Ketika negara-negara Arab siap menyambut kembali Suriah dari isolasi panjang, apakah rehabilitasi politik bagi Damaskus akan membantu sekkitar 90 persen penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan?
Iklan
Kematian lewat racun, kata Dewan Islam Suriah, adalah "seribu kali lebih mudah ketimbang rekonsiliasi dengan kelompok kriminal yang menghancurkan negeri ini dan membantai penduduknya," demikian tulis organisasi di Istanbul, Turki, yang mewakili otoritas agama di kalangan oposisi Suriah.
Namun, sikap antipati kaum oposisi bertolak belakang dengan perkembangan teranyar di Timur Tengah. Sepanjang tahun ini, pemerintahan Bashar Assad banyak melakukan kunjungan kenegaraan ke luar negeri. Padahal, Damaskus resminya sedang menjalani isolasi karena menumpas pemberontakan Musim Semi Arab 2011 dengan brutal.
Menyusul kunjungan menteri luar negeri Suriah ke Arab Saudi pekan ini, Damaskus diperkirakan akan kembali diterima di Liga Arab selambatnya pada pertengahan Mei mendatang. Sudah sejak Konferensi Keamanan di München, Jerman, Februari lalu, Menlu Arab Saudi Faisal bin Farhan al-Saud mengatakan bahwa "di dunia Arab mulai terbentuk konsensus betapa status quo di Suriah tidak lagi berfungsi."
Iklan
Normalisasi: Berkah bagi ekonomi?
Diperkirakan sebanyak 90 persen penduduk Suriah hidup di bawah garis kemiskinan. Adapun nilai tukar mata uang Lira Suriah anjlok sebanyak 75 persen, ketika angka inflasi bertengger di kisaran 55 persen. Akibatnya, pemadaman bergilir dan kelangkaan air menjadi lumrah. Situasi ini diperparah dengan tingginya angka pengungsi domestik yang mencapai 6,8 juta orang.
Pemilu di Suriah Tandai 50 Tahun Kekuasaan Dinasti Assad
Pemilu di Suriah akan berlangsung pada 26 Mei 2021 dan akan menandai 50 tahun kekuasaan dinasti Assad di negara yang terpecah dan hancur oleh peperangan.
Foto: Jalaa Marey/AFP
Hafez al-Assad, orang kuat Suriah selama puluhan tahun
Hafez al-Assad naik ke tampuk kekuasaan tahun 1970 setelah melancarkan kudeta. Dia membangun Suriah dengan tangan besi melalui partai hegemoni Ba'ath, dan meletakkan fundamen kekuasaan dinastinya. Hafez al-Assad meninggal 10 Juni 2000. Sebulan kemudian, anak lelakinya Bashar terpilih sebagai pemimpin baru setelah memenangkan 97 persen suara dalam referendum. Bashar adalah satu-satunya kandidat.
Foto: AP
Pupusnya harapan reformasi
Bashar al-Assad tadinya dipandang sebagai pemimpin muda yang berpandangan modern dan akan menggalang reformasi Suriah. Namun ketika gerakan protes "Musim Semi Arab" mulai melanda Suriah, Bashar mengerahkan pasukan dan menindas secara brutal aksi-aksi protes. Sebagian pasukan Suriah lalu bergabung dengan kalangan oposisi dan pertempuran pecah di banyak tempat.
Foto: Louai Beshara/AFP
Perang tak berkesudahan
Peperangan makin meluas, bahkan mendekat ke ibukota Damaskus. Menghadapi para pemberontak, Bashar al-Assad tidak segan mengerahkan segala kekuatan militer, termasuk serangan dengan senjata kimia.
Foto: picture-alliance/AA/H. Adnan
Rumah sakit jadi sasaran
Pasukan pemerintah Suriah menyerang rumah sakit untuk mencegah para gerilyawan dirawat. Foto: Rumah Sakit Arbin di kota Ghouta yang hancur setelah jadi sasaran serangan udara, Februari 2018.
