Ada kesenjangan antara kebutuhan Jerman akan tenaga kerja terampil dan pengalaman imigran yang mencoba berintegrasi. Birokrasi dan budaya kerja di Jerman sejauh ini tidak dirancang untuk membantu para imigran.
Iklan
Dulaj Madhushan benci makanan anjing. Mengangkat puluhan kemasan seberat 15 kilogram dari truk ke "conveyor belt” atau ban berjalan di pusat penyortiran Amazon di Berlin, adalah bagian yang paling tidak menyenangkan selama sembilan jam kerjanya per hari.
Yang lebih menyebalkan bagi pria asal Sri Lanka berusia 29 tahun ini adalah, ia memiliki ambisi lain untuk kehidupannya di Jerman. Ia memiliki surat izin mengemudi bus dari negara asalnya, dan sudah bosan membaca artikel di koran-koran lokal tentang bagaimana BVG, operator transportasi umum di ibu kota Jerman kekurangan tenaga kerja sehingga kesulitan untuk memenuhi jadwal operasionalnya.
Tiga bulan setelah ia akhirnya mendapatkan izin tinggal selama 10 tahun di Jerman (berkat pasangannya yang merupakan warga negara Uni Eropa), impian Madhushan menjadi pengemudi bus, belum juga jadi kenyataan.
"Bulan-bulan pertama berada di Jerman, sangat menegangkan," kata Madhushan kepada DW. "Saya kira akan mudah, ternyata tidak. Saya harus mengikuti pelatihan kejuruan dan belajar bahasa Jerman pada saat yang bersamaan, dan saya tidak tahu di mana saya bisa mendapatkan itu,” ungkapnya.
Meramanis: Kuliah Sambil Berbisnis Kopi di Jerman
Kopi Indonesia sebelumnya punya citra buruk di Jerman karena rasanya dinilai seperti tanah atau bercitarasa rendah. Lewat Kafe Meramanis, lima mahasiswa tawarkan kopi Indonesia berkualitas tinggi.
Foto: Yehezkiel Juan Johar/DW
Buka toko kopi untuk naikkan citra
Andru Thifaldy, mahasiswa asal Indonesia bersama empat orang temannya mendirikan kafe Meramanis di Kota Köln, Jerman. Tujuannya, mengubah perspektif orang Jerman terhadap kopi Indonesia yang selama ini bercitra buruk.
Foto: Yehezkiel Juan Johar/DW
Variasi kopi di kafe Meramanis
Kopi yang ditawarkan Meramanis diimpor langsung dari petani di Indonesia. Masing-masing jenis kopi punya aroma dan cita rasa khas dan diberi nama yang memiliki keterkaitan dengan petaninya. Dengan begitu, penikmat kopi diharap akan memiliki kedekatan dengan Indonesia.
Foto: Yehezkiel Juan Johar/DW
Dari mahasiswa jadi barista
Untuk dapat menyuguhkan kopi Indonesia dengan cita rasa yang kaya dan khas, Andru harus belajar banyak hal, mulai dari menyangrai kopi hingga menyajikan minuman kopi sebagai barista. Perlu usaha ekstra dari Andru dalam mempelajari semua ini, karena dia sebelumnya bukanlah peminum dan penikmat kopi.
Foto: Yehezkiel Juan Johar/DW
Berbagi tugas mengejar sukses
Untuk mengoptimalkan operasional toko, Andru melakukan pembagian tugas dengan empat rekannya. Andru difokuskan untuk menyangrai biji kopi, agar jadi kopi berkualitas. Sementara Kissia difokuskan menjadi barista untuk dan meramu berbagai jenis minuman kopi lezat.
Foto: Yehezkiel Juan Johar/DW
Latte Art ala Meramanis
Setiap musim berganti, kafe Meramanis selalu menyajikan menu spesial. Tidak mudah menemukan resep minuman spesial itu, perlu uji coba berkali-kali dan memberikan minuman uji coba kepada pelanggan yang datang. Apabila minuman ini mendapat sambutan baik, artinya kopi spesial itu siap masuk ke dalam menu!
Foto: Yehezkiel Juan Johar/DW
Impor lebih banyak biji kopi
Citra kopi Indonesia di Jerman berkat upaya Meramanis, perlahan membaik. Andru mengatakan pada 2023 ini, kafe Meramanis akan mengimpor biji kopi sebanyak 2 ton dari Indonesia, volumenya meningkat 5 kali lipat dari impor pada 2022 sekitar 400 kilogram.
