1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apa Dampak Pemilu Uni Eropa terhadap Asia Tenggara?

12 Juni 2024

Suara partai sayap kanan yang meningkat di Pemilu Eropa berpotensi membuat blok ini mengadopsi kebijakan luar negeri yang lebih proteksionis. Kurangnya suara partai hijau berisiko minimnya kebijakan ramah lingkungan.

Jalanan di Kamboja
Kebijakan lingkungan hidup yang didukung Uni Eropa di Asia Tenggara mungkin akan berubah dengan adanya perubahan di parlemen Uni Eropa yang baruFoto: Sovannara/Photoshot/picture alliance

Hasil Pemilu Eropa 2024 akan terlihat dalam beberapa minggu mendatang. Banyak yang menduga-duga apakah Ursula von der Leyen, yang saat ini menjabat presiden Komisi Eropa, dapat mengamankan masa jabatan keduanya sebagai pimpinan badan eksekutif Uni Eropa.

Hal ini akan berimplikasi pada Asia Tenggara, yang telah semakin selaras dengan Uni Eropa dan sekarang menganggap blok Eropa sebagai "mitra strategis” dari aliansi regionalnya.

Menurut para analis, kerugian besar yang diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan hijau dan liberal Eropa dapat melemahkan keterlibatan Eropa dalam inisiatif-inisiatif lingkungan hidup di Asia Tenggara dan menghambat perdagangan bebas.

Lebih dari 180 juta orang di seluruh Eropa memberikan suara dalam pemilu tanggal 6-9 Juni, untuk memilih 720 anggota baru Parlemen Eropa, majelis rendah Uni Eropa.

Pemilu ini menghasilkan banyak kejutan, terutama karena faksi-faksi sayap kanan membuat keuntungan besar yang menjadi kekhawatiran bagi kelompok-kelompok sentris dan liberal.

Presiden Prancis Emmanuel Macron membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan legislatif mendadak pada 30 Juni dan pemungutan suara putaran kedua pada 7 Juli. Ini terjadi setelah partai Renaisans yang sangat pro-Uni Eropa mengalami kekalahan telak dari partai sayap kanan, National Rally (RN).

Von der Leyen, kandidat utama Partai Rakyat Eropa (European People's Party/EPP) yang berhaluan tengah-kanan, menghadapi tantangan yang signifikan meskipun partainya sebenarnya mendapatkan lebih banyak kursi. 

Presiden Komisi Eropa Ursula Von Der Leyen berbicara di panggung saat malam Pemilihan Umum Eropa (9/6)Foto: Nicolas Landemard/Le Pictorium/MAXPPP/dpa/picture alliance

Apa yang penting bagi Asia Tenggara dari Pemilu Eropa?

Di Asia Tenggara, respon terhadap pemilihan umum Uni Eropa masih belum begitu terdengar.

"Pemilu Eropa belum masuk dalam radar di Asia Tenggara, dan pemerintah-pemerintah regional juga tidak menyadari pentingnya jajak pendapat ini bagi kebijakan terhadap kawasan ini,” kata Bridget Welsh, peneliti di University of Nottingham Asia Research Institute Malaysia, kepada DW. "Untuk saat ini, Asia Tenggara dalam mode menunggu dan bereaksi kemudian.”

Hasil Pemilu Eropa akan berdampak pada warga Asia Tenggara jika menyentuh persoalan tentang perdagangan internasional, kelestarian lingkungan, pertanian, dan imigrasi.

Brussel, markas Uni Eropa, harus memberikan persetujuan untuk semua perjanjian perdagangan bebas bagi blok beranggotakan 27 negara ini. Saat ini, negosiasi sedang berlangsung dengan Indonesia, Thailand dan Filipina. Sementara, pembicaraan dengan Malaysia akan segera dimulai.

Alfred Gerstl, pakar hubungan internasional Indo-Pasifik di Universitas Wina, mengatakan kepada DW bahwa pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara kemungkinan besar menginginkan hasil pemilu yang menguntungkan bagi partai-partai liberal yang berorientasi pada pasar bebas. Namun, perolehan suara partai-partai itu tidak terlalu  baik.

Renew Europe, partai liberal yang pro-Eropa, kehilangan 23 kursi. Sementara, Aliansi Hijau-Eropa yang ramah lingkungan (Greens-European Free Alliance/Greens-EFA) hanya memperoleh 53 kursi, yang berarti 19 kursi lebih sedikit dari tahun 2019.

"Hal ini kemungkinan akan memperumit hubungan dengan Asia Tenggara,” kata Gerstl, sambil menambahkan bahwa pergerakan Eropa ke arah nasionalis dapat berarti bahwa badan legislatif UE kurang tertarik pada urusan luar negeri. Ini berarti UE kurang mendukung kerja sama pembangunan dengan Asia Tenggara.

Sebelumnya, UE telah memberlakukan tarif proteksionisme terhadap negara-negara Asia Tenggara, seperti bea masuk yang lebih tinggi untuk impor beras Kamboja dan Myanmar antara tahun 2019 dan 2021 untuk melindungi petani Eropa.

Selain itu, karena partai-partai hijau dan liberal memiliki suara yang lebih lemah, Parlemen Eropa mungkin akan lebih sedikit menekankan pada promosi demokrasi dan hak asasi manusia saat bersidang kembali pada tanggal 16 Juli di Strasbourg, Prancis.

"Hal ini akan menguntungkan bagi rezim-rezim semi-demokratis dan otoriter di Asia Tenggara,” tambah Gerstl. 

Apa yang berubah di Komisi Eropa?

Penting untuk diketahui bahwa Parlemen Eropa memberikan suara untuk memilih Komisi Eropa yang baru, yakni sebuah badan eksekutif Uni Eropa yang akan memimpin kebijakan Uni Eropa selama lima tahun ke depan.

Masa jabatan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell akan segera berakhir, dan sejumlah mantan pemimpin pemerintahan negara-negara Eropa berlomba-lomba untuk mengambilalihnya.

Menurut hasil sementara, EPP von der Leyen memenangkan 186 kursi, yakni 10 lebih banyak dari tahun 2019. Terakhir kali, ia dipilih oleh koalisi EPP, Sosialis dan Demokrat kiri-tengah (S&D) dan Renew, yang pada saat itu menguasai hampir 400 kursi secara total.

Namun, S&D kehilangan empat kursi dan Renew kehilangan lebih dari seperlima kursinya. Von der Leyen membutuhkan 361 anggota Parlemen Eropa untuk menyetujuinya menjalani masa jabatan kedua.

Dia bisa memutuskan untuk bersekutu dengan Partai Green-EFA, tetapi Partai EPP telah bertahun-tahun mencemooh fraksi ini sebagai eko-ekstremis, dan kesepakatan semacam itu mungkin memerlukan revisi besar pada Kesepakatan Hijau, kebijakan khas von der Leyen.  

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Upaya pelestarian lingkungan di Asia Tenggara terkendala perolehan suara

Seiring dengan langkah Uni Eropa untuk memperkuat kemitraan perdagangan di kawasan ini, Asia Tenggara juga semakin bergantung pada pembiayaan UE untuk kebijakan transisi hijau.

Vietnam dan Indonesia telah mendaftar ke dalam skema Just Energy Transition Partnership, sebuah inisiatif yang dipimpin oleh negara-negara G7 yang mencakup Uni Eropa dan beberapa negara Eropa. Skema ini akan menyediakan lebih dari €20 miliar (sekitar Rp330 triliun) dalam bentuk pinjaman lunak dan investasi untuk membiayai upaya-upaya ramah lingkungan di negara-negara Asia Tenggara.

Di bawah kepemimpinan von der Leyen, Komisi Eropa telah mengupayakan Kesepakatan Hijau yang kuat. Ini juga berarti ada peningkatan bantuan keuangan kepada Filipina untuk proyek-proyek ketahanan iklim.

Di sisi lain, kebijakan-kebijakan ramah lingkungan Uni Eropa juga telah membuat Malaysia dan Indonesia berseteru mengenai rencana UE untuk menghentikan impor minyak kelapa sawit.

Jika von der Leyen bersekutu dengan Partai Hijau untuk membuat dirinya terpilih kembali, hal ini dapat mengintensifkan upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup dan inisiatif-inisiatif keuangan hijau di Asia Tenggara. Namun, perolehan suara Partai Hijau-EFA tidak baik dan mereka harus kehilangan kursi di parle,em.

Jika dia atau presiden komisi alternatif mulai menjabat dengan dukungan dari faksi ECR, kebijakan-kebijakan ramah lingkungan kemungkinan besar yang akan menjadi taruhannya. Kemungkiman ini mengarah pada potensi pergeseran hubungan Uni Eropa-Asia Tenggara, terutama dalam hal perdagangan dan kerja sama lingkungan. 

pkp/rs