1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Anti Korupsi Hantar Magsaysay kepada Teten Masduki

31 Agustus 2005

Penerima penghargaan Magsaysay tahun 2005 dari Indonesia adalah Teten Masduki, aktivis anti korupsi dari "Indonesian Corruption Watch".

Protes anti korupsi di Jakarta tahun 2001
Protes anti korupsi di Jakarta tahun 2001Foto: AP

Hadiah Magsaysay yang diserahkan hari Rabu (31/08) di ibukota Filipina, Manila, bagi kawasan Asia gengsinya dapat dikatakan setara dengan hadiah Nobel. Tahun 2005 ini, penghargaan bergengsi tersebut diberikan kepada enam penerima. Masing-masing dari Indonesia, Thailand, India, Bangladesh, Laos dan Korea Selatan. Walaupun profesi penerima penghargaan berbeda-beda, namun pada intinya penilaian yang diberikan untuk menerima penghargaan Magsaysay adalah sama. Yakni diberikan kepada warga yang berprestasi dan menonjol dalam bidangnya.

Penerima penghargaan Magsaysay tahun 2005 dari Indonesia adalah Teten Masduki, aktivis anti korupsi dari "Indonesian Corruption Watch - ICW". Teten Masduki diberi penghargaan karena kegigihan dan keberaniannya membongkar kasus korupsi, kolusi dan nepotisme, terutama di jajaran pemerintahan.

ICW yang didirikan tahun 1998 bertindak sebagai kantor pusat untuk menampung berbagai macam informasi, menyangkut korupsi, kolusi dan nepotisme. Setiap informasi yang masuk, diteliti akurasinya, diolah dan setelah diyakini kebenarannya barulah informasi KKN itu dipublikasikan kepada umum. Prestasi organisasi non pemerintah ibaratnya anjing penjaga untuk mengawasi tindak pidana korupsi itu, juga sudah diakui secara internasional. Cukup banyak kasus korupsi yang dapat dibongkar, berkat laporan akurat dari ICW.

Bagi Teten Masduki, sukses memerangi tindak pidana korupsi, lebih jauh lagi adalah tumbuhnya kepedulian serupa di masyarakat di berbagai daerah. Ia mengatakan (Audio Teten Masduki)

Jika berbicara kuantitas, tahun 2004 lalu saja, lebih dari 400 kasus korupsi diselidiki oleh ICW. Jumlah keseluruhan uang sogokan yang dibayarkan mencapai hampir 600 juga dollar. Korupsi dalam besaran seperti itulah yang menurut Teten menimbulkan kemiskinan, perusakan lingkungan dan tidak dihormatinya hukum dan undang-undang. Akan tetapi, kuantitas pengungkapan kasus korupsi itu belum dibarengi kualitas tindakan hukumnya. Sejauh ini, masih sedikit sekali pejabat atau politisi korup yang diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman yang setimpal.

Tentu saja aktivitas untuk membongkar kasus KKN yang seakan sudah menjadi budaya di Indonesia, bukannya pekerjaan tanpa risiko. Teten dan anggota ICW lainnya, harus menerima ancaman pembunuhan sebagai menu sehari-hari. Tapi Teten mengatakan, ia tetap memimpikan Indonesia yang bebas korupsi, apapun risikonya. Ditegaskannya, ia juga tidak percaya pada anggapan bahwa korupsi adalah budaya di Indonesia. Pemberian hadiah Magsaysay, paling tidak merupakan pendorong untuk dapat mewujudkan mimpi Teten Masduki. Impian tentang sebuah Indonesia yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.

Penerima penghargaan Ramon Magsaysay lainnya, masing-masing Jon Ungphakorn, anggota senat Thailand, yang memperjuangkan serta kepentingan warga yang terpinggirkan untuk mendapat pelayanan publik. Dokter V. Shanta dari India, yang meneliti dan mendirikan pusat penyakit kanker untuk melayani masyarakat. Sombath Sompone, pakar pertanian Laos yang mendirikan pusat pelatihan kemitraan, untuk membantu petani Laos mengembangkan ketahanan pangan serta kepemimpinan komunitas. Matiur Rahman dari Bangladesh, pimpinan redaksi harian "Protohom Alo", yang berjuang menentang penyerangan menggunakan asam kuat terhadap wanita, serta membantu kaum wanita korban serangan tersebut. Serta Hye Ran Yoon, pimpinan lembaga kemasyarakatan di Korea Selatan, yang aktif mengorganisir kesejahteraan sosial bagi warga di Cheonan.