1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Covid-19 Bisa Percepat Realisasi Visi Kota Pintar

Anja Steinbuch
3 Juni 2020

Lockdown akibat pandemi menunjukkan, bagaimana visi kota sehat dan hijau di masa depan. Tak ada kemacetan, kebisingan dan polusi udara. Apakah Covid-19 bisa mempercepat visi kota pintar, yang teknologinya sudah tersedia?

Urban Skyfarm - Konzeptuelles Prototyp für Seoul
Konsep kota pintar, hijau dan manusiawi yang dikembangan di Seoul, Korea SelatanFoto: aprilli.com

Pandemi Covid-19 juga menunjukkan berkah di balik wabah. Lockdown beberapa minggu menunjukkan visi kota yang diimpikan sejak lama oleh para aktivis iklim dan pengkampanye teknologi hijau. Kota yang secara virtual kosong, jalanan lengang, udara yang bersih dan tidak ada pesawat terbang di udara.

Data dari tiga kota terbesar di Jerman, Berlin, München dan Hamburg menunjukkan, arus lalu lintas menurun lebih 30 persennya saat lockdown diberlakukan bulan Maret, April dan Mei lalu. Situasi ini secara signifikan menurunkan kemacetan lalu lintas dan kadar emisi CO2.

Setelah regulasi tinggal di rumah secara bertahap dilonggakan di Jerman dan sejumlah negara Eropa lainnya, para pejabat pemerintah di seluruh dunia kini mengamati, apakah “kegilaan“ berlalu-lintas sebelum pendemi Covid-19 akan kembali lagi ke kota-kota besar. Ataukah ada alternatif yang membuat kota tetap lebih hijau, lebih sehat dan lebih cerdas dari sebelum wabah.

Manajemen lalu lintas cerdas 

Michael Ganser, insinyur dari perusahaan sistem telematika Jerman, Kapsch TrafficCom, meyakini ada peluang besar bagi perencana tata kota, untuk melakukan transformasi transportasi di dalam kota menjadi lebih cerdas. Mencakup pengendalian lalu lintas dan informasi, manajemen parkir cerdas, retribusi penggunaan jalan dan apa yang disebut jalur sepeda pintar, yang merangsang warga untuk meninggalkan mobilnya di rumah.

Manajemen lalu lintas cerdas mengurangi kemacetan dan membuka lahan lebih lebar buat pesepeda serta pejalan kaki, yang efeknya mengurangi emii CO2 dan polusi.Foto: Imago Images/K. M. Höfer

“Pengendalian dengan lampu lalu lintas lebih pintar saja, bisa mengurangi kemacetan di jalanan hingga 25%“, ujar Ganser kepada DW. Dia menambahkan, pemanfaatan teknologi digital, seperti kecerdasan buatan (AI) dan pengolahan “big data“ bisa memberikan kemajuan signifikan dengan ongkos relatif murah. 

"Semua mobil terbaru, sudah dilengkapi fitur alat bantu cerdas. Dan smartphone bisa menonjolkan fitur pelacakan yang diperlukan. Yang diperulukan sekarang adalah meningkatkan infrastruktur lalu lintas yang sudah ada“, ujar pakar telematika itu.

Jauh lebih hemat dibanding kemacetan
Untuk memulainya, Ganser ingin membangun manajemen sistem lampu lalu lintas adaptif di kota-kota Jerman, yang bisa bereaksi cepat terhadap situasi lalu lintas spesifik dan mengubah arus lalu lintas. Perusahaannya sudah sukses menerapkan sistem semacam itu di kota-kota metropolitan dunia, seperti Madrid, Mumbai dan Qito. 

“Ongkosnya hanya sekitar 2,50 Euro per kapita. Mengoperasikan sistemnya akan menelan ongkos sekitar 1 Euro per kapita per tahun buat pemerintah kota bersangkutan“ tambah Ganser. 

Lebih jauh pakar telematika lalu lintas itu mengatakan, di sisi lainnya, pemerintah kota akan menghemat ongkos 500 Euro per kapita per tahun, karena menurunkan tingkat kemacetan lalu lintas di dalam kota sebesar 25%. Penghematan akan bertambah besar, jika lampu lalu lintas cerdas dilengkapi opsi untuk mengubah rute mobil penumpang. “Ini akan memotong kemacetan hingga separuhnya, dan kota bisa menghemat ongkos hingga 1000 Euro per kapita /tahun“, tegas Ganser.

Manajemen sistem lalu lintas modern yang disebut sistem telematika, secara mendasar akan membiayai dirinya sendiri. Karena reduksi siginifikan emisi CO2 akan secara otomatis mengarahkan pada lebih kecilnya sertifikat karbon yang harus dibeli perkotaan, sesuai skema bisnis karbon yang berlaku atau yang direncanakan.

Akses data harus bebas

Martin Eldracher, CEO perusaaan konsultan IT Jerman, mengamini keyakinan Ganser itu. Ia mengatakan, pandemi virus corona menjadi kesempatan satu-satunya dalam seumur hidup, untuk mempercepat penerapan teknologi digital untuk meningkatkan kualitas kehidupan warga.