Foto: Yehezkiel Juan Johar/DW
Menorehkan sejumlah prestasi bergengsi
Selain berbisnis kopi, kafe Meramanis juga sering mengikuti kompetisi kopi baik di Jerman maupun di Indonesia. Lewat ajang tersebut, kopi Indonesia mendapatkan validasi dari pasar dan eksposur kafe Meramanis pada bisnis kopi Jerman juga meluas.
Foto: Yehezkiel Juan Johar/DW
Pelanggan bisa berdiskusi dan bersosialisasi
Pelanggan di kafe Meramanis juga sering berdiskusi tentang banyak hal, mulai dari serba-serbi kopi Indonesia hingga cerita di balik proses bisnis kafe Meramanis. Awalnya pengunjung kebanyakan berasal dari komunitas orang Indonesia, tapi lama-kelamaan juga mulai ramai didatangi orang Jerman.
Foto: Yehezkiel Juan Johar/DW
Memberikan dampak positif
Andru mengatakan salah satu hal yang membuatnya bahagia adalah berkontribusi memberikan dampak positif terhadap Indonesia di mana pun berada. Dengan berbisnis kopi di Jerman, banyak hal yang didapat yaitu memperkuat mental wirausaha sekaligus memperbaiki pandangan orang Eropa, khususnya Jerman, terhadap kopi asli Indonesia.
Foto: Yehezkiel Juan Johar/DW
9 foto1 | 9
Upayanya sejauh ini hanya membuatnya frustrasi. Beberapa orang di kantor BVG yang ia kunjungi tidak bisa berbahasa Inggris, dan hanya menyuruhnya memeriksa situs web rekrutmen BVG untuk mendapatkan informasi, di mana itu hanya tersedia dalam bahasa Jerman.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Madhushan akhirnya mengetahui, bahwa ia membutuhkan penguasaan bahasa Jerman tingkat menengah untuk bisa bekerja sebagai sopir bus. Tetapi ia tidak menemukan informasi di situs web BVG mengenai apakah BVG menawarkan kursus semacam itu, atau bagaimana cara agar SIM-nya yang berasal dari Sri Lanka bisa diakui di Jerman. Dalam sebuah pernyataan kepada DW, BVG mengatakan bahwa merekrut pekerja asing masih "dalam agenda” dan kursus bahasa Jerman itu tersedia bagi mereka yang sudah memiliki kualifikasi.
"Konsep lebih lanjut saat ini sedang dikembangkan,” kata juru bicara BVG. "Bersama dengan mitra, kami merekrut tenaga kerja asing terampil yang sudah tinggal di Berlin, dan bersama dengan mitra kami pula, kami melatih mereka untuk bekerja sebagai pengemudi bus.”
Perjalanan Madhushan ke pusat pelatihan kerja juga tidak mudah. Meskipun petugas yang ia temui di sana dapat berbahasa Inggris dengan lancar, ia mengatakan tetap harus membawa seorang penutur bahasa Jerman untuk menerjemahkannya. Menghadapi rasa frustrasinya itu, ia mengambil jalan termudah dan tercepat untuk mendapat pekerjaan dan berbayar, yakni melamar kerja di pusat penyortiran Amazon, melalui agen perekrutan terkemuka di Eropa yang tidak memerlukan keahlian bahasa Jerman atau kualifikasi apa pun.
Kami Berasal dari Sini: Kehidupan Keturunan Turki-Jerman dalam Gambar
Untuk merayakan ulang tahun ke-60 kesepakatan penerimaan pekerja migran asal Turki di Jerman, museum Ruhr memamerkan foto-foto karya fotografer asal Istanbul, Ergun Cagatay.
Fotografer Ergun Cagatay dari Istanbul, pada 1990 mengambil ribuan foto warga keturunan Turki yang berdomisili di Hamburg, Köln, Werl, Berlin dan Duisburg. Ini akan dipajang dalam pameran khusus “Kami berasal dari sini: Kehidupan keturunan Turki-Jerman tahun 1990” di museum Ruhr. Pada potret dirinya dia memakai pakaian pekerja tambang di Tambang Walsum, Duisburg.
