Setelah mencatatkan rekor panas dan kekeringan, KTT iklim PBB tahun ini akan membahas ragam isu kontroversial, terutama pembiayaan transisi energi di negara berkembang. Tema apa lagi yang menjadi agenda utama?
Iklan
Catatan kemajuan solusi iklim
Agenda besar COP28 akan diawali dengan catatan rapor kemajuan setiap negara dalam memenuhi Perjanjian Paris 2015. Tujuannya adalah membatasi pelepasan emisi untuk mencegah kenaikan rata-rata suhu global di atas 1,5 derajat Celcius.
Proses "inventarisasi global" diperlukan untuk mengetahui sejauh mana dunia telah mengurangi emisi gas rumah kaca atau berinvestasi pada teknologi ramah lingkungan.
Bisa dipastikan, perundingan COP28 akan diwarnai oleh perselisihan soal nilai kontribusi negara-negara industri maju yang notabene bertanggung jawab atas pemanasan global saat ini. Dalam pertemuan di Dubai itu, negara-negara di dunia diharapkan akan memperbarui sasaran pengurangan emisi pada 2025.
Akankah Peningkatan Suhu Lampaui Batas 1,5 Derajat pada 2026?
Pakar iklim PBB mengungkap hal yang dikhawatirkan akan jadi kenyataan. Penelitian menunjukkan suhu rata-rata global akan meningkat di atas 1,5 derajat Celsius dalam empat tahun ke depan.
Foto: Adrees Latif/REUTERS
Maraknya kebakaran hutan
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) PBB mengungkap adanya kemungkinan sekitar 50% dalam lima tahun ke depan akan terjadi peningkatan suhu 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri. Kebakaran hutan, misalnya seperti di Taman Nasional Plumas California pada tahun 2021, dapat terjadi.
Foto: David Swanson/REUTERS
Cuaca ekstrem
Menurut Sekjen WMO Petteri Taalas, penelitian terbaru menunjukkan peningkatan suhu melebihi batas 1,5 derajat Celsius, yang ditetapkan sebagai batas maksimal pada perjanjian Paris. Hal ini dapat mengakibatkan cuaca ekstrem, contohnya banjir akibat hujan deras di kota Zhengzhou di Cina pada 2021.
Foto: Aly Song/REUTERS
Kerusakan ekosistem
Di tahun 2015 silam, para pemimpin dunia setuju untuk membatasi kenaikan suhu di bawah 2 derajat Celsius, saat itu tidak diprediksi bahwa perubahan iklim akan terjadi begitu cepat. Dampaknya terlihat pada kerusakan ekosistem. Misalnya Laut Marmara di Turki yang sudah tercemar oleh air limbah, setidaknya 60% spesies hewan dilaporkan menghilang.
Foto: Umit Bektas/REUTERS
Gletser dan lapisan es mencair
Taalas mengkhawatirkan suhu panas luar biasa yang terjadi di Arktik. Dia mencontohkan, melelehnya gletser Jakobshavn di Greenland hingga menyebabkan sejumlah bongkahan es terbuang ke laut dari tahun 2000 hingga 2010. Hal ini menyebabkan kenaikan permukaan laut setinggi 1 milimeter. “Apa yang terjadi di Arktik berdampak pada kita semua,” kata Taalas.
Foto: Hannibal Hanschke/REUTERS
Dampak fatal
Umat manusia akan dipaksa untuk menghadapi dampak dari perubahan iklim dan cuaca ekstrem, misalnya Badai Ida di tahun 2021 yang menghancurkan rumah milik Theophilus Charles di Louisiana (dalam gambar). Taalas memperingatkan bahwa batas 1,5 derajat Celsius tidak ditetapkan secara sembarangan. Nilai itu menandai dampak perubahan iklim jadi berbahaya bagi umat manusia dan Bumi.
Foto: Adrees Latif/REUTERS
Kemungkinan buruk bagi perlindungan iklim
Para pengamat lingkungan sangat mengkhawatirkan perkembangan perubahan iklim, meskipun banyak penduduk Eropa yang fokus dengan perang di Ukraina. Apa pun yang terjadi di Eropa timur, darurat iklim masih akan terus berlangsung bagi umat manusia. (mh/vlz)
Foto: Christoph Hardt/Geisler-Fotopres/picture alliance
6 foto1 | 6
Masa depan bahan bakar fosil
Negosiasi paling alot selama COP28 diyakini akan muncul seputar masa depan bahan bakar fosil. Dipertanyakan, kapan negara-negara di dunia akan mempercepat penghapusan teknologi batu bara, minyak dan gas secara berkala.