Foto: Diaa Al-Din Samout/AA/picture alliance
Ratusan ribu pengungsi
Ratusan ribu orang melarikan diri dari kota-kota yang jadi sasaran pemboman. Kamp pengungsi di Idlib didirikan setelah kota Idlib hancur diserang pasukan pemerintah Suriah yang mendapat bantuan militer dari Rusia dan Iran.
Foto: picture-alliance/AA/M. Abdullah
Dukungan militer dari "saudara tua" di Iran
Bashar al-Assad bertemu dengan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei di Teheran, Februari 2019. Khamenei menyebut Bashar sebagai "pahlawan dunia Arab". Iran mengirimkan bantuan ke Suriah karena ingin memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah untuk melawan Israel dan negara-negara Arab berhaluan Sunni seperti Arab Saudi. Sama dengan Iran, dinasti Assad berhaluan Syiah.
Foto: Leader.ir
Bantuan dari penguasa di Moskow
Foto Presiden Rusia Vladimir Putin terpampang di Ghouta, setelah kota itu direbut pasukan pemerintah dari tangan pemberontak, dengan bantuan tentara Rusia, Februari 2018. Rusia terutama ingin mengamankan sumber daya alam Suriah dan sudah mendapat persetujuan dan kontrak untuk menambang minyak, gas dan phosphor.
Foto: Reuters/O. Sanadiki
50 tahun kekuasaan dinasti Assad di Suriah
Tanggal 26 Mei 2021 rezim di Damaskus kembali melangsungkan pemilihan umum dengan kandidat utama Bashar al-Assad, yang akan memasuki masa jabatan yang keempat, sekaligus menandai 50 tahun kekuasaan dinasti Assad di Suriah. (hp/gtp)
Perkembangan di Timur Tengah, "bisa dipastikan tidak digerakkan oleh niat untuk mengurangi penderitaan warga Suriah atau oleh ambisi regional untuk memperbaiki taraf hidup penduduk di sana," kata Julien Barnes-Dacey, Direktur Program Timur Tengah di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri. "Yang terpenting di sini adalah tatanan regional dan dampak eksternal dari konflik Suriah terhadap kawasan, seperti penyelundupan narkoba atau pengungsi."
Pemerintah Suriah dicurigai mendorong perdagangan captagon, sejenis amfetamin, yang dulu dikabarkan banyak digunakan serdadu Islamic State (ISIS). Kini, volume perdagangan narkoba di sana mencapai USD50 milliar.
Hal lain yang mendorong normalisasi hubungan diplomasi antara negara Arab dan Suriah adalah prospek kepulangan pengungsi, serta membatasi kebergantungan Damaskus terhadap pemerintah Iran. Sebagai gantinya, Suriah mendapat pengakuan politik dan dana pembangunan kembali. Terlebih, jika situasi memburuk, negara-negara Arab mengkhawatirkan dampaknya terhadap stabilitas di kawasan.
"Jadi, normalisasi ini menunjukkan bahwa kawasan Arab bergeser ke strategi kerja sama langsung untuk menanggulangi masalah yang berdampak terhadap mereka. Jadi ini tidak menunjukkan adanya dinamika baru di dalam Suriah yang membuka ruang politik baru dan bisa mewadahi solusi jangka panjang dan stabil bagi masyarakat Suriah sendiri," tutur Barnes-Dacey.
Lini Masa Pertikaian Arab Saudi dan Iran
Bukan kali pertama Iran dan Arab Saudi bersitegang. Sepanjang sejarahnya, hubungan kedua negara acap mengalami pasang surut menyusul konflik politik atau agama. Inilah sejarah modern permusuhan dua ideologi dalam Islam
Foto: DW Montage
Damai berbayang kecurigaan
Hubungan Iran dan Arab Saudi baru tumbuh sejak kekuasaan Syah Reza Pahlevi dan Raja Khalid. Kedua negara sebelumnya sering direcoki rasa saling curiga, antara lain karena tindakan Riyadh menutup tempat-tempat ziarah kaum Syiah di Mekkah dan Madinah. Perseteruan yang awalnya berbasis agama itu berubah menjadi politis seiring dengan eskalasi konflik di Timur Tengah dan Revolusi Islam 1979.
