. Pemimpinnya, Michaloliakos ditangkap September 2013 bersama sejumlah anggota lainnya, dan dituduh membentuk organisasi kriminal. Michaloliakos dibebaskan Juli 2015. Golden Dawn memenangkan 18 kursi dalam pemilu parlemen September 2016. Partai itu bersikap anti imigran dan mendukung kesepakatan dengan Rusia mengenai pertahanan.
Foto: Angelos Tzortzinis/AFP/Getty Images
Gabor Vona, Partai Jobbik (Hongaria)
Partai Jobbik yang anti imigrasi, anti LGBT, populis dan dukung proteksi ekonomi berusaha masuk dalam parlemen Hongaria tahun 2018. Sekarang mereka sudah jadi partai ketiga terbesar di Hongaria. Dalam pemilu terakhir tahun 2014, partai ini mendapat 20% suara. Partai inginkan referendum keanggotaan negara dalam Uni Eropa. Jobbik dipimpin Gabor Vona.
Foto: picture alliance/dpa
Jimmie Akesson, Sverigedemokraterna (Swedia)
Nama partainya berarti Demokrat Swedia. Setelah kemenangan Trump di AS Akesson menyatakan, di Eropa, seperti di AS, ada gerakan yang melawan "establishment" dan pandangan yang selama ini berlaku. Partai Demokrat Swedia menyerukan restriksi imigrasi, dan menentang keanggotaan Turki dalam UE juga menginginkan referendum keanggotaan Swedia dalam UE.
Foto: AP
Norbert Hofer, Freiheitliche Partei (Austria)
Hofer dari Partai Kebebasan FPÖ yang nosionalis hanya kalah 30.000 suara dalam pemilu presiden terakhir. Mantan pemimpin Partai Hijau, Alexander Van der Bellen mendapat 50,3% suara, sementara Hofer 49,7%. Pemimpin FPÖ itu menyerukan penguatan perbatasan Austria dan pembatasan sokongan finansial bagi imigran.
Foto: Reuters/L. Foeger
Marian Kotleba, ĽSNS (Slovakia)
Pemimpin partai ekstrem kanan, Partai Rakyat-Slovakia Milik Kita mengatakan, "Satu imigranpun sudah terlalu banyak." Dalam kesempatan lain ia menyebut NATO organisasi kriminal. Partai Slovakia ini ingin negaranya meninggalkan Uni Eropa dan zona mata uang Euro. Mereka menang 8% suara dalam pemilu Maret 2016, dan mendapat14 kursi dari total 150 mandat parlemen. (ml/as)
Foto: picture-alliance/dpa
8 foto1 | 8
Jika ada ulama yang ingin terjun langsung menekuni profesi sebagai politisi dan birokrat juga sah-sah saja. Yang mestinya diperdebatkan adalah bukan boleh tidaknya ulama masuk kekuasaan melainkan mampu dan tidaknya mereka jika ikut berkompetisi di dunia politik kekuasaan yang profan dan korup itu. Di sinilah diperlukan pra-syarat berupa kompetensi personal, yakni kualitas individual, integritas moral, dan kemampuan untuk memahami politik dengan baik. Jika para ulama memiliki kapabilitas untuk memahami dan mengelola politik, kenapa tidak mereka diberi kesempatan untuk ikut bertarung di panggung politik?
Tetapi sebaliknya, jika—mohon maaf—ulama itu hanya bisa mengimami salat, mengaji, berkhutbah, mengisi pengajian atau ceramah saja, sementara "nol jumbo” wawasan politik-pemerintahannya, maka sebaiknya memang mereka mengambil peran sebagai "penyokong moral,” pengayom masyarakat dan penjaga aset kultural saja seperti yang pernah dipraktikkan oleh Walisongo dan para ulama tempo doeloe. Peran ini akan jauh lebih bermanfaat untuk umat dan masyarakat ketimbang ikut-ikutan terjun ke kancah politik yang bisa jadi justru "menjerumuskan” ulama itu sendiri karena "watak” kekuasaan yang korup itu.
Penulis:
Sumanto Al Qurtuby, Dosen Antropologi Budaya dan Kepala Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Wara Wiri Gubernur Petahana
Meski segudang prestasi, gaya kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta banyak mendulang kontroversi. Ini sejumlah skandal yang digunakan musuh politiknya untuk menohok bekas Bupati Belitung Timur tersebut
Foto: picture-alliance/AP Photo/D. Alangkara
Pro dan Kontra
Gayanya yang blak-blakan dan terbuka kerap memicu perang mulut dengan sejumlah politisi atau pejabat di Jakarta. Ahok yang mengincar kursi DKI 1 pada Pilkada 2017 harus menghadapi sejumlah skandal untuk bisa melanjutkan masa jabatannya. Mampukah musuh-musuh politiknya menjungkalkan Ahok?
