1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PerdaganganCina

Apa yang Menarik dari KTT Cina-Arab Pekan ini?

Cathrin Schaer
8 Desember 2022

Kunjungan Presiden Cina, Xi Jinping, ke Arab Saudi pekan ini bertepatan dengan KTT Dewan Kerja Sama Teluk (GCC). Meski demikian, analis sepakat bahwa negara Arab tidak sedang membelot ke Beijing.

Presiden Xi Jinping bertemu dengan Pangeran Mohammed bin Zayed al Nahyan di Abu Dhabi, UEA
Presiden Xi Jinping bertemu dengan Pangeran Mohammed bin Zayed al Nahyan di Abu Dhabi, UEAFoto: Shen Hong/Xinhua News Agency/picture alliance

Bahkan sebelum dimulainya KTT Arab-Cina di Riyadh akhir pekan ini, pemerintah di Beijing giat menekankan peran yang mereka mainkan di Timur Tengah.

Awal Desember lalu, Kementerian Luar Negeri Cina menerbitkan laporan berisikan 19.000 kata tentang "Kerja sama antara Cina dan Arab di era baru.” Di dalamnya, Beijing memosisikan diri sebagai "mitra strategis dan sahabat yang tulus,” serta ingin memainkan peran yang konstruktif dan menahan diri untuk tidak didikte oleh "kepentingan geopolitis sepihak.”

Sebagian melihat frasa tersebut sebagai sikutan terhadap kebijakan AS di Timur Tengah. Tidak sedikit yang khawatir, konferensi puncak pada Jumat (9/12) yang akan dihadiri oleh Xi itu, bakal semakin membebani relasi AS dan Saudi. 

Hubungan antara Washington dan Riyadh belakangan sedang merenggang. Sambutan dingin terhadap Presiden Joe Biden dalam kunjungan pertamanya ke Saudi, Juli silam, memperpanjang keretakan. 

Tanpa antagonisme politik 

Namun begitu, KTT Cina-Arab tidak digelar "untuk secara spesifik menyerang AS,” kata Bernard Haykel, Guru Besar Timur Tengah di Princeton Uiversity, AS.

"Saudi membina hubungan dagang yang kuat dengan Cina dan Presiden Xi seharusnya berkunjung sejak jauh hari yang lalu,” timpalnya kepada DW. "Kunjungannya dibatalkan berulangkali karena lockdown Covid-19 dan hal lain.”

Sejauh ini tidak ada agenda yang jelas dalam KTT Cina-Arab, kecuali yang berkaitan dengan perdagangan. "Sangat sulit memprediksi hasil konferensi karena digelar dengan agenda yang sangat umum,”kata Hasan al-Hasan, pakar politik di International Institute for Strategic Studies (IISS), Bahrain. 

"Terutama karena KTT ini mengundang negara-negara dengan profil ekonomi yang sangat jauh berbeda,” imbuhnya.

Menurut Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan, nilai perdagangan bilateral antara negara Teluk dan Cina, termasuk Iran, mencapai USD 2,8 triliun pada 2021. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab merupakan mitra dagang terbesar. 

Jika dibandingkan, nilai perdagangan antara Uni Eropa dan Amerika Serikat pada periode yang sama hanya berkisar USD 1,3 triliun. Satu-satunya sektor kunci yang masih didominasi UE dan AS adalah persenjataan yang mewakili 95 persen belanja alutsista di Timur Tengah.

Di Riyadh, Cina juga membidik negosiasi perdagangan bebas dengan GCC yang sudah dibahas sejak dua dekade silam. November silam, duta besar Cina untuk UEA mengisyaratkan perundingan sudah memasuki fase terakhir.

Berpindah dari minyak bumi

Riuhnya arus perdagangan antara Cina dan GCC ikut digerakkan oleh sektor konstruksi. Di Oman, Mesir, Saudi dan Kuwait, pusahaan-perusahaan Cina terlibat membangun pelabuhan atau kawasan industri.

Kerja sama juga meningkat di sektor teknologi digital, energi terbarukan, pariwisata dan penerbangan. Sebagian besar negara-negara Teluk misalnya menggunakan teknologi Huawei untuk menopang jaringan komunikasi.

"Bagi Cina, prioritas di Riyadh adalah ekonomi, setidaknya untuk jangka waktu pendek dan menengah,” kata Naser al-Tamimi, ekonom dan peneliti senior di Institute for International Political Studies (ISPI) di Italia. 

Sebaliknya bagi GCC, relasi dagang dengan Cina membuka jalan bagi diversifikasi sumber pendapatan yang kini masih bergantung pada ekspor minyak dan gas Bumi. Mereka giat menyiapkan diri untuk menyambut era energi terbarukan.

"Jumlah dana investasi yang dikucurkan untuk diversifikasi sangat tinggi,” kata al-Tamimi. "Dan Cina tidak akan melewatkan kesempatan semacam itu terlewat begitu saja.”

Tatanan dunia baru

Cina perlahan juga mulai merambah ke sektor persenjataan yang selama ini dikuasai AS dan Eropa. Dengan bantuan Cina, Saudi misalnya sedang mengembangkan peluru kendali dan teknologi drone di dalam negeri.

"Apapun yang tidak dijual Amerika, akan didapat Saudi dari tempat lain,” kata Prof. Haykel di Princeton. 

Pada 2021, UEA membatalkan pembelian jet tempur dari AS karena kekhawatiran Washington terkait jaringan Huawei yang rentan dimata-matai. Buntutnya penguasa di Dubai dan Abu Dhabi beralih membeli pesawat milik Cina.

"Dunia terus berubah dan kekuasaan kian menyebar,” kata al-Hasan merujuk pada tatanan dunia baru yang melemahkan peran Negara Barat dalam konstelasi geopolitik. 

"Negara-negara Teluk memang mengejar kepentingan sendiri, bahkan jika bertentangan dengan sekutunya di Barat,” imbuhnya. "Tapi itu karena negara-negara ini, bersama negara lain yang dinamakan Global South, kini lebih percaya diri, lebih kapabel dan berpeluang besar melindungi kepentingannya sendiri.”

"Perilaku semacam itu adalah hal yang sangat rasional,” pungkasnya. (rzn/yf)

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya