Setelah penangkapan tiga alumnus di Universitas Riau, pemerintah melakukan pengawasan gencar kegiatan kampus. Apakah hal ini dibutuhkan untuk penanggulangan terorisme? Simak wawancara DW dengan Noor Huda Ismail.
Iklan
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) berencana mengumpulkan seluruh rektor yang ada di Indonesia untuk membahas cara penanggulangan radikalisme dan intoleransi di dalam kampus. Apakah pengawasan aktivitas di kampus diperlukan untuk mengatasi radikalisme di perguruan tinggi? Deutsche Welle berbincang dengan salah seorang pengamat masalah terorisme Noor Huda Ismail.
DW: Setelah penangkapan tiga alumni Universitas Riau yang diduga terkait gerakan terorisme, apakah pengawasan aktivitas di kampus untuk mengatasi radikalisme di perguruan tinggi diperlukan?
Noor Huda Ismail: Kenyataannya secara empiris, sejak dulu kampus memang sudah digunakan oleh kelompok-kelompok radikal untuk melakukan rekruitmen. Mulai dari mobilisasi pada konflik di Afghanistan tahun 80-an hingga konflik Suriah, semua polanya mirip. Itu terjadi karena organisasi-organisasi di kampus seringkali juga berafiliasi dengan pihak luar. Untuk mengatasi kondisi terpaparnya kampus oleh ideologi radikal sekarang ini, masalahnya bukan lagi bagaimana kita mengawasi kampusnya, namun bagaimana cara kita dalam menghadapi narasi kelompok radikal ini.
Yang saya kira mengkhawatirkan adalah ketika menghadapi kelompok itu adalah kita selalu mendeskriditkan orang-orang lain yang punya ideologi atau pemikiran berbeda. Padahal berbeda cara pandang itu kan hal yang biasa. Nah, ironisnya di Indonesia ini kita belum terbiasa dengan tradisi debat atau menelisik kenapa orang mempunyai ideologi yang berbeda. Berdebat itu bukan untuk menang atau kalah. Mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Tetapi bagaimana kita memahami cara pandang orang lain.
Ada dua cara pandang berbeda dalam melihat isu radikalisme ini. Di beberapa negara Eropa, ada kecenderungan untuk menarik benang merah antara berpikir radikal (kognitif) dan tindakan radikal (perilaku) sehingga akan mengancam kehidupan berdemokrasi. Cara berpikir semacam itu dianut di Jerman. Mungkin karena Jerman punya pengalaman sejarah dengan kemunculan Nazi dan atau di Italia yang pernah muncul fasismenya Franco.
Cara pandang kedua adalah Anglo Saxon, seperti di Inggris, Australia dan Amerika Serikat. Bagi penganut ini, mereka tidak mempermasalahkan orang punya cara berpikir atau kognitif radikal, sejauh tidak pada tindakannya yang radikal.
Nah, saya lebih condong kepada aliran ini dalam melihat dinamika pemikiran di kampus. Selama masih dalam tahapan cognitive dan tidak behavior, kita tidak perlu mengambil tindakan hukum positif. Cukup kita fahami bahwa ada gejala radikalisme di dalam kampus. Apalagi menjadi radikal itu seringkali dimaknai sebagai “counter culture” bagi anak-anak muda. Mereka tidak suka yang “mainstream” dan oleh karena itu menjadi moderat tidak keren bagi mereka.
Kalau bukan dari pemikiran kognitif, apa hal yang memicu orang bertindak radikal?
Fakta di lapangan menunjukan bahwa seringkali yang menggerakan orang untuk melakukan tindakan radikal bukan selalu dari ideologi atau cara berpikir atau kognitif melainkan dari jaringan social di mana mereka berada seperti pertemanan, hubungan guru-murid dan persaudaraan (kinship). Dari 25 orang yang saya wawancarai, tentang proses mereka pergi ke Afghanistan tahun 80an, Moro akhir 90an atau Suriah akhir-akhir ini, saya tidak menemukan alasan ideologi menjadi yang pertama menggerakkan mereka. Mereka bergabung dalam komunitas ini seringkali karena produk “budaya” seperti film, nasyid (lagu-lagu), pakaian, musik dan cara hidup. Misalnya Yusuf, ia tertarik berjihad ke Moro pada tahun 2000an karena menyaksikan video pembantaian di Bosnia..