Foto: picture-alliance/epa/B. Indahono
Singkat Kata Penistaan Agama
Berawal dari pidatonya di Pulau Seribu ihwal politisasi surat Al-Maidah 51, Ahok kini berseteru dengan kelompok Islam konservatif yang digalang FPI buat mencari keadilan di depan meja hijau. Polemik penistaan agama menjadi bola liar pada pilkada, lantaran dampaknya pada elektabilitas yang dinamis dan sulit diukur. Sidang kasus penodaan agama menjadi batu sandungan terbesar ahok menuju kursi DKI 1
Foto: Reuters/B. Indahono/Pool
Reklamasi Sarat Kontroversi
Simpang siur soal kewenangan pemberian izin reklamasi pantai utara Jakarta adalah batu sandungan terbesar buat Ahok jelang Pilkada 2017. Sang gubernur diyakini menyalahi aturan soal pemberian izin. Proyek raksasa tersebut akhirnya ditunda setelah pemerintah turun tangan. KPK menangkap anggota DPRD DKI Sanusi dan Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, atas dugaan kasus suap reklamasi.
Foto: Fotolia/aseph
Sumber Waras Tanah Bertulah
Berawal dari audit Badan Pemeriksa Keuangan, pembelian lahan di rumah sakit Sumber Waras memicu kontroversi karena diindikasikan sarat korupsi. Kasusnya hingga ditangani KPK. Negara ditengarai merugi sekitar 191 miliar Rupiah lantaran pembengkakan harga tanah. Tapi pemerintah daerah DKI meragukan keabsahan audit BPK karena dinilai menghitung harga tanah di jalan yang salah.
Foto: Gacad/AFP/Getty Images
Tumbang Luar Batang
Dengan rencana menata kampung Luar Batang dan Pasar Ikan di Jakarta Utara untuk dijadikan Kawasan Wisata Bahari Sunda Kelapa, Ahok menggusur rumah penduduk yang berdiri di atas tanah ilegal. Penggusuran itu mendulang kritik karena dinilai merugikan kaum miskin. Pemda DKI berkilah telah menyediakan rumah susun yang lebih layak untuk penduduk Luar Batang.
Foto: Reuters/Beawiharta
Darah Kurban di Jalur Hijau
Menjelang hari raya Idul Adha ratusan massa Front Pembela Islam menyantroni Gedung DPRD DKI Jakarta. Mereka mengecam Ahok karena telah melarang penyembelihan dan penjualan hewan kurban. Pemda DKI sebaliknya mengatakan cuma menjalankan peraturan daerah yang melarang penjualan hewan kurban di jalur hijau.
Foto: Reuters/Darren Whiteside
Geger Kalijodo
Selama berpuluh tahun Kalijodo dibiarkan menjadi sarang prostitusi gelap. Ahok nekad menggusur kawasan tersebut untuk dijadikan jalur hijau. Langkah pemda DKI disambut gugatan di PTUN oleh sejumlah tokoh masyarakat Kalijodo. Ahok juga dikritik lantaran menyertakan 1000 tentara dan polisi untuk mengawal penggusuran. Kisruh langsung mereda setelah penggusuran berakhir.
Foto: Imago/Xinhua
Kisruh Bantar Gebang
Berawal dari keluhan DPRD Bekasi soal sampah Jakarta, kisruh seputar TPS Bantar Gebang kembali bergulir. Ahok sebaliknya menuding pengelola TPS, PT. Godang Tua wanprestasi. Hasilnya truk-truk sampah DKI dihadang massa tak dikenal. Ahok pun bentrok dengan DPRD. Kisruh berakhir setelah Presiden Joko Widodo turun tangan.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Anggaran Siluman
Akhir 2014 Ahok murka lantaran menemukan dana siluman sebesar 8,8 trilyun dalam rancangan APBD 2015 yang telah digodok DPRD DKI. Setelah coret sana-sini, APBD kembali diserahkan kepada parlemen untuk dibahas. Namun DPRD memilih berpolemik karena merasa tudingan Ahok soal adanya indikasi mafia anggaran tidak berdasar. APBD DKI akhirnya baru disahkan bulan Februari dengan menggunakan pagu ABPD 2014.