1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apakah Taring ASEAN Masih Tajam?

12 November 2022

ASEAN dituduh ragu-ragu dan terpecah atas isu penting seperti kudeta Myanmar dan krisis lainnya. Di tengah ketegangan AS-Cina, para analis meragukan relevansi blok ini.

Dua polisi berjaga di depan Sekretariat ASEAN di Jakarta
Sekretariat ASEAN di JakartaFoto: Achmad Ibrahim/AP Photo/picture alliance

Tahun ini, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, ASEAN, merayakan ulang tahun ke-55. Ini adalah tonggak sejarah yang  dirayakan para pemimpin negara-negara, termasuk Presiden Amerika Serikat Joe Biden, yang dijadwalkan akan tiba di ibu kota Kamboja untuk menghadiri pertemuan puncak tahunan ASEAN akhir pekan ini.

Namun, masa depan ASEAN tidak pernah terlihat begitu tidak pasti. Perpecahan geopolitik antara 10 negara anggotanya, tekanan ekonomi, dan tuduhan bahwa blok ini telah gagal dalam memberikan solusi yang berarti untuk krisis Myanmar, adalah masalah yang paling menantang.

ASEAN dibentuk oleh lima negara di Asia Tenggara yang berhaluan antikomunis pada tahun 1967. Di akhir tahun 1990-an, jumlah anggotanya menjadi dua kali lipat. Organisasi ini sempat dipuji karena turut membantu menjaga perdamaian. ASEAN juga menyediakan infrastruktur untuk membantu beberapa negara Asia Tenggara agar dapat mengejar pertumbuhan ekonomi.

Namun belakangan ini, beberapa peneliti menilai bahwa ASEAN sangat membutuhkan pembaruan.

Krisis pengambilan keputusan

Komunitas internasional sebelumnya telah sepakat bahwa ASEAN akan memimpin upaya penyelesaian krisis Myanmar yang dipicu oleh kudeta militer pada Februari 2021. Namun ASEAN telah secara luas dikritik karena tidak melakukan langkah yang cukup signifikan. Agenda ASEAN selanjutnya dalam hal ini akan menjadi pokok pembicaraan utama dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) regional selama seminggu di Phnom Penh, Kamboja, pada minggu ini.

Selain persoalan Myanmar, masih ada Vietnam dan Filipina yang selama beberapa dekade terjebak dalam sengketa teritorial dengan Beijing atas Laut Cina Selatan. Namun ASEAN menunda untuk menyetujui "Kode Etik" dengan pemerintah Cina, yang sebelumnya telah dijanjikan oleh organisasi itu. 

Tantangan terbesar lainnya adalah mengelola ketegangan yang meningkat antara AS dan Cina. Masalah ini jadi kian rumit dengan terbelahnya keberpihakan para anggota ASEAN. Thailand dan Filipina adalah sekutu Amerika Serikat dan Vietnam secara informal menganggap AS sebagai penjamin keamanan, sementara Kamboja dan Laos dipandang sebagai mitra terdekat Beijing.

"Beban ketegangan regional saat ini, terutama krisis Myanmar dan sengketa Laut Cina Selatan, terlalu besar untuk dihadapi ASEAN dalam desain kelembagaannya saat ini," kata Mabda Haerunnisa Fajrilla Sidiq, peneliti di lembaga think tank di Jakarta, The Habibie Center.

Alternatif reformasi untuk ASEAN

Masih ada ruang untuk reformasi, demikian menurut Ja Ian Chong, ilmuwan politik di Universitas Nasional Singapura. Salah satu idenya adalah memberikan kekuasaan yang jauh lebih besar kepada Sekretariat ASEAN yang merupakan cabang eksekutif organisasi ini.

Saat ini, sebagian besar keputusan dibuat oleh sepuluh menteri anggota atau oleh ketua ASEAN. Jabatan sebagai ketua berpindah tangan menurut abjad setiap tahunnya dan ini berarti sebuah negara tidak akan dominan memegang kekuasaan. Namun petahana dapat mendorong agenda domestik mereka ke blok regional ini.

"Intinya adalah, untuk membuat Sekretariat lebih baik dalam apa yang seharusnya sudah dilakukan. Itu akan menjadi jawaban yang paling mudah," kata Chong.

Reformasi kelembagaan juga dapat memberikan lebih banyak ruang bagi anggota parlemen regional untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Saat ini tidak ada parlemen regional dalam organisasi ASEAN seperti yang ada di Uni Eropa dengan Parlemen Eropa mereka.

Ide lain yang muncul adalah agar blok tersebut kembali ke model ASEAN-5 yang lebih tradisional. Dengan model ini, para pendiri asosiasi yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand dapat mengambil alih kekuasaan yang lebih besar. Lagipula, kelima negara pendiri ini memang sudah cenderung mendominasi proses dan lebih mampu menemukan kesepakatan tentang isu-isu utama.

Namun model ini akan mengucilkan pendatang baru yang bergabung pada tahun 1990-an, seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja. Negara Kamboja saat ini malah dipandang dengan curiga oleh beberapa orang karena hubungan dekatnya dengan Beijing.

Model ASEAN-5 juga akan berarti mengecualikan Vietnam yang kini menjadi kekuatan ekonomi yang tengah melonjak di kawasan itu dan menjadi negara yang paling krusial di bidang geopolitik. Model "ASEAN-5 Plus Vietnam" bisa jadi alternatif lain, tapi Brunei kemungkinan akan merasa tersisih meskipun negara ini tidak kontroversial.

Akankah Myanmar dikeluarkan?

Tidak semua orang berpikir bahwa negara-negara Asia Tenggara menginginkan adanya perubahan. Bahkan mengambil keputusan yang relatif mudah seperti tidak mengundang pemimpin militer Myanmar, Min Aung Hlaing, ke KTT tahunan ASEAN tahun ini terbukti merupakan cobaan berat.

Sembilan anggota ASEAN mungkin akan setuju untuk mengeluarkan Myanmar dari blok tersebut, namun tampaknya ini tidak mungkin. 

"Sementara reformasi institusional diperlukan, kita perlu menyadari bahwa di masa lalu upaya reformasi pernah mendapatkan tentangan besar dari negara-negara anggota," kata Mabda Haerunnisa Fajrilla Sidiq dari The Habibie Center.

Richard Maude, rekanan senior di Asia Society Policy Institute, setuju akan lemahnya kemauan politik untuk melakukan perubahan. "Para pemimpin ASEAN tidak akan mau menyerahkan hak veto yang diberikan dalam prinsip konsensus kepada mereka," ujar Richard Maude. "Yang lebih mungkin terjadi adalah bahwa ASEAN akan kacau."

Ada juga pertanyaan tentang bagaimana komunitas internasional akan merespons, mengingat banyaknya kekuatan asing yang menyatakan ASEAN sebagai pusat dari rencana Indo-Pasifik mereka. Beijing akan menolak setiap upaya untuk mendorong keluarnya mitra terdekat mereka lewat pemberlakuan model ASEAN-5. Namun AS kemungkinan akan menyambut pemberlakuan langkah itu.

Di sisi lain, tidak ada kekuatan luar yang mau mempertaruhkan keadaan di Asia Tenggara yang relatif damai sejak berakhirnya Perang Dingin. Mereka tidak pula ingin mengacaukan institusi yang selama ini telah menopang hubungan ekonomi regional dengan dunia luar ini.

ae/hp

Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait