1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Musik

Apa Jadinya Ketika Musik Bertemu Sains dan Teknologi?

5 Februari 2019

Festival Musik Eksperimental CTM digelar untuk ke-20 kalinya di Berlin. Dalam acara Hacklab, puluhan seniman berkolaborasi untuk mewujudkan karya-karya orisinal. Yogyakarta, menjadi insipirasi bagi acara tahun ini.

CTM Festival Berlin 2019 - Gruppe Melting Code
Foto: DW/A. Gollmer

Suasana tampak berbeda ketika para pengunjung Gedung Teater HAU2, Berlin, Jerman, memenuhi koridor gedung. Mereka rela antre setengah jam sebelum pertunjukan dimulai. Mereka datang untuk menyaksikan festival musik eksperimental CTM yang rutin digelar setiap tahun. Kebanyakan dari mereka memakai baju hitam dan terlihat sangat bergaya.

Dari luar ruangan pertunjukan yang pintunya masih rapat tertutup, sudah terdengar sayup-sayup berbagai macam bebunyian. Bunyi melengking yang bergantian dengan nada rendah yang menggetarkan lantai dan dinding. Namun sumbat telinga yang ditawarkan panitia di pintu masuk tampak tak digubris para pengunjung.

“Saya merasa was-was mendengar bebunyian seperti ini,” tutur Brook, pengunjung yang berasal dari Cina.

Dalam festival ini, puluhan pegiat musik eksperimental bertemu untuk pertama kalinya dalam acara Hacklab untuk berkolaborasi selama satu minggu penuh. Mereka mengeksplor dan menguji ide-ide yang muncul di benak dan pada akhir minggu mereka akan merepresentasikannya di atas panggung. Bukan hanya musisi saja yang ikut, melainkan juga insinyur, tukang kayu, bahkan programmer. 

Dukungan bagi peserta dalam proses berkarya diberikan oleh tiga fasilitator, Peter Kirn, Andreas Siagian, dan Lintang Raditya. Mereka juga menggelar acara yang sama di Yogjakarta pada tahun 2018 silam. 

“Kehadiran kami memang sebenarnya mencoba membawa metode yang waktu itu ada di Jogjakarta dan mencoba untuk diimplementasikan di sini,” tandas Lintang. “Kita juga menawarkan konsep yang sifatnya lebih ke presentasi proses. Kita mencoba untuk sejauh mana dari waktu yang ada, hasil apa yang bisa kita kejar dalam waktu sekian, kemudian kita presentasikan,” lanjut pembuat synthesizer asal Jogjakarta ini. Fokus pada proses inilah yang menjadikan Hacklab berbeda dengan program lain di CTM.

Tiga fasilitator Hacklab (kiri ke kanan: Andreas Siagian, Peter Kirn, Lintang Raditya)Foto: DW/A. Gollmer

Baca juga: Adhi Jacinth Tanumihardja Bermusik dari Indonesia Sampai ke Jerman

Pintu pun dibuka dan pengunjung dipersilahkan duduk di lantai beralaskan bantal-bantal yang terbuat dari karung. Tidak seperti pertunjukan konser biasa, di panggung tidak terlihat alat musik, melainkan banyak synthesizer, alat elektronik dan kabel, serta meja-meja dengan laptop. 

Para perserta membagi diri menjadi tujuh kelompok dan segera mempertunjukkan karya mereka. Selama hampir dua jam penonton menyaksikan pertunjukan audio visual yang intensif. Bebunyian diciptakan dari berbagai alat berbeda, banyak juga dari program komputer. Bunyi yang diciptakan banyak terdengar teknis. Nada melengking atau sangat rendah juga tidak jarang terdengar. Sepanjang waktu aula terasa bergetar karena alunan bunyi-bunyian ini.

Fasilitator utama Peter Kirn mengaku terkejut dengan setiap pertunjukan Hacklab. “Kami bahkan tidak tahu di tengah-tengah minggu berjalan, apa yang akan terjadi. Orang-orangnya mengambil arah yang berbeda-beda. Ada banyak orang dari bidang yang berbeda-beda. Setiap orang mempunyai banyak faset dan hasilnya selalu tak terduga,” jelasnya.

Adaptasi adalah tema yang diangkat tahun ini. Beradaptasi dengan satu sama lain dalam berkolaborasi adalah kunci dari setiap pertunjukan. Banyak seniman harus belajar melepaskan kontrol ketika bermain bersama. Setiap pemain tidak tahu apa yang akan dilakukan pemain lainnya. Menurut Andreas, orang Indonesia mempunyai keunggulan dalam hal ini, “Indonesia sih memang jagonya adaptasi ya, menurut saya. Kita orangnya lebih luwes, lebih santai, lebih enak untuk menghadapi masalah-masalah yang kita temui di lapangan.”

Para peserta menampilkan ide-ide bermusiknyaFoto: DW/A. Gollmer

Setelah hampir dua jam dihujani dengan berbagai impresi audio visual, penonton memberikan apresiasinya kepada peserta Hacklab.

“Saya senang sekali kalau dikejutkan oleh ledakan musik yang tak terduga. Saya juga suka jika pengaruh-pengaruh budaya lain terdengar di musik eksperimental, melalui berbagai instrumen,” ujar salah satu penonton Zuri Maria, seusai acara. 

Helena, salah seorang penonton yang datang jauh-jauh dari Moskow, juga sangat terkesan dengan acara Hacklab dan sudah berkali-kali menonton.

“Saya pikir, para pemusik di Hacklab adalah yang paling menarik di Festival CTM setiap tahunnya, karena mereka sangat inspiratif dan setiap kali mereka mempunyai semangat bereksperimen yang besar. Berimprovisasi bersama dalam cara-cara berkolaborasi menarik adalah sebuah tantangan bagi artis. Ini sangat menarik untuk dilihat,” paparnya.

Bagi kedua fasilitator asal Indonesia, Andreas dan Lintang, ajang ini juga mempunyai keistimewaan sendiri. “Di Indonesia mungkin cuma ada beberapa, yang melakukan praktisi seperti kita, dan kita merasa sendiri, terasing, sama dengan orang-orang lain yang ikutan Hacklab. Ketika kami datang ke Hacklab ternyata ada banyak sekali yang melakukan hal yang sama, kita mendapatkan koneksi baru, teman baru, teknik-teknik baru, jadi saling berbagi dan belajar. Itu yang bagi kita sangat penting,” cerita Andreas, sesaat sebelum ia kembali bergabung dengan para peserta Hacklab untuk terakhir kalinya di Berlin, untuk menikmati kebersamaan. (ag/rap/ml)