Dua pekerja tambang bepose usai bertugas di tambang Walsum, Duisburg. Dipicu kemajuan ekonomi di tahun 50-an, Jerman menghadapi kekurangan pekerja terlatih, terutama di bidang pertanian dan pertambangan. Menindak lanjuti kesepakatan penerimaan pekerja migran antara Bonn dan Ankara pada 1961, lebih dari 1 juta “pekerja tamu” dari Turki datang ke Jerman hingga penerimaan dihentikan pada 1973.
Ini foto pekerja perempuan di bagian produksi pelapis interior di pabrik mobil Ford di Köln-Niehl. “Pekerja telah dipanggil, dan mereka berdatangan,” komentar penulis Swiss, Max Frisch, kala itu. Sekarang, komunitas Turki, dimana kini sejumlah keluarga imigran memasuki generasi ke-4, membentuk etnis minoritas terbesar di Jerman dengan total populasi sekitar 2.5 juta orang.
Foto menunjukan keragaman dalam keseharian orang Turki-Jerman. Terlihat di sini adalah kedelapan anggota keluarga Hasan Hüseyin Gül di Hamburg. Pameran foto di museum Ruhr ini merupakan liputan paling komprehensif mengenai imigran Turki dari generasi pertama dan kedua “pekerja tamu.”
Saat ini, bahan makanan seperti zaitun dan keju domba dapat ditemukan dengan mudah di Jerman. Sebelumnya, “pekerja tamu” memenuhi mobil mereka dengan bahan pangan itu saat mereka balik mudik. Perlahan-lahan, mereka membangun pondasi kuliner Turki di Jerman, untuk kenikmatan pecinta kuliner. Di sini berpose Mevsim, pemilik toko buah dan sayur di Weidengasse, Köln-Eigelstein.
Anak-anak bermain balon di Sudermanplatz, kawasan Agnes, Köln. Di tembok yang menjadi latar belakang terlihat gambar pohon yang disandingkan dengan puisi dari Nazim Hikmet, penyair Turki: “Hidup! Seperti pohon yang sendiri dan bebas. Seperti hutan persaudaraan. Kerinduan ini adalah milik kita.” Hikmet sendiri hidup dalam pengasingan di Rusia, hingga dia meninggal pada 1963.
Di sekolah baca Al-Quran masjid Fath di Werl, anak-anak belajar huruf-huruf Arab agar dapat membaca Al-Quran. Itu adalah masjid dengan menara pertama yang dibuka di Jerman pada tahun 90-an. Sejak itu warga Turki di Jerman tidak perlu lagi pergi ke halaman belakang untuk shalat atau beribadah.
Cagatay, sang fotografer berbaur dengan para tamu di sebuah pesta pernikahan di Oranienplatz, Berlin-Kreuzberg. Di gedung perhelatan Burcu, para tamu menyematkan uang kepada pengantin baru, biasanya disertai dengan harapan “semoga menua dengan satu bantal.” Pengantin baru menurut tradisi Turki akan berbagi satu bantal panjang di atas ranjang pengantin.
Tradisi juga tetap dijaga di tanah air baru ini. Di pesta khitanan di Berlin Kreuzberg ini, “Masyaallah” tertulis di selempang anak sunat. Itu artinya “terpujilah” atau “yang dikehendaki tuhan.” Pameran antara lain disponsori Kementerian Luar Negeri Jerman. Selain di Essen, Hamburg dan Berlin, pameran juga akan digelar di Izmir, Istanbul, dan Ankara bekerjasama dengan Goethe Institute. (mn/as)
Hampir tidak ada orang Jerman di gudang besar itu, kata Madhushan, dan bahkan mereka yang bekerja di sana umumnya berbahasa Inggris, karena itu adalah bahasa yang dimengerti semua orang.
Iklan
"Bahkan supervisor saya adalah orang Afganistan, Suriah atau Pakistan, jadi mereka berbicara dalam bahasa Inggris saat rapat,” katanya. Semua pekerja lain, kebanyakan dari India atau Afrika, berbicara dalam bahasa apa pun yang mereka kuasai. Apakah belajar bahasa Jerman akan membantunya di tempat kerja? "Tidak, tidak di sini,” kata Madhushan.
Itu adalah pengalaman yang cukup umum, kata Britta Schneider, profesor penggunaan bahasa dan migrasi di Universitas Eropa Viadrina di kota Frankfurt an der Oder. "Ada kesenjangan besar antara wacana publik yang monolingual di Jerman. Anda harus belajar bahasa Jerman, dan jika tidak, berarti Anda tidak ingin berintegrasi, dan pada praktiknya, di mana sering kali Anda tidak memerlukan bahasa Jerman sama sekali,” katanya kepada DW.