Daftar Serangan Teror JAD di Indonesia
Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan Islamic State alias ISIS adalah kelompok teror paling mematikan di Indonesia saat ini. Berikut serangan teror yang dilakukan anggota JAD di Indonesia sejauh ini.
Foto: REUTERS
Bom Thamrin, Jakarta
Serangkaian ledakan mengguncang Sarinah pada 14 Januari 2016 pukul 10.40 WIB. Para pelaku yang merupakan anggota JAD dan berjumlah tujuh orang membawa granat dan senjata api. Empat pelaku dan empat warga sipil tewas, sementara 24 lainnya mengalami luka-luka. ISIS mengklaim bertanggungjawab atas serangan tersebut. Anggih Tamtomo alias Muhammad Bahrun Naim dicurigai mengarsiteki serangan di Jakarta
Foto: Reuters/Beawiharta
Serangan di Mapolres Surakarta
Seorang pelaku bom bunuh diri meledakkan dirinya di gerbang Mapolres Surakarta pada 05 Juli 2016. Kapolri saat itu, Badrodin Haiti, mengatakan pelaku yang bernama Nur Rohman memiliki hubungan dekat dengan Bahrun Naim. Keduanya sempat aktif di organisasi teror Jamaah Anshar Daulah Khilafah Nusantara yang juga ikut membentuk JAD. Serangan di Solo mengakibatkan seorang petugas mengalami luka-luka.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Surya
Bom Molotov di Samarinda
Serangan bom Molotov di Gereja Oikumene Sengkotek Samarinda pada 13 November 2016 menyebabkan empat orang anak-anak mengalami luka bakar, salah seorangnya yang bernama Intan Olivia Marbun akhirnya meninggal dunia. Pelaku yang bernama Juhanda merupakan anggota JAD Kalimantan Timur dan pernah dipenjara terkait teror bom buku tahun 2011 di Tanggerang.
Foto: picture-alliance/NurPhoto/P. Utama
Bom Kampung Melayu
Dua ledakan di Kampung Melayu pada 25 Mei 2017 menewaskan lima orang dan melukai belasan lainnya. Wakapolri Komisaris Jenderal Syafruddin saat itu mengklaim ISIS melalui JAD bertanggungjawab atas kebiadaban tersebut. Buntutnya polisi menggelar operasi penggerebekan di seluruh Indonesia dan menangkap 22 tersangka teroris yang sebagian merupakan anggota JAD.
Foto: Reuters/Antara Foto
Ledakan di Bandung
Ledakan dahsyat mengguncang kawasan pemukiman penduduk di Jalan Jajaway, Bandung, 8 Juni 2017. Ledakan yang diduga berasal dari bom panci itu terjadi akibat kecelakaan, Polisi akhirnya menangkap lima terduga teroris lantaran memiliki bahan kimia untuk pembuatan bom. Mereka, termasuk Agus Wiguna, dipastikan berafiliasi dengan kelompok JAD Bandung Raya.
Foto: Reuters/Antara Foto/N. Arbi
Kerusuhan di Mako Brimob
Meski diklaim tidak direncanakan, pemberontakan narapidana teror di Mako Brimob, Depok, pada 9 Mei 2018 silam turut melibatkan anggota senior JAD. Aman Abdurrachman yang mendirikan organisasi teror itu bahkan sempat diminta menjadi mediator oleh para narapidana. ISIS sendiri mengaku bertanggungjawab dan mengklaim sudah merencanakan aksi yang menewaskan lima orang polisi dan seorang tahanan itu.
Foto: picture alliance / Photoshot
Serangan Bom Bunuh Diri di Surabaya
Tiga keluarga bertanggungjawab atas rangkaian serangan bom bunuh diri di tiga gereja dan mapolrestabes Surabaya, serta sebuah ledakan di Sidoarjo, pada Mei 2018. Para pelaku yang ikut mengorbankan anak-anaknya sebagai pelaku teror dikabarkan saling mengenal dan menjalin hubungan melalui jaringan JAD Jawa Timur. Salah seorang pelaku, Dita Oepriaro, adalah tokoh senior JAD.
