1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apa Sebetulnya Pemicu Depresi?

Fred Schwaller
19 Agustus 2022

Level serotonin rendah di dalam otak, cukup lama dianggap penyebab utama depresi. Namun, penelitian terbaru membantah teori ini dan menunjukkan transmitter saraf tidak ada hubungannya dengan depresi.

Depresi dipicu oleh penyebab yang kompleks di dalam jejaring otak
Depresi dipicu oleh penyebab yang kompleks di dalam jejaring otak dan di tatanan genetis.Foto: BSIP/picture alliance

Teori pemicu depresi yang berasal dari tahun 1960-an menyimpulkan ketidakseimbangan kimiawi dalam otak, sebagai penyebab depresi. Disebutkan, level rendah unsur transmisi pesan dalam saraf atau neurotransmitter serotonin di dalam otak, sebagai pemicunya.

Berdasarkan teori itu, para dokter biasanya memberikan obat-obatan untuk menaikkan perasaan senang seperti Iprozianid atau Prozac, yang diyakini bekerja dengan menaikkan kadar serotonin di dalam otak.

Serotonin tidak terlibat dalam depresi

Namun, penelitian terbaru menunjukkan teori itu hanya sekadar menggampangkan permasalahan, yang sebetulnya amat rumit. Riset terbaru yang menganalisis 361 hasil penelitian ilmiah yang ada dan sudah diuji oleh para ahli, menunjukkan tidak ada kaitan antara rendahnya kadar serotonin dalam darah dengan depresi.

Seiring dengan itu, para peneliti juga menemukan tidak ada perbedaan pada reseptor atau transporter serotonin di dalam otak pada penderita depresi yang dibandingkan dengan orang tanpa depresi.

"Depresi memiliki banyak gejala yang sangat berbeda dan para peneliti atau psikiater yang serius, tidak akan berpikir bahwa depresi hanya disebabkan masalah sepele, berupa ketidakseimbangan kimiawi dalam hal ini serotonin di dalam otak,” kata Michael Bloomfield, konsultan psikiatri dan peneliti di University College London, yang tidak terlibat dalam riset terbaru ini.

Burnout: Lelah Tak Berkesudahan dan Depresi

04:02

This browser does not support the video element.

Namun, Bloomfield juga tidak menyepakati kesimpulan bahwa serotonin tidak memainkan peranan apapun dalam kasus depresi.

"Kemungkinan yang tersisa adalah pada sejumlah penderita yang mengidap tipe depresi tertentu, perubahan pada sistem serotonin, bisa saja berkontribusi pada gejala mereka,” papar Bloomfield.

Masalah dari kajian sebelumnya adalah menyimpulkan depresi itu seolah hanya sebuah kelainan tunggal. Padahal dari perspektif biologi, hal itu sama sekali tidak logis.

Penyebab depresi sangat kompleks

Pertanyaannya, jika klaim riset terbaru itu menyimpulkan serotonin tidak berkaitan dengan depresi, jadi apa penyebabnya? Riset meta itu tidak menawarkan penjelasan alternatifnya. Namun, para ahli mengatakan depresi adalah kondisi yang kompleks dengan penyebab yang beragam pula.

Yang tidak mengejutkan adalah kejadian negatif dalam kehidupan dan bagaimana cara kita mengelolanya, memiliki impak besar pada depresi. Stres diketahui sebagai pemicu utamanya.

"Kejadian dalam kehidupan, punya impak besar pada depresi,” ujar Patricia Fonseca, psikiater di Max-Planck-Insitut for Psychiatry di München, Jerman kepada DW. "Tapi fakta penting lainnya adalah pengaruh faktor genetika. Mereka yang memiliki kecenderungan genetis tertentu, jika mengalami kejadian menyedihkan dalam kehidupan, hal ini bisa memicu munculnya depresi,” papar Fonseca.

Teori terbaru saat ini bergeser dari penjelasan hanya satu unsur pembawa pesan dalam saraf atau neurotransmitter seperti serotonin. Sebagai gantinya, para pakar fokus pada bagaimana depresi mengubah jejaring yang sangat rumit di dalam otak, yang memproses emosi dan stress.

Kini dengan menggabungkan efektifitas obat anti depresi, para ilmuwan bisa mengidentifikasi cara baru untuk mengobati depresi. Ada bukti makin kuat, obat-obatan yang mengubah kesadaran, seperti ketamin atau jamur psilocyibin lebih efektif dibanding obat-obatan anti depresi, seperti escitalopram.

Riset citra otak menunjukkan obat-obatan itu membantu meningkatkan konektifitas jejaring dalam otak. Pemikirannya adalah unsur-unsur tersebut membantu orang memproses ulang emosi lama dalam cahaya baru. Di saat yang sama dilakukan penataan ulang jejaring di dalam otak, untuk mengurangi kecenderungan depresi.

Pakar psikoterapi Fonseca juga menekankan efektifitas pengobatan non-farmakologi dalam terapi depresi.

"Saya pikir, kita harus bekerja untuk pencegahan depresi, dengan keterampilan seperti perhatian sepenuhnya, penerimaan dan mereduksi stres. Itu juga harus melibatkan psikoterapi, dengan tujuan agar warga dapat menangani stres dan depresi jauh lebih baik lagi."

"Dalam terapi, orang punya waktu untuk melacak pemicu depresi. Mereka bisa belajar tentang penyakit yang diidapnya dan sebaliknya dari terjerumus pada situasi tanpa harapan, mereka mendapat pemberdayaan untuk menghadapi situasi kehidupan yang sulit.

(as/hp)