Akibatnya, kata Schneider, banyak imigran tidak memiliki insentif untuk belajar bahasa Jerman, terutama karena kursus bahasa Jerman resmi yang ditawarkan di pusat-pusat pendidikan orang dewasa sangat menyita waktu sehingga sulit untuk bekerja di saat yang bersamaan.
Di Berlin, misalnya, ada kursus yang terdiri dari enam modul, masing-masing terdiri dari 100 jam, yang diajarkan dalam blok empat jam selama lima hari dalam seminggu. Hal itu jelas tidak memungkinkan bagi Madhushan, kecuali jika ia berhenti dari pekerjaannya.
Kurangnya dukungan di pasar kerja Jerman tidak luput dari perhatian para imigran. Sebuah survei OECD yang dirilis pada Januari tahun ini menanyakan kepada para pekerja terampil yang sudah berada di Jerman, atau mereka yang tertarik untuk datang ke Jerman, bidang apa saja yang mereka harap akan mendapat lebih banyak bantuan. Dua jawaban teratas adalah mencari pekerjaan dan belajar bahasa Jerman.
Survei yang sama juga menemukan perbedaan besar antara harapan dan kenyataan di antara para pekerja asing. Ketika ditanya apakah penting belajar bahasa Jerman untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai di Jerman, 52% menjawab ya sebelum mereka datang, tetapi 65% berpikir ulang mengenai hal itu setelah mereka tiba di Jeman.
Tampaknya ada pula kesan di kalangan pekerja asing bahwa mereka kurang disambut dengan baik dibanding dengan yang mereka perkirakan sebelumnya. Ketika ditanya apakah Jerman memiliki "minat yang besar untuk mendapatkan pekerja asing”, 55% menjawab ya ketika mereka masih berada di luar negeri, tetapi hanya 33% yang setuju setelah mereka tinggal di Jerman.
Masyarakat Indonesia di Jerman Timur
Jerman Timur mendapatkan pengakuan internasional tahun 1972. Sejak itu sejumlah negara asing menempatkan perwakilan di Berlin Timur, termasuk Indonesia. Fauzan Azima datang dari Bandung untuk bekerja disana.
Foto: Private Sammlung
Menikmati hidup di Berlin Timur
Fauzan Azima (berjas putih di tengah) bekerja sebagai staf lokal KBRI Jerman Timur. Ia mempunyai kenangan indah atas hidupnya di Jerman Timur. Biaya hidup yang rendah dan suasana kota yang aman merupakan salah satu alasannya. Foto menunjukkan perayaan tahun baru di KBRI pada tahun 1975/76.
Foto: Private Sammlung
Brandenburger Tor masih sepi
Brandenburger Tor yang sekarang merupakan salah satu atraksi turis utama di Berlin pada awal tahun 1970-an sangat sepi. Di belakangnya bisa dilihat tembok Berlin yang dibangun pada tahun 1961.
Foto: Private Sammlung
Unter den Linden
Jalan terkenal Unter den Linden di depan Brandenburger Tor juga terlihat sama sekali berbeda dengan keramaian zaman sekarang.
Foto: Private Sammlung
Perayaan HUT ke-31 RI di KBRI Jerman Timur
KBRI pada masa awal didirikan di Berlin Timur terdiri dari delapan diplomat dan sekitar 15 staf lokal. Di KBRI selalu diadakan perayaan kemerdekaan 17 Agustus dan idul fitri. Foto menunjukkan istri para pegawai kedutaan yang ikut serta upacara pengibaran bendera.
Foto: Privat
Upacara bendera di Jerman Timur
KBRI dulu berlokasi di daerah Pankow di utara Berlin Timur. Wisma duta besar juga berada di jalan yang sama. Daerah ini juga dikenal sebagai semacam kompleks kedutaan-kedutaan asing, yang mulai berdatangan setelah DDR mendapatkan pengakuan internasional tahun 1972.
Foto: Private Sammlung
Pekan olah raga 17 Agustus
Pada HUT RI berbagai perlombaan olahraga diselenggarakan untuk memeriahkan perayaan. Duta Besar saat itu membuka acara secara resmi.