Foto: Reuters/Antara Foto/M. Risyal Hidayat
Gagal di Riau
Sejak lama JAD Riau sudah merencanakan serangan kepada kepolisian. Akhir 2017 Densus 88 menggagalkan serangan dengan menangkap sejumlah figur kunci, serta mengamankan senjata api dan bom. Namun bukan JAD, melainkan Negara Islam Indonesia yang akhirnya berhasil melakukan serangan pada 16 Mai 2018. Seorang petugas meninggal dunia dalam insiden tersebut.
Foto: Getty Images/AFP/D. Sutisna
Suami istri pelaku bom bunuh diri Makassar
Bom bunuh diri terjadi pada tanggal 28 Maret di gereja Katedral Makassar, saat umat merayakan Hari Minggu Palma. Dari hasil identifikasi polisi, pelaku merupakan pasangan suami istri berinisial LL dan EM dan merupakan bagian dari kelompok teroris JAD. Iniden itu dipicu oleh penangkapan terhadap 24 anggota JAD asal Sulawesi Selatan. (rzn/yf - detik, kompas, tribun, ap)
Foto: via REUTERS
9 foto1 | 9
Jadi pintu masuk ke kelompok ini dari paparan produk-produk budaya mereka. Kemudian setelah menonton itulah ia bertemu dengan jaringan sosialnya, merasa diterima, lalu mengenal jihad. Padahal ia orang Nahdatul Ulama di Jombang dan juara P4 (pedoman, penghayatan, pengamalan Pancasila), namun ia memutuskan berjihad karena tergerak dengan apa yang ia lihat di dalam video-video itu.
Maka dari itu, tantangan kalangan akademis itu adalah memahami proses radikalisme ini. Saya kira kenapa mahasiswa ini menjadi radikal ya bisa jadi negara tidak hadir, kelompok moderatnya lemah dan sementara kelompok kanan mentok ini mengambil alih kampus.
Kriteria yang Anda amati dari pelaku teror?
Tanpa bermaksud bicara profil, tapi dalam konteks kampus, justru orang yang menjadi pelaku teror itu rata-rata orang umum yang cenderung berpikirnya positivis seperti mahasiswa-mahasiswa tehnik. Hal ini karena kecenderungan orang yang berlatar belakang teknik berpikirnya dalam logika angka sehingga ini berpengaruh dalam melihat dunia menjadi hitam-putih. Sulit menerima kompleksitas datau nuansa dalam kehidupan ini. Misalnya kalau pemerintah tidak berhukum Islam maka ia thaghut (dianggap lalim) dan oleh karena itu wajib dilawan. Pemikiran-pemikiran radikal seperti sangat utopis dan tidak nyata dalam kehidupan ini. Saya bisa jadi salah. Tapi menurut hemat saya, Islam itu adalah bukan 5 + 5 = 10, tapi menjadi 10 itu bisa saja 9+1 atau 7+3 atau bahkan 2x5, dst. Artinya yang paling penting itu kita tetap di angka 10. Meskipun demikian, yang puny acara pandang keras bahwa 10 itu harus 5+5 juga tidak usah dilarang. Kita kasih saja paparan alternative yang berbeda itu. Lagian inti dari agama itu kan akhlak. Perilaku bukan pada “performance” yang dibesar-besarkan.
Anda bisa memberi contoh?
Contoh yang mana? Yang dengan aspek budaya? Kita ambil contoh gerakan kelompok kanan. Mereka jualannya bukan to the point pada ideologi tapi pada praktik-praktik baik yang berbau kemanusiaan seperti aksi donor darah, berkorban, menolong anak yatim, dll. Semua tindakan-tindakan itu tidak salah dan sulit bagi negara melarangnya kan? Ya karena ini wilayah abu-abu. Nah, kalau negara mau serius menghadapi kelompok ini, negara harus hadir dengan sehadir-hadirnya. Tentu ini mudah diomongkan tapi susah dilaksanakan karena negara kita kan semuanya terbatas tapi masalahnya banyak sekali.
Oleh karena itu, negara wajib menggandeng masyarakat sipil untuk bergerak juga. Ajak masyarakat kita untuk tidak terlalu “inward looking” (berpikir hanya isu lokal) tapi harus “outward looking” (berpikir keluar) karena suka atau tidak kita ini hidup pada era globalisasi yang semuanya saling terkait. Kita sebagai bangsa jangan sampai hanya diperhatikan dunia hanya ketika ada terorisme saja. Atau dilirik karena hanya penduduknya yang besar sehingga potensi pasarnya besar.
