Apa yang Sebabkan Gejolak Mata Uang di Negara Berkembang?
6 September 2018
Mungkinkah Rupiah bisa diselamatkan dari kedigdayaan Dolar Amerika Serikat? Inilah tiga faktor yang didaulat memicu gejolak di pasar negara berkembang. Apa saja?
Iklan
Ketika kaum miskin dan kelas menengah Argentina bergulat dengan inflasi setinggi 30 persen, puluhan perusahaan di Turki dikabarkan pailit lantaran utang melonjak menyusul hancurnya nilai tukar Lira dan Indonesia berjuang menyelamatkan Rupiah yang keok terhadap Dolar AS, negara-negara berkembang sedang terseret dalam arus negatif pasar keuangan.
Gejolak pasar uang tahun ini ditengarai antara lain disebabkan sikap investor yang mengkhawatirkan dampak kenaikan suku bunga AS dan perang dagang terhadap perekonomian negara-negara berkembang, yang meski tumbuh cepat, seringkali rentan didera faktor eksternal.
Nilai mata uang Argentina tahun ini misalnya merosot hampir separuhnya, sementara Lira Turki juga bernasib serupa. Adapun mata uang Iran, Rial, menyentuh rekor paling rendah pekan ini dan Venezuela masih berjuang mengatasi hiper inflasi yang membekap perekonomian negeri kaya minyak itu sejak beberapa tahun terakhir.
Berbagai analis menggambarkan arus negatif yang menyeret pasar di negara-negara berkembang hampir sama parahnya seperti krisis keuangan global satu dekade silam.
Suku Bunga AS Goda Investor
Salah satu penyebab gejolak di pasar uang ditengarai adalah kebijakan Bank Sentral AS, The Fed, yang menaikkan suku bunga acuan secara berkala sejak beberapa bulan terakhir. Juni silam suku bunga AS merangkak ke level 1,75-2% dan diyakini akan terus meningkat hingga akhir tahun.
Lima Alasan Sri Mulyani Jadi Menteri Terbaik di Dunia
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indarwati mendapat penghargaan Menteri Terbaik di Dunia berkat kinerjanya. Prestasi apa saja yang lantas melambungkan nama bekas direktur Bank Dunia itu? Simak daftarnya.
Foto: DW
Piagam dari Syeikh
Tidak tanggung-tanggung, penghargaan tersebut diberikan langsung oleh Perdana Menteri Uni Emirat Arab, Syeikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum. Ini adalah kali pertama seorang menteri dari Asia mendapat penghargaan Menteri Terbaik di Dunia. Tidak heran jika nama Sri Mulyani kembali melambung sebagai seorang teknokrat ulung. Inilah lima prestasi Sri yang patut diapresiasi.
Foto: Reuters/C. Pike
1. Menuntaskan Kemiskinan
Sejak menjabat menteri keuangan di era Presiden Joko Widodo, Sri Mulyani dianggap ikut membantu mengurangi angka kemiskinan sebanyak 40%. Saat ini Badan Pusat Statistik mencatat jumlah penduduk miskin sebesar 26,5 juta orang, alias turun 1,7 juta sejak Maret 2017. Kepiawaian Sri menekan angka inflasi sebesar 1,45% pada periode tersebut dinilai turut menyumbang penurunan angka kemiskinan.
Foto: DW/R. Nugraha
2. Kesenjangan Pendapatan
Indonesia tergolong negara di urutan teratas dalam hal <a target="_blank" href="http://p.dw.com/p/2Y8Iu">kesenjangan</a> pendapatan. Laporan terakhir menyebut empat orang terkaya Indonesia memiliki harta sebanyak 100 juta rakyat miskin. Melalui kebijakan pajak yang ketat dan efektif, pemerintah sedikit demi sedikit berhasil mengurangi kesenjangan pendapatan dan membagikan kemakmuran lebih merata.
Foto: AFP/Getty Images/Bay Ismoyo
3. Pertumbuhan Lapangan Kerja
Presiden Joko Widodo menargetkan pertumbuhan 10 juta lapangan kerja hingga 2019. Sejauh ini tim ekonomi di Kabinet Kerja telah berbuat banyak untuk mencapai sasaran tersebut. Tahun lalu sebanyak 2.61 juta kesempatan kerja tercipta di Indonesia. Rezim keuangan yang ketat, belanja infrastruktur dan kemudahan berbisnis menjadi jurus andalan buat merapal pertumbuhan ekonomi.
Foto: Bay Ismoyo/AFP/Getty Images
4. Transparansi dan Korupsi
"Tata kelola keuangan yang baik adalah transparansi dan akuntabilitas," kata Sri Mulyani. Kredo yang sama membayangi masa kerjanya. Ia banyak menuntut transparansi anggaran dan membatasi ruang korupsi di Kementerian Keuangan. Ia juga ikut memantau penggunaan APBD di daerah-daerah, termasuk DKI Jakarta. Tidak heran jika pada masa jabatannya indeks transparansi Indonesia membaik sebanyak 3%.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
5. Cadangan Devisa
Akhir Desember silam Bank Indonesia mengumumkan cadangan devisa sebesar US$130 miliar atau meningkat sekitar 4,03 miliar Dolar AS. Angka tersebut adalah yang tertinggi dalam sejarah. Sebagai perbandingan, cadangan devisa Indonesi pada 2014 adalah sebesar 111 miliar Dollar AS. Kelihaian Sri Mulyani mengelola utang negara dianggap salah satu alasan membaiknya postur cadangan devisa Indonesia.
Foto: Reuters/D. Whiteside
Banjir Pujian Buat Sri
Di tengah prestasi yang menggunung, Sri Mulyani mendedikasikan kemenangannya untuk pemerintahan Presiden Jokowi dan rakyat Indonesia. Sang Presiden pun tak hemat pujian, "ini pengakuan dunia dan hanya satu orang menteri. Saya kira, kita semua bangga," ujarnya.
Foto: DW
7 foto1 | 7
Kenaikan suku bunga membuat pasar AS lebih menjanjikan buat Investor yang merespon dengan menarik uang dari pasar negara berkembang. Perkembangan ini turut mengungkap kelemahan struktural perekonomian negara berkembang seperti pada kasus Turki dan Argentina. "Jika masa-masa stress sudah dimulai, anda harus melihat di mana bendera merah dikibarkan," kata Evghenia Sleptsova, ekonmis senior di lembaga Oxford Economics. "Argentina dan Turki memiliki kesenggangan paling tinggi," imbuhnya.
Kenaikan suku bunga juga ikut mengerek nilai mata uang Dolar sebanyak 3,3 persen tahun ini terhadap sejumlah mata uang asing, terutama terhadap Peso dan Lira. Kondisi ini terutama mengancam banyak perusahaan di Turki dan Argentina yang menyimpan kredit dalam mata uang asing.
Perang Dagang di Pelupuk Mata
Merosotnya nilai mata uang lokal juga bisa mendorong investor menarik uang dari pasar saham di negara-negara berkembang. Indeks Negara Berkembang milik MSCI misalnya anjlok sebanyak 15% dari level teringgi tahun ini. Hengkangnya investor juga diyakini mempercepat kejatuhan nilai mata uang dan memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga acuan yang berpotensi menghambat pertumbuhan.
Hal ini dilakukan oleh bank sentral di Turki, India dan juga Indonesia.
Namun langkah tersebut belum menjawab ketidakpastian yang dipicu oleh eskalasi perang dagang yang dilancarkan AS. Selain dengan Cina, AS juga bersitegang dengan Turki seputar penahanan seorang pastor AS dan menghukum Ankara dengan menaikkan pajak bea masuk untuk produk logam asal negeri dua benua itu.
Terutama kekhawatiran investor terhadap perang dagang antara AS dan Cina ikut menyebabkan kelesuan pasar. Saat ini sejumlah indikator sudah mengisyaratkan perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina. Kondisi ini terutama berdampak besar pada perusahaan-peruahaan kecil dan akibatnya meningkatkan tekanan terhadap pasar saham dan mata uang Yuan.