Foto: picture alliance/AP Images
Pendekatan usai Revolusi Islam
Raja Khalid sempat melayangkan ucapan selamat kepada Ayatollah Khomeini atas keberhasilan Revolusi Islam 1979. Tapi hubungan kedua negara memburuk menyusul perang Iran-Irak dan kisruh Haji 1987. Puncaknya, Riyadh memutuskan hubungan pada 1987, ketika Khomeini mengecam penguasa Saudi sebagai "Wahabi yang tidak berperikemanusiaan, ibarat belati yang menusuk jantung kaum Muslim dari belakang."
Foto: Getty Images/Afp
Keberpihakan dalam Perang Iran-Irak 1980
Saat berkobar perang Iran-Irak, Arab Saudi sejak dini menyatakan dukungan terhadap rejim Saddam Hussein di Baghdad. Riyadh memberikan dana sumbangan sebesar 25 milyar US Dollar dan mendesak negara-negara Teluk lain untuk ikut mengisi pundi perang buat Irak. Demi menanggung biaya perang, Arab Saudi menggenjot produksi minyak yang kemudian mengakibatkan runtuhnya harga minyak di pasar dunia.
Foto: picture-alliance/dpa
Kisruh Haji 1987
Mengikuti ajakan Ayatollah Khomeini, jemaah Iran setiap tahun berdemonstrasi di Mekkah dan Madinah menentang Israel. Tradisi sejak 1981 itu tidak pernah diperkarakan, kecuali pada 1987, ketika polisi memblokade jalan menuju Masjid al-Haram. Akibat bentrokan, 402 jemaah Iran tewas dan 649 luka-luka. Setelah kedutaannya di Teheran diserbu massa, Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
Foto: farhangnews
Kontroversi program nuklir Iran
Arab Saudi sejak awal menolak program nuklir Teheran. Sikap itu tidak berubah bahkan setelah tercapainya Perjanjian Nuklir di Vienna tahun 2015. Riyadh menilai kesepakatan tersebut "sangat berbahaya." Desakan kepada Iran untuk bekerja sama dengan pengawas nuklir PBB juga disampaikan Saudi pada awal 2023.
Foto: Irna
Pemberontakan Houthi di Yaman, 2004
Hubungan Iran dan Arab Saudi kembali menegang setelah kelompok Syiah Zaidiyah di Yaman mengobarkan pemberontakan. Riyadh menuding Teheran mengompori perang bersaudara dan mencampuri urusan dalam negeri Yaman dengan memasok senjata. Iran sebaliknya menuding Arab Saudi menghkhianati perannya sebagai mediator konflik dengan membombardir minoritas Houthi di utara Yaman.
Foto: picture alliance/Y. Arhab
Perang proksi di Suriah, 2011
Dukungan Iran atas rejim Bashar Assad di Suriah sejak lama dianggap duri dalam daging oleh Arab Saudi. Sejak 2011, Riyadh aktif memasok senjata buat oposisi Sunni di Suriah. Kerajaan di Riyadh juga menjadi yang pertama kali mengecam Assad seputar "tindakan represif pemerintahannya terhadap demonstrasi anti pemerintah," ujar Raja Abdullah saat itu.
Foto: picture-alliance/AP/Vadim Ghirda
Tragedi Mina 2015
Bencana memayungi ibadah Haji 2015 ketika lebih dari 400 jemaah Iran meninggal dunia di terowongan Mina akibat panik massa. Iran menuding pemerintah Arab Saudi ikut bertanggungjawab. Riyadh sebaliknya menyelipkan isu bahwa tragedi itu disebabkan jemaah haji Iran yang tak mau diatur. Kisruh memuncak saat pangeran Arab Saudi, Khalid bin Abdullah, mendesak agar Riyadh melarang masuk jemaah haji Iran.
Foto: picture-alliance/AP Photo
Eksekusi Mati Al-Nimr 2016
Sehari setelah pergantian tahun Arab Saudi mengeksekusi mati 46 terpidana, antara lain Syeikh Nimr al-Nimr, seorang ulama yang aktif membela hak-hak minoritas Syiah yang kerap mengalami represi dan diskriminasi di Arab Saudi. Al-Nimr didakwa terlibat dalam terorisme. Sebagai reaksi Pemimpin Spiritual Iran, Ayatollah Ali Khamenei melayangkan ancaman, bahwa Saudi akan mendapat "pembalasan tuhan."
Foto: picture alliance/dpa/Y. Arhab
Drama di Lebanon
Pada November 2017 Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri mengumumkan pengunduran diri dari Riyadh, Arab Saudi, dan menyalahkan Iran terkait kebuntuan politik di Beirut. Langkah itu diyakini bagian dari manuver Arab Saudi untuk memprovokasi perang antara Iran dan Hizbullah dengan Israel. Saudi dan Iran berebut pengaruh di Lebanon pasca penarikan mundur pasukan Suriah 2005 silam.
Foto: picture-alliance/dpa/AP/Lebanese Official Government/D. Nohra
Narasi damai di awal 2023
Menyusul mediasi Cina, pemerintah Arab Saudi sepakat memulihkan hubungan dengan Ira pada Maret 2023. Kesepakatan tersebut disusul pembukaan kembali relasi dengan Suriah dan perundingan damai dengan pemberontak Houthi di Yaman. Sebelumnya, negara-negara Teluk juga sepakat mengakhiri perpecahan dengan Katar, sekutu dekat Iran di Teluk Persia.
Foto: Iran's Foreign Ministry/WANA/REUTERS
11 foto1 | 11
Potensi di balik perdamaian
Salah satu dampak positif terbesar yang bisa diharapkan adalah kemudahan bagi warga Suriah untuk berpergian ke luar negeri. "Normalisasi akan membuka akses perjalanan," kata Hamid, seorang warga Suriah yang hidup di wilayah oposisi. "Satu-satunya yang saya bisa pikirkan adalah keluar dari sini. Tidak ada yang baik di sini. Dan emigrasi akan selalu lebih baik ketimbang masuk tentara, di mana saya akan dipaksa berkontribusi pada pembantaian."
Pendapatnya itu diamini Zaky Mehchy, peneliti di lembaga wadah pemikir AS, Chatham House. Menurutnya, pembukaan perbatasan "akan menguntungkan warga Suriah secara umum," kata dia kepada DW. "Contohnya adalah, warga diaspora bisa mengunjungi keluarganya di Suriah dengan lebih mudah. Mereka akan membawa uang dan dalam skala besar hal ini bisa menghidupkan kembali ekonomi lokal."
Meski investasi langsung dari kawasan Teluk cenderung mustahil, negara-negara kaya Arab bisa membantu pembiayaan proyek rekonstruksi lewat utang, seperti misalnya pembangunan pembangkit listrik. "Kita hanya bisa berharap ada keuntungan-keuntungan kecil yang bisa membantu warga Suriah bertahan hidup," kata Barnes-Dacey.
Karena normalisasi pada dasarya hanya menguntungkan dinasti Assad. "Tidak akan pernah ada perjanjian yang baik di bawah rezim otoriter," kata Mehchy. "Jadi bisa dibayangkan apakah ada perjanjian baik antara dua rezim yang otoriter?," imbuhnya, merujuk pada kerajaan-kerajaan di Teluk.
Jurnalis Suriah, Omar Albam, ikut membantu pembuatan laporan ini dari Provinsi Idlib.