Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit paling berbahaya di dunia, di samping HIV. LSM Apopo memanfaatkan daya penciuman tikus untuk membantu mengaatasi masalah TBC.
Lawan TBC dengan Tikus
Selain HIV, tuberkulosis merupakan salah satu penyakit paling berbahaya di dunia. LSM Apopo memanfaatkan daya penciuman tikus untuk membantu mengaatasi masalah TBC.
Sang Pahlawan
Organisasi non-pemerintah asal Belgia, Apopo, mengembangbiakkan tikus untuk membantu para petugas kesehatan dalam mendeteksi TBC, salah satu penyakit paling mematikan di Afrika. Gilbert, tikus raksasa di Afrika, bertugas mengendus sampel dahak manusia di pusat penelitian di Morogoro, Tanzania. Ia adalah salah satu dari 40 “tikus pahlawan”, demikian mereka disebut, yang terdaftar dalam program ini.
Teknik Pelatihan
Setiap kali Gilbert mencakar dengan kedua kaki depannya pada sampel yang sebelumnya telah diuji positif TBC, ia mendapatkan hadiah makanan yang berupa campuran pisang dan kacang. Ini untuk memotivasi si tikus untuk terus bekerja.
Bukan Hanya untuk TBC
Sudah selama beberapa tahun, Apopo telah memanfaatkan tikus untuk mendeteksi ranjau, misalnya di Mozambik, Angola dan Kamboja. Di Mozambik, tikus pelacak ranjau menemukan 2.587 ranjau, lebih dari 1.000 bahan peledak dan sekitar 13.000 amunisi dan senjata ringan.
Investasi yang Berharga
Tikus raksasa Afrika (Cricetomys) ini memiliki indera penciuman yang sangat tajam. Perlu waktu sembilan bulan untuk melatih seekor tikus dan menelan biaya sekitar 6.000 Euro. Tikus jenis ini mampu hidup sampai delapan tahun dan mudah dipelihara. Berbeda dengan anjing, tikus ini tidak tergantung pada seorang pelatih saja.
Dilatih sejak Kecil
Sebagian besar tikus untuk misi ini dikembangbiakkan sendiri oleh Apopo di pusat penelitian. Ini memudahkan mereka untuk melatih tikus-tikus sejak kecil. Sesekali, Apopo juga menerima tikus liar untuk membantu proses pengembangbiakan.
Pengujian Dimulai
Seorang pasien menyerahkan sampel dahak ke RS Mbagala Kuu di Dar es Salaam, kota terbesar di Tanzania. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada tahun 2012 tuberkulosis, penyakit menular yang menyerang paru-paru, membunuh sekitar 1,3 juta orang di seluruh dunia.
Pengujian Ganda
Sampel dari pasien, yang sebelumnya diuji negatif TBC, juga dikirim ke Apopo. Hal ini dilakukan karena banyak klinik memiliki teknologi usang. Lebih dari setengah dari penderita TBC di Afrika tidak terdeteksi. Dampaknya mengerikan: satu penderita TBC yang tidak menjalani perawatan dapat menularkan penyakit ini pada 10 sampai 15 orang per tahun.
Penyakit Mematikan
Savera Komba (kiri) batuk-batuk, kehilangan berat badan dan mengeluh kelelahan. Pengujian di rumah sakit menyebutkan ia tidak menderita TBC. Sampel dahaknya dikirim ke Apopo di Morogoro, dan tikus di pusat penelitian ini mendapatkan bahwa ia positif TBC.
Memastikan
Petugas laboratorium Apopo menguji ulang sampel yang sebelumnya dinyatakan negatif oleh rumah sakit, tapi dinyatakan positif oleh tikus. Jika tetap positif, pasien diminta kembali ke rumah sakit untuk memulai pengobatan.
Mulai Pengobatan
Bobot Savera Komba masih 39 kg, namun sejak ia menjalani pengobatan ia merasa lebih baik. Kepada DW ia mengatakan, “Tanpa tikus, mungkin saya sudah meninggal.”
Belum Diakui
Memanfaatkan tikus untuk mendeteksi TBC belum diakui oleh WHO. Namun, sekitar 1.700 pasien yang oleh rumah sakit dinyatakan tidak menderita TBC, terdeteksi TBC oleh Gilbert dan “rekan kerjanya” pada tahun lalu di Tanzania. Hasil ini mendorong Apopo untuk membuka laboratorium lain di Mozambik dan juga direncanakan di Afrika Selatan.
Mesin Cepat
Apa kelebihan dari tikus pelacak TBC milik Apopo? Mereka cepat. Seekor tikus mampu memproses sampel dalam waktu tujuh menit, sementara rumah sakit memerlukan satu hari. Oleh karenanya, metode pengujian ini bisa dimanfaatkan di masa depan untuk menguji sampel dalam jumlah besar secara cepat, misalnya di kamp-kamp pengungsi atau penjara yang risiko penularan TBC cukup tinggi.