Fakta Seputar Kerusuhan dan Penyanderaan di Mako Brimob
155 tahanan terlibat dalam kasus kerusuhan dan penyanderaan di dalam rutan Mako Brimob. 40 jam lamanya operasi pengambilalihan Mako Brimob berlangsung hingga polisi dapat kendalikan situasi. Apa yang sebenarnya terjadi?
Foto: Getty Images/AFP/O. Siagian
Berawal dari makanan
Kerusuhan pecah pada pukul 19:30, Selasa (08/05) akibat cekcok seputar makanan. Seorang narapidana menanyakan titipan makanan kepada seorang petugas. Ketika titipan tidak diberikan, napi tidak terima dan mengajak rekan-rekan napi lain melakukan kerusuhan dari Blok C dan B. Petugas yang berjaga diserang, sembilan anggota Polri disandera.
Foto: Getty Images/AFP/O. Siagian
Anggota JAD
30 hingga 40 napi terorisme yang menjadi dalang kerusuhan dan membobol teralis besi tahanan di gedung C. Mereka diketahui bagian dari Jamaah Anshorut Daulah (JAD), jaringan yang berafiliasi dengan ISIS pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi, ungkap Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto. Salah satu tuntutan narapidana saat itu adalah bertemu dengan Aman Abdurrahman, pimpinan ISIS di Indonesia.
Foto: Getty Images/AFP/R. Prakoso
Seluruh blok tahanan dikuasai
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto menyebutkan ketika kericuhan terjadi, narapidana terorisme mengusai enam blok tahanan di dalam tiga gedung termasuk blok tempat mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ditahan. Selain itu, para narapidana terorisme disebutkan merampas senjata milik polisi dan menjebol ruang penyimpanan barang bukti.
Foto: picture alliance / Dita Alangkara/AP/dpa
155 tahanan menyerahkan diri
40 jam lamanya napi terorisme menyandera rutan di Mako Brimob Depok. Penyanderaan berakhir, ketika 145 napi menyerahkan diri. 10 tahanan lainnya sempat bertahan hingga akhirnya polisi menyerbu masuk ke dalam rutan dengan menembakkan bom asap dan gas air mata. Satu narapidana terorisme dilaporkan tertembak saat berupaya merebut senjata petugas.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
ISIS klaim bertanggung jawab
Menkopolhukam Wiranto awalnya menyebutkan bahwa yang terlibat dalam aksi kerusuhan tersebut adalah napi terorisme. Melalui kantor berita ISIS, Amaq News Agency, kelompok pimpinan Abu Bakar al-Bahgdadi mengirimkan pesan berbahasa Arab yang menyatakan gerilayawannya terlibat baku tembak dengan anggota satuan anti teror Densus 88.
Foto: picture alliance / Xinhua News Agency
Olah TKP
Pasca berakhirnya kerusuhan di Mako Brimob, penyidik langsung menggelar proses pemeriksaan tempat kejadian perkara (TKP). Petugas mengumpulkan bukti yang menjelaskan seluruh peristiwa kerusuhan dan penyanderaan, yang hasilnya akan disampaikan kepada publik melalui konferensi pers sehari kemudian.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Gugur saat bertugas
Lima korban tewas dari pihak kepolisian dilaporkan dibunuh dengan senjata tajam. Hasil identifikasi memperlihatkan sebagian besar korban mengalami luka dalam di bagian leher dan satu korban mengalami luka tembak di kepala. Empat anggota Densus 88 Antiteror yang selamat tak luput dari penyiksaan yang sama. Mereka diduga dianiaya dengan sadis terlihat dari sejumlah luka di sekujur tubuh.
Foto: Getty Images/AFP
Kenaikan pangkat luar biasa
Lima anggota Densus 88 Antiteror yang gugur saat kericuhan di dalam rutan Mako Brimob mendapat kenaikan pangkat luar biasa. Kelima anggota Polri tersebut yakni: Iptu Luar Biasa Anumerta Yudi Rospuji Siswanto, Aipda Luar Biasa Anumerta Denny Setiadi, Brigpol Luar Biasa Anumerta Fandy Setyo Nugroho, Briptu Luar Biasa Anumerta Syukron Fadhli dan Briptu Luar Biasa Anumerta Wahyu Catur Pamungkas.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Bukan kali pertama
Kerusuhan serupa yang melibatkan narapidana kasus terorisme pernah terjadi di Mako Brimob pada 10 November 2017. Saat itu anggota Densus 88 menggeledah sel dan menemukan empat telepon seluler milik narapidana kasus terorisme. Seorang tahanan yang tidak terima atas aksi penggeledahan melakukan provokasi dan memicu kerusuhan yang dapat diselesaikan tanpa menimbulkan korban.
