1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lima Tahun Revolusi Mesir

25 Januari 2016

Banyak yang berubah di Mesir sejak revolusi 25 Januari. Negeri di tepi Nil itu pernah mencatat pemilu demokratis pertama dan kudeta militer. Ironisnya aktivis yang membidani revolusi kini menghadapi represi pemerintah

Symbolbild Arabischer Frühling Ägypten
Foto: AFP/Getty Images/F. Monteforte

Tanggal 25 Januari sempat nyaris menjadi titik terang dalam sejarah modern Mesir. Di hari itu bekas diktatur, Housni Mubarrak, untuk pertamakalinya menyaksikan amarah rakyat. Lebih dari 100.000 demonstran berkumpul di Kairo, Alexandria, Suez dan kota-kota besar lainnya.

"Rakyat menuntut kejatuhan rejim Mubarak," begitu bunyi oretan di dinding-dinding kota di bulan Januari 2011 silam.

Saat itu diktatur Tunisia, Zainal Abidin bin Ali, telah lebih dulu kabur ke Arab Saudi sembari membawa ratusan ton emas negara. Sementara Libya bergolak dalam perang suadara dan Bahrain mengalami perlawanan mayoritas Syiah terhadap pemerintahan Sunni. Tapi revolusi di Mesir yang bernilai simbolis lalu menyebar cepat ke negara-negara Arab lainnya.

Di Yaman, Suriah, Aljazair, Irak, Yordania, Kuwait, Maroko dan Sudan rakyat turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Bahkan Arab Saudi, Mauritania dan Djibouti ikut didera gelombang protes, kendati berskala kecil.

Banyak yang berubah di Mesir sejak kejatuhan Housni Mubarak. Lima tahun berselang, negeri di tepi Sungai Nil itu mengalami pemilu demokratis pertama yang kemudian dibajak oleh kelompok Ikhwanul Muslimin dan kudeta militer yang memanfaatkan kekhawatiran rakyat terhadap Islamisasi oleh pemerintahan Muhammad Morsi.

Ironisnya lima tahun berselang banyak aktivis demokrasi Mesir yang dulu turut membidani rejim militer al Sisi, menghadapi tangan besi pemerintah. Organisasi HAM mencatat rejim al Sisi telah menangkap sekitar 40.000 aktivis politik, entah itu dari Ikhwanul Muslimin atau kelompok liberal.

Banyak yang kemudian menyesali pergolakan politik di Mesir. Esraa Abdel Fattah turut menggalang aksi demonstrasi via media sosial ikut merasakan perubahan paradigma di masyarakat Mesir.

"Mereka melihat saya sebagai pengkhianat dan agen rahasia asing dan bahwa kami bertangungjawab menghancurkan negeri ini," tuturnya kepada sebuah media Swiss. "Beberapa orang masih bertanya kepada saya tentang apa yang salah dengan Housni Mubarak."

Namun buat Abdul Fatah al Sisi, situasi di Mesir saat ini jauh lebih baik ketimbang sebelumnya. "Pengalaman demokrasi tidak matang dalam semalam," tuturnya. Rakyat Mesir harus berlatih mengembang "Kebebasan bertanggungjawab" untuk menghindari "kekacauan yang destruktif." - sebuah retorika yang mencerminkan 29 tahun kekuasaan Housni Mubarak, tulis media Arab Al Jazeera.


rzn/yf (dari berbagai sumber)