Situasi di Indonesia
Kolumnis harian bisnis Bloomberg, Shuli Ren, menulis Indonesia seringkali terinfeksi virus apapun yang menghinggapi pasar negara berkembang. Menurutnya masalah terbesar perekonomian Indonesia adalah kebergantungan yang tinggi terhadap dana asing untuk membiayai defisit anggaran. Saat ini kepemilikan asing pada obligasi pemerintah mencapai 40% pada 2017, dari 33% pada 2013.
Situasi ini bertambah runyam menyusul besarnya utang korporasi dalam bentuk mata uang asing di tengah kuatnya nilai tukar dolar AS. Akibatnya Rupiah rentan terhadap perlemahan.
Hal ini diakui oleh Presiden Joko Widodo dalam komentarnya yang dimuat di situs milik Sekretariat Negara. "Ada dua kunci, investasi harus meningkat dan ekspor juga harus meningkat supaya kita bia menuntaskan defisit saat ini."
Dipotong Lima Nol, Seberapa Terpuruk Mata Uang Venezuela?
Hiperinflasi terhadap Bolivar memaksa Venezuela memberlakukan redenominasi buat memindahkan lima angka nol dari setiap satuan mata uang. Namun seberapa rendah nilai mata uang Bolivar? Simak perbandingannya berikut.
Foto: Reuters/C. G. Rawlins
Jutaan untuk Seekor Ayam
Venezuela mencatat inflasi sebesar 82,700% pada Juli silam. Akibatnya nilai mata uang Bolivar terjun bebas dan penduduk kesulitan memenuhi kebutuhan pokok tanpa mata uang asing. Untuk seekor ayam potong berbobot 2,4 kilogram saja penduduk harus merogoh 14,6 juta Bolivar atau setara US$ 2,2.
Foto: Reuters/C. G. Rawlins
Sekantung Uang untuk Sekantung Tomat
Adapun satu kilogram tomat di Venezela dibanderol 5 juta Bolivar atau sekitar US$ 0,76. Saat ini nilai tukar Bolivar terhadap Dollar AS berada di kisaran 6.900.000 Bolivar untuk setiap Dollar. Padahal lima tahun silam nilainya hanya 6.000 Bolivar per satu Dollar AS.
Foto: Reuters/C. G. Rawlins
Biaya Hidup Melangit
Akibat hiperinflasi dan kelangkaan bahan pokok, biaya hidup di Venezuela melangit. Untuk satu roll tisu toilet saja penduduk harus membayar 2,6 juta Bolivar di ibukota Caracas.
Foto: Reuters/C. G. Rawlins
Mata Uang Tanpa Nilai
Tiga setengah juta Bolivar adalah harga eceran untuk sebungkus pembalut wanita di Venezuela. Padahal jika dikonversi ke mata uang Dollar AS, harganya tak lebih dari US$ 0,53.
Foto: Reuters/C. G. Rawlins
Beras Lebih Berharga
Terutama buat penduduk yang gemar mengkonsumsi beras, hiperinflasi menjadikan biaya hidup meningkat tinggi. Satu kilogram beras dibandrol seharga 2,5 juta Bolivar atau sekitar 0.38 Dollar AS.
Foto: Reuters/C. G. Rawlins
Petaka buat Orangtua
Adapun satu kantung popok bayi yang kebanyakan masih diimpor dihargai 8 juta Bolivar atau sekitar 1,22 USD. Kondisi ini diperparah dengan langkah pemerintah memperketat regulasi perdagangan. Akibatnya distributor enggan mengimpor dalam jumlah besar.
Foto: Reuters/C. G. Rawlins
Keju Tak Terjangkau
Meski diproduksi dengan biaya murah dan dibanderol 1,14 USD per kilogram, keju dijual seharga 7,5 juta Bolivar di Venezuela. Pada Senin (27/8) pemerintah di Caracas akan memberlakukan redenominasi yang memangkas lima angka nol. Jadi mulai pekan depan harga sebongkah keju akan berkisar 75 Bolivar. (rzn/ap: Reuters)