1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sinyal Politik Indonesia, Rusia, Korut Datangi Parade Cina

Muhammad Hanafi Sumber: AP
4 September 2025

Sejumlah pimpinan negara menghadiri parade militer di Beijing, Cina, termasuk Prabowo Subianto. Pengamat menyebut ada tren pergeseran geopolitik regional.

Foto bersama para kepala negara sebelum parade militer di Cina: Bbaris depan dari kiri ke kanan: Presiden Uzbekistan Shavkat Mirziyoyev, Presiden Tajikistan Emomali Rahmon, Presiden Indonesia Prabowo Subianto, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Cina Xi Jinping, Ibu Negara Peng Liyuan, Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, dan Presiden Belarus Alexander Lukashenko (03/09)
Foto bersama para kepala negara sebelum parade militer di Cina. Keterangan baris depan dari kiri ke kanan: Presiden Uzbekistan Shavkat Mirziyoyev, Presiden Tajikistan Emomali Rahmon, Presiden Indonesia Prabowo Subianto, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Cina Xi Jinping, Ibu Negara Peng Liyuan, Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, dan Presiden Belarus Alexander Lukashenko (03/09)Foto: Sergei Bobylev/TASS/picture alliance

Presiden Prabowo Subianto, beserta pimpinan negara dan perwakilan asing lainnya menghadiri parade militer skala besar di Beijing, Cina. Acara perayaan yang memperingati 80 tahun kekalahan Jepang di akhir Perang Dunia II (PD II) ini cenderung dihindari oleh para pemimpin Barat.

Prabowo bertolak ke Beijing pada Selasa (02/09), di tengah dinamika situasi politik Indonesia setelah unjuk rasa berhari-hari yang menyebabkan ribuan orang ditangkap dan 10 orang tewas. Setibanya di Tianamen, Prabowo disambut oleh Presiden Cina Xi Jinping. 

Beberapa media nasional di Indonesia menyebut bahwa Prabowo hanya hadir selama 8 jam dalam parade tersebut. Berdasarkan keterangan pers Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden, Prabowo mendarat di tanah air pada Rabu (03/09) malam.

Pertemuan singkat dengan Xi Jinping dan Putin

Dalam kunjungan yang terbilang singkat tersebut, Prabowo sempat melakukan pertemuan bilateral dengan Xi Jinping di Great Hall of the People pada Rabu (03/09). Dalam pertemuan itu, Prabowo kembali menegaskan komitmen Indonesia untuk memperdalam kemitraan strategis dengan Cina.

Prabowo membahas proyek Giant Sew Wall yang direncanakan akan membentang di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa dengan pemerintahan Xi Jinping.

Selain itu, Prabowo juga menghadiri pertemuan khusus dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di sela lawatan tersebut. Obrolan Prabowo dan Putin disebut menjadi salah satu agenda penting karena membahas soal kerja sama strategis, khususnya di bidang ekonomi dan investasi.

“Selain menghadiri acara tersebut, Presiden Prabowo juga mengadakan pertemuan khusus dengan Presiden Xi Jinping dan Presiden Federasi Rusia Vladimir Putin, masing-masing untuk menindaklanjuti & memastikan jalannya berbagai investasi ekonomi yang sudah terjalin di antara kedua negara,” papar Menteri Sekretaris Kabinet (Seskab) Mayor Teddy Indra Wijaya.

Setibanya di Jakarta, Prabowo menyebut bahwa pertemuan itu menandakan hubungan Indonesia dan Cina berada pada periode terbaik dalam sejarah. “Indonesia berharap dapat memperkuat kerja sama dengan Cina di bidang perdagangan, investasi, keuangan dan infrastruktur,” kata Prabowo, sambil menambahkan bahwa dia akan mendorong tercapainya lebih banyak hasil nyata dalam hubungan Indonesia dengan Beijing.

Parade di Cina tanda “pergeseran geopolitik”?

Dalam parade militer tersebut, selain Presiden Prabowo Subianto, turut hadir sejumlah pemimpin negara lainnya. Sebut saja, Perdana Menteri India Narendra Modi, Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong Un.

Rangkaian ini dapat dibaca sebagai sebuah pesan mencolok, atau bahkan menantang, kepada Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Ini sedikit banyaknya menjadi bukti tambahan dari pergeseran menuju tatanan dunia baru yang tak lagi sepenuhnya didominasi AS dan Barat.

Pertemuan ini mencerminkan tradisi panjang manuver diplomatik yang penuh dengan kepentingan masing-masing dalam kekuatan politik regional.

Singkatnya, masing-masing pemimpin negara yang hadir punya kepentingannya sendiri. Misalnya, Cina, yang membutuhkan energi murah dari Rusia hingga persoalan kestabilan perbatasan dengan Korea Utara.

Sementara, Putin ingin keluar dari sanksi Barat dan isolasi akibat perang Ukraina. Kemudian, jika ditelaah, Kim membutuhkan uang, legitimasi hingga cara untuk mengungguli Korea Selatan. Kemudian, Narendra Modi tengah berusaha menjaga hubungan baik dengan Rusia dan Cina di tengah keretakan hubungannya dengan AS.

Pamor Cina naik?

Saat ini, Cinda dilanda banyak masalah domestik, misalnya ketidaksetaraan ekonomi dan gender, hingga ketegangan dengan Taiwan. Namun, Xi Jinping berusaha memosisikan Cina sebagai pemimpin bagi negara-negara yang merasa dirugikan oleh tatanan dunia pascaPerang Dunia II.