Tentu saja infrastruktur digital untuk itu harus tersedia. Eldracher terutama menunjuk pada kelemahn dan masih tambal sulamnya jaringan di banyak kota dan kawasan di Jerman, yang menghambat pembangunan digital.

Cina Bangun Kawasan Kota Cerdas Integrasi Teknologi Termodern

01:07

This browser does not support the video element.

CEO Teknologi DXC itu punya visi era pasca-COVID-19 tentang digitalisasi Jerman yang penuh terobosan. Bukan lagi sebuah negara yang sering diolok-olok sebagai mimpi buruk birokrasi sekaligus salah satu negara dengan aturan privasi data paling keras.

"Pemerintah kota misalnya, nantinya bisa menggunakan data yang dihimpun stasiun monitoring arus lalu lintas miliknya, aktivitas perbaikan jalan serta emisi mobil dan mengunggahnya ke platforom open source“, kata Eldracher. Pemerintah kota dan perusahaan swasta bisa melakukan analisa datanya, dan mengirim informasi kepada warga secara langsung, baik melalui fitur yang ada dalam mobil atau melalui smartphone. 

“Alat bantu analisa yang sudah ada dari Google atau Waze bisa diintegrasikan, dan itu membuat para pengemudi makin nyaman, untuk menghindari kemacetan dan menemukan tempat parkir yang masih tersedia. Semua ini potensi yang belum digali, dan jadi tantangan buat perusahaan start-up maupun perusahaaan lokal“, pungkas Eldracher.

Lalu lintas udara juga perlu perubahan

Bersama lalu lintas darat, lalu lintas udara juga harus melakukan perubahan mendasar di era pasca Covid-19. Didera pandemi International Air Transport Association (IATA), menaksir industri penerbangan akan mengalami kerugian hingga 300 miliar Euro tahun 2020 ini. Bahkan perusahaan Porsche Consulting meyakini, penurunan omset akan berdampak jangka panjang, dan pendapatan dari bisnis penerbangan, untuk selama beberapa tahun ke depan akan turun hingga 75% dibanding sebelum pandemi.

Joachim Kirsch pakar bisnis penerbangan Porsche Consulting menyebutkan, perjalanan bisnis juga akan tetap rendah, karena sistem bekerja dari rumah (work from home) dan konferensi video terbukti efektif dan efisien. Sementara penerbangan wisata juga anjlok, karena tidak adanya uang pada sebagian konsumen ditambah berkurangnya penawaran dari operator wisata.

“Big data akan menjadi bahan bakarnya pertumbuhan dalam masa depan industri wisata“, ujar Kirsch. Maskapai penerbangan dan bandara harus mengetahui bagaimana perilaku belanja dan preferensi perjalanan para pelangannya untuk bisa berkompetisi. Di sinilah analisis data menjadi sangat penting, untuk memberikan penawaran solusi yang sudah dipaskan untuk keinginan konsumen.

Bagaimana bisnis perkantoran?

Kebijakan work from home diperhitungkan akan terus dilanjutkan di era pasca Covid-19. Boss bank investasi AS Morgan Stanley, James Gorman misalnya sudah mengumumkan, 80.000 stafnya akan melanjutkan aktivitas work from home juga setelah pandemi Covid-19 mereda. Sebuah kebijakan yang membuat sektor penyewaan lahan perkantoran ketar-ketir.

Presiden asosiasi realtor Jerman ZIA, bahkan sudah memperkirakan pasar lahan perkantoran akan anjlok sekitar20% hingga beberapa tahun ke depan. Di saat format baru kerja muncul, hal itu juga akan mempengaruhi dan membentuk lanskap urban baru kota cerdas.
 
Krisis corona akan menjadi katalis bagi perkembangan urban baru. “Relasi antara pusat kota dan kawasan penyangga akan berubah. Mobilitas individu dan kontrol arus data akan diperbaiki“ ujar kritikus arsitektur Niklas Maak. 

Jika dulu bangunan didesain untuk memenuhi kebutuhan investasi, di masa depan bangunan harus memberikan perhatian lebih pada ruang yang mencukupi untuk mengurangi risiko kesehatan dan risiko terkait pekerjaan kepada para pekerja. Secara esensial, hal itu berarti lebih sedikit blok apartemen pencakar langit dan shopping malls di perkotaan, melainkan lebih banyak lahan terbuka untuk pertemuan dan berkomunikasi antar warga. 

Kehidupan perkotaan baru yang lebih gemilang di kota pintar, dengan menerapkan teknologi digital berupa jejaring mobil dan lampu lalu lintas adaptif, jika dipraktekkan di kota-kota berpenduduk lebih 200.000 orang, akan menghemat sekitar 2% emisi gas rumah kaca produksi manusia. Jadi realitanya, masih banyak yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas kehidupan perkotaan, dan bukan hanya menunggu datangnya era baru pasca Covid-19.

(as/pkp)