Foto: Private Sammlung
Pertandingan olah raga KBRI Jerman Timur
Tidak hanya warga Indonesia di Jerman Timur, teman-teman dari Berlin Barat kerap diundang dan dijemput untuk ikut serta pada perlombaan-perlombaan olahraga di KBRI Berlin Timur.
Foto: Private Sammlung
Fauzan Azima di masa pensiun
Fauzan Azima sudah tinggal di Berlin selama 46 tahun dan mengalami berbagai fase berbeda dari ibu kota Jerman ini. Ia senang, bahwa Berlin sekarang sudah menjadi sebuah kota metropolitan dengan banyak wisatawan internasional.
Foto: Private Sammlung
8 foto1 | 8
Masyarakat multibahasa
Desakan integrasi ke dalam masyarakat, yang didukung oleh wacana politik di Jerman (dan Eropa pada umumnya) di mana nasionalisme semakin mendorong perdebatan politik, ternyata bertentangan dengan apa yang disebut Schneider sebagai "realitas sosial yang multibahasa, di mana bahasa Jerman tidak selalu berperan penting.”
Ia juga mempertanyakan anggapan bahwa negara harus monolingual, dan bahwa penggunaan satu bahasa saja sangat penting untuk kohesi sosial. "Hal itu tidak dapat dibenarkan, mengingat bahwa kita kekurangan tenaga kerja terampil,” katanya.
Ada bukti bahwa Jerman sedang berjuang untuk bersaing dengan negara lain dalam hal menarik pekerja asing. Jaringan ekspatriat internasional "InterNations” melakukan survei mengenai negara-negara paling menarik bagi pekerja asing, dan menemukan bahwa Jerman berada di urutan ke-50 dari 53 negara.
Meskipun pasar kerja Jerman menawarkan banyak peluang, survei itu membuktikan para ekspatriat justru mengalami kesulitan untuk menetap di Jerman. "Ekspatriat mengalami kesulitan untuk mendapatkan teman, mencari tempat tinggal, dan menghadapi kurangnya infrastruktur digital di Jerman,” demikian hasil survei tersebut.
Indeks "Daya Tarik Bakat” OECD 2023 hasilnya sedikit lebih baik, menempatkan Jerman di peringkat ke-15 dari 38 negara, tetapi masih di bawah saingannya seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Kanada.
Little Shop of Kindness: Toko Istimewa bagi Imigran
03:35
Namun, bahasa Inggris tampaknya menjadi bahasa yang lebih penting di pasar kerja Jerman, terutama di kota-kota besar seperti Berlin. Asosiasi Startup Jerman menyimpulkan, tahun ini proporsi perusahaan rintisan di ibu kota yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar kerja justru meningkat dari 42,3% menjadi 55,8%.
Namun, tentu saja hal itu tidak berlaku di semua tempat di Jerman atau di sektor-sektor di mana negara ini membutuhkan lebih banyak pekerja, seperti yang dikemukakan oleh Bernd Meyer, profesor komunikasi antar budaya di Universitas Mainz. "Dalam pekerjaan perawat, atau di rumah sakit, tidak mungkin tanpa kemampuan bahasa Jerman. Perawat harus bisa berbicara satu sama lain, dengan pasien, dengan dokter,” katanya kepada DW.
Namun ia juga mengatakan, masyarakat Jerman harus mampu ber-multibahasa. "Pihak berwenang, para dokter, lembaga-lembaga sosial harus mampu berbicara dalam beberapa bahasa karena masyarakat menjadi lebih multibahasa,” katanya.
Sudah ada beberapa kemajuan ke arah ini. Agen-agen tenaga kerja di Jerman kini secara khusus mempekerjakan lebih banyak orang yang dapat berbicara dalam bahasa lain, terutama bahasa Turki dan Rusia.
Schneider juga berpendapat, perusahaan-perusahaan akan dapat lebih proaktif, misalnya dengan menawarkan kursus bahasa Jerman singkat yang disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dibutuhkan. Hal ini akan menghemat beberapa ratus jam kursus bahasa umum bagi para imigran, sebelum mereka mencari pekerjaan.
Bagi Madhushan, belajar bahasa Jerman pada dasarnya sangat penting jika ia ingin menjadi sopir bus, meski tampaknya ia harus membiayai kursus itu dari kocek sendiri, mungkin dari penghasilannya bekerja di Amazon.