Pada COP26, negara peserta sepakat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, tapi tidak menghapusnya secara keseluruhan. Amerika Serikat, Uni Eropa dan negara-negara yang rentan bencana iklim, telah mendesakkan penghapusan energi padat emisi. Namun kesepakatan batal tercapai karena perselisihan di antara negara-negara G20, terutama karena Rusia, Cina, India dan Indonesia yang masih banyak bergantung kepada batu bara.
Presiden COP28 di Uni Emirat Arab, Sultan al-Jaber, sebenarnya telah mengatakan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil adalah hal yang "tidak bisa dihindari." Namun pernyataan tersebut masih harus dibuktikan, terutama apakah UEA mampu melobi negara-negara kaya minyak lain untuk mengadopsi strategi pengurangan emisi.
Isu ekonomi dan krisis iklim menjadi agenda utama KTT G20 Bali yang digelar pada 15-16 November 2022. Para aktivis lingkungan menitipkan sejumlah pesan untuk para pemimpin negara terkemuka di dunia.
Foto: Greenpeace
Serukan transisi energi berkeadilan
Isu lingkungan selalu menjadi sorotan dalam KTT G20. LSM Lingkungan Greenpeace gelar aksi damai kreatif dengan memproyeksikan pesan berbunyi “Saatnya Transisi Energi Berkeadilan” di Pantai Melasti, Bali pada Senin malam (14/11).
Foto: Greenpeace
Isu transisi energi jadi fokus KTT G20 di Bali
Isu transisi energi menjadi salah satu isu utama yang dibahas dalam KTT G20 di Bali. Pesan ini ditujukan kepada pemimpin G20 untuk mengambil komitmen yang nyata dan ambisius dalam merespons krisis iklim, yang sudah makin terasa dampaknya bagi umat manusia.
Foto: Greenpeace
Dunia harus tinggalkan batubara pada 2040
Transisi energi diyakini menjadi kunci untuk menghentikan krisis iklim. Panel ilmiah PBB untuk perubahan iklim (IPCC) menyebut, dunia harus menutup 80% PLTU batubara pada 2030, serta meninggalkan batubara secara total di 2040 untuk menanggulangi krisis iklim.
Foto: Greenpeace
Komitmen Indonesia pada energi terbarukan
Indonesia berencana untuk memensiunkan dini sejumlah PLTU Batubara dengan total kapasitas 9.2 GW pada tahun 2029, dengan bantuan internasional. Kapasitas pembangkitan sebesar 3.7 GW akan digantikan pembangkit listrik terbarukan. Rencana ini dipaparkan pemerintah Indonesia dalam COP 26 di Glasgow pada 2021.
Foto: Greenpeace
G20 sumbang 80% emisi global
Negara-negara anggota G20 berkontribusi hampir 80% dari emisi CO2 global. Kedua puluh negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan tercapainya target menahan kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat Celsius untuk menghindari kerusakan bumi yang lebih parah. (kp/as)
Foto: Greenpeace
5 foto1 | 5
Teknologi penyimpanan emisi
UEA dan negara-negara lain yang bergantung pada bahan bakar fosil ingin mendorong COP28 agar menjajaki penggunaan teknologi baru untuk menangkap dan menyimpan emisi gas rumah kaca di bawah tanah.
Badan Energi Internasional, IEA, mengatakan, kendati penting untuk mencapai tujuan iklim, teknologi pengurangan emisi masih sangat mahal dan belum bisa digunakan dalam skala besar. Terutama, UE dan negara-negara lain khawatir, teknologi ini bisa mendorong negara-negara pendosa iklim untuk lalai mendorong dekarbonisasi.
Iklan
Pembiayaan solusi iklim
Mengatasi perubahan iklim dan dampaknya memerlukan jumlah investasi yang jauh lebih besar ketimbang yang sejauh ini sudah dianggarkan. Menurut PBB, negara-negara berkembang masing-masing membutuhkan setidaknya USD 200 miliar hingga tahun 2030 untuk beradaptasi terhadap dampak krisis iklim, seperti kenaikan muka laut atau bencana cuaca ekstrem.
COP28 juga akan membahas biaya "ganti rugi atas kerusakan" yang ditimbulkan oleh bencana iklim. Besaran dana tersebut diminta berkisar minimal USD 100 miliar pada tahun 2030.
Biaya iklim yang tinggi merupakan salah satu hambatan terbesar KTT Iklim di UEA. Negara-negara yang rentan menuntut negara kaya agar menjamin dana bantuan adaptasi yang lebih besar.
Uni Eropa dan AS sejauh ini telah berkomitmen menyediakan dana tersebut, namun juga ingin melibatkan perusahaan swasta dalam skema solusi iklim.
rzn/hp (Reuters)
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Daftarkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite.