1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Cina dan Arab Saudi, Dua Sekutu Baru?

23 Maret 2022

Arab Saudi dan Cina kian mendekat seiring mendinginnya hubungan Pangeran Mohammed bin Salman dan Presiden AS, Joe Biden. Seberapa serius keretakan antara kedua sekutu lama itu? Berikut analisa oleh Cathrin Schaer.

Pangeran Mohammed bin Salman dan Presdien Cina, Xi Jinping
Pangeran Mohammed bin Salman dan Presdien Cina, Xi JinpingFoto: Bandar Algaloud/AA/picture alliance

Menyusul laporan Wall Street Journal bahwa Presiden Cina, Xi Jinping, akan menerima undangan untuk melawat ke Arab Saudi pada Mei mendatang, Riyadh mengindikasikan bakal menerima mata uang Yuan sebagai alat pembayaran minyak, ketimbang Dollar AS.

Arab Saudi menjual sepertiga ekspor minyaknya ke Cina dan sejak awal tahun menggeser Rusia sebagai sumber minyak terbesar. 

Transaksi minyak menggunakan Yuan akan membantu menciptakan sistem tandingan dalam pembayaran internasional, di mana mata uang Cina akan sama pentingnya seperti Dollar AS. 

Kesepakatan dengan Arab Saudi  menjadi relevan di tengah invasi Rusia terhadap Ukraina. Pasalnya, Moskow bisa menghindari sanksi AS, jika mengadopsi Yuan untuk transaksi luar negeri. Cina selama ini bersikeras netral. Namun, AS dan Eropa mencurigai Beijing secara diam-diam membantu Rusia.

Namun begitu, analis meyakini pengumuman Saudi untuk mengadopsi Yuan adalah peringatan terhadap negara barat. Lembaga penelitian kebijakan luar negeri Eropa, EFCR, mencatat cara serupa pernah digunakan Saudi pada 2019 silam.

Cina sering digunakan sebagai "alat tawar” dalam hubungannya dengan Amerika Serikat, tulis EFCR. "Contohnya, hanya beberapa bulan setelah pembunuhan wartawan Saudi Jamal Khashoggi, putra mahkota Pangeran Mohammed bin Salman menggunakan lawatannya di Asia untuk mempengaruhi perdebatan di AS dan Eropa soal penjualan senjata ke negaranya.”

Keretakan dua sekutu lama

Relasi antara Saudi dan Amerika Serikat banyak mendingin sejak pemerintahan Joe Biden, terutama perihal kejahatan HAM di Yaman. Menyusul invasi Rusia, AS dan Eropa mencoba menjaring dukungan negara teluk untuk menambah produksi minyak. Tapi permintaan itu ditolak.

"Negara-negara teluk meyakini, daya tawar atau daya tekan Washington sudah banyak melemah dibandingkan dulu,” kata Cinzia Vianco, peneliti Timur Tengah di ECFR. "Mereka khawatir Timur Tengah tidak lagi dianggap penting.”

Kekhawatiran itu menjadi celah masuk bagi Cina. Sejak beberapa tahun terakhir, Beijing perlahan mempererat hubungan dagang dengan Saudi. Pada 2020, Riyadh menjadi mitra dagang terbesar bagi Cina di kawasan teluk.

Negeri tirai bambu itu juga berperan penting dalam proyek modernisasi masa depan yang digulirkan bin Salman, Vision 2030. Proyek raksasa itu ingin menyiapkan Saudi menyambut berakhirnya era minyak, antara lain lewat pembangunan infrastruktur.

Cina sebaliknya memiliki program investasi infrastruktur, Belt and Road Initative, yang digunakan untuk membiayai pembangun jalan, pelabuhan atau bandar udara di Asia dan Afrika. Sebab itu pula kedua negara mendaulat hubungan mereka sebagai "kemitraan strategis komprehensif.”

Poros baru di Timur Tengah

Sejumlah analis meyakini hubungan antara Cina dan Timur Tengah memasuki babak baru. Untuk pertama kalinya relasi kedua pihak tidak lagi semata didefinisikan dari sudut ekonomi. 

Pada Januari silam, Roie Yellinek, peneliti lepas di Middle East Institute, Washington D.C., mengamati semua perjalanan negara dari Timur Tengah ke Cina. Hasilnya adalah "bahwa menteri luar negeri lah yang lebih sering berkunjung ke Cina, ketimbang misalnya menteri ekonomi atau perdagangan. Hal ini mengindikasikan pergeseran fokus,” kata dia.

"Setelah hubungan yang berorientasi bisnis selama berpuluh tahun, perkembangan di beberapa tahun belakangan memperjelas betapa era baru sudah dimulai dengan fokus yang lebih besar terhadap geopolitik,” tulisnya dalam sebuah artikel.

Babak baru itu mencakup kerjasama militer antara Saudi dan Cina. Antara 2016 dan 2020, volume perdagangan senjata dari Cina ke Saudi meningkat 386 persen, menurut Institute for International and Security Affairs dalam sebuah riset, Februari silam.

Isu Hak Asasi Manusia ditengarai kian membebani hubungan antara AS dan sekutunya di Timur Tengah. Hal ini terutama menjadi isu sentral bagi Partai Demokrat yang kini memerintah di Washington.

Sebab itu pula "model kapitalisme autoriter ala Cina memukau banyak rezim di Timur Tengah, yang melihat kerjasama dengan Beijing sebagai cara menahan tekanan Barat untuk mereformasi pemerintahan dan penegakan HAM,” tulis ECFR dalam laporannya 2019 lalu.

Meski demikian, ikatan ekonomi Saudi dan Amerika Serikat masih terlampau kuat untuk bisa disaingi Cina. EFCR berdalih, bahkan jika semua nilai perdagangan Saudi dan Cina dibayarkan dalam Yuan, volumenya hanya mencapai USD 320 juta per hari kerja. Sebaliknya, volume perdagangan AS di seluruh dunia mencapai USD 6,6 triliun per hari kerja.

rzn/pkp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait

Topik terkait

Tampilkan liputan lainnya