“Parade ini menunjukkan kenaikan pamor Cina, didorong oleh diplomasi Trump yang buruk dan kelihaian strategi Presiden Xi,” kata Jeff Kingston, seorang profesor studi Asia di Temple University, Jepang. “Konsensus Washington telah runtuh dan Xi menggalang dukungan untuk alternatifnya.”

Beberapa pakar mengingatkan agar tidak berlebihan membaca hubungan Rusia, Cina, dan Korea Utara. Cina tetap waspada terhadap program nuklir Korea Utara yang kian berkembang dan kerap mendukung sanksi internasional untuk menekan Pyongyang.

“Meski ikatan Rusia, Korea Utara kembali seperti aliansi militer, Cina tidak berniat kembali ke tahun 1950,” kata Zhu Feng, dekan Fakultas Hubungan Internasional Universitas Nanjing.

“Salah jika percaya Cina, Rusia, dan Korea Utara sedang membangun blok kekuatan baru.”

Tarif Trump Tetap Naik Jadi 32%, Negosiasi RI Enggak Mempan?

01:38

This browser does not support the video element.

Rusia cari bantuan Cina demi kurangi isolasi

Sementara bagi Kremlin, kehadiran Putin di Beijing bersama para pemimpin dunia adalah cara menepisisolasi yang dikenakan Barat, setelah invasi skala besar Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.

Putin dapat kembali tampil di panggung dunia sebagai sosok negarawan, bertemu berbagai pemimpin termasuk Modi, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Presiden Iran Masoud Pezeshkian. Sambutan Xi Jinping juga menegaskan bahwa Rusia masih punya mitra dagang besar, meski pasar Barat banyak yang tertutup akibat sanksi.

Namun, di saat bersamaan, Rusia tak ingin membuat Trump marah, karena Trump lebih terbuka dibanding pendahulunya untuk mendengar syarat Moskow terkait perang Ukraina.

“Rusia sangat diuntungkan dari kemampuan Cina menyediakan barang dual-use dan teknologi untuk mengakali sanksi serta menjaga mesin militernya tetap hidup. Cina juga menjadi sumber utama pemasukan ekspor Rusia yang mengisi kas perang Putin,” kata Alexander Gabuev, Direktur Carnegie Russia Eurasia Center. “Bagi Cina, perang Rusia di Ukraina justru menjadi distraksi bagi AS.”

Nasib Korea Utara

Kunjungan Kim Jong Unmemperdalam ikatan baru dengan Rusia, sekaligus menegaskan hubungan rapuh dengan sekutu terpentingnya sekaligus penopang ekonominya, Cina.

Kim Jong Un telah mengirim ribuan pasukan dan banyak perlengkapan militer untuk membantu Rusia menahan serangan Ukraina.

Tanpa menyebut perang Ukraina secara eksplisit, Kim Jong Un berkata kepada Putin: “Jika ada hal yang bisa saya lakukan untuk Anda dan rakyat Rusia, jika ada yang lebih perlu dilakukan, saya akan menganggapnya sebagai kewajiban persaudaraan yang memang harus kami jalani.”

Lembaga Institute for National Security Strategy, yang terafiliasi dengan badan intelijen Korea Selatan menyebut kunjungan Kim Jong Un, yang merupakan penampilan pertamanya di forum multilateral sejak berkuasa 2011, ditujukan untuk memperkuat hubungan dengan negara sahabat sebelum kemungkinan dimulainya kembali perundingan nuklir dengan Trump. Diplomasi nuklir kedua pemimpin itu runtuh pada 2019.

“Kim juga bisa mengklaim kemenangan diplomatik, karena Korea Utara kini beralih dari negara yang sebelumnya secara bulat disanksi oleh Dewan Keamanan PBB (DK PBB) atas program nuklir dan misil ilegalnya, menjadi negara yang justru dirangkul oleh anggota tetap DK PBB, yakni Rusia dan Cina,” kata Leif-Eric Easley, profesor studi internasional di Universitas Ewha Womans, Seoul.

Peran Narendra Modi

Kehadiran Narendra Modi dalam perayaan tersebut merupakan kunjungan pertamanya ke Cina sejak hubungan kedua negara memburuk setelah bentrokan mematikan di perbatasan India-Cina pada 2020.

Namun, pemulihan ini masih terbatas. Namun, menurut  Praveen Donthi, seorang pakar senior di International Crisis Group, Modi tidak ikut parade militer Beijing karena “rasa saling curiga dengan Cina masih ada.”

“India berjalan hati-hati di antara Barat dan negara-negara lain, terutama terkait AS, Rusia, dan Cina,” kata Donthi. “Karena India tidak percaya pada aliansi formal, pendekatannya adalah memperkuat hubungan dengan AS, mempertahankannya dengan Rusia, dan mengelolanya dengan Cina.”

Meski begitu, Amerika Serikat tetap ada dalam perhitungan Modi.

India dan Washington sebelumnya merundingkan perjanjian perdagangan bebas, hingga pemerintahan Trump memberlakukan tarif 25% untuk impor minyak Rusia oleh India, membuat total tarif naik jadi 50%.

Perundingan pun terhenti dan hubungan merosot tajam. Pemerintah Modi berjanji tidak akan tunduk pada tekanan AS, bahkan memberi sinyal siap mendekat ke Cina dan Rusia.

Namun, kata Donthi, India tetap ingin menjaga celah terbuka bagi Washington.

“Jika Modi bisa berjabat tangan dengan Xi lima tahun setelah bentrokan perbatasan India-Cina, maka akan jauh lebih mudah baginya untuk berjabat tangan dengan Trump dan kembali memperkuat hubungan, karena keduanya memang sekutu alami,” ujarnya.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris.

Diadaptasi oleh: Muhammad Hanafi

Editor: Rahka Susanto