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry
Tidak takut terorisme
Teror yang diarahkan kepada aparat kepolisian mendapat perhatian publik lewat tagar 'Tindak Tegas Teroris'. Presiden Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/5/2018) juga angkat suara. "Negara dan seluruh rakyat tidak pernah takut dan tidak akan pernah memberi ruang kepada terorisme dan upaya-upaya yang mengganggu keamanan negara." Ed: ts/ (dari berbagai sumber).
Foto: Getty Images/AFP/O. Siagian
10 foto1 | 10
Bagaimana mengajak mereka yang radikal untuk ikut kegiatan moderat?
Menjadi radikal itu ada masanya. Orang tidak bisa radikal terus. Kadang mereka ingin juga pensiun dan mulai hidup baru menjadi moderat. Nah, untuk bisa berpindah dari satu jaringan sosial satu ke jaringan sosial yang lain itu tidaklah mudah. Kalau yang saya lakukan selama ini adalah memberikan jaringan sosial baru kepada mereka. Di dalam jaringan sosial baru ini mereka bisa mendapatkan apa yang ada di jaringan yang lama seperti perasaan diterima dan dianggap penting.
Siapa agen yang paling tepat untuk melakukan ini? Ya orang-orang yang pernah dalam jaringan radikal itu sendiri dan sekarang sudah memulai hidup baru. Orang yang paling tepat untuk mengajak orang berhenti merokok itu bukan seorang dokter yang tidak pernah merokok tapi justru mantan perokok yang sudah berhenti. Pada dasarnya, orang itu tidak ada yang suka disalah-salahkan apalagi kok digurui. Tapi dengan cara sharing dari hati ke hati orang bisa berubah.
Jika Anda ada di pemerintahan atau menjadi menteri pendidikan, dalam menghadapi fenomena radikalisme di kampus, langkah apa yang Anda ambil?
Saya tidak mau berandai-andai menjadi menteri karena itu bukan posisi yang tepat bagi saya. Namun, saya membayangkan bahwa menghadapi radikalisme ini saya akan mengedepankan logika kemanusiaan. Maksudnya, ajak saja mereka yang radikal itu menyelesaikan masalah kemanusiaan bersama-sama. Misalnya mengajak mereka bekerja sama dengan kelompok berbeda membantu sebuah desa tertinggal di Papua atau proyek air bersih di sebuah wilayah kering di Nusa Tenggara atau maraknya isu trafficking, dll. Di sinilah narasi-narasi radikal itu harus dibenturkan pada realita sosial yang pelik dan nyaris tidak bisa diselesaikan hanya oleh kelompok tertentu.
Dengan menyalurkan energi mahasiswa pada permasalah konkret itu memaksa mereka tidak lagi berpikir terkotak-kotak dalam sekat agama namun dalam keterampilan. Bagi anak-anak muda, menjadi radikal itu adalah bagian dari siklus kehidupan mereka. Saya dulu juga radikal, toh sekarang setelah menjadi bapak dari dua anak, maka pelan-pelan orientasi hidup saya berubah. Siapa sangka seorang Anies Baswedan yang dulu ketua HMI MPO sekarang menjadi gubernur Jakarta dan bisa jadi nanti malah jadi presiden. HMI MPO adalah organisasi mahasiswa Islam yang pada era Suharto melakukan perlawanan dengan mempertahankan “Azas Islam” dan menolak “Azas Tunggal Pancasila” yang diterapkan rezim waktu itu.
Potret Kepulangan Keluarga Irak yang Diusir ISIS
Fotografer Khalid Al Mousily memotret kepulangan keluarga Ahmad yang diusir oleh ISIS. Meski sulit, penduduk kota cepat membangun kehidupan di antara puing-puing kota.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Terbangun dari Mimpi Buruk
Ketika Mosul dibebaskan dari cengkraman kelompok teror ISIS pada Oktober 2017 silam, kota di utara Irak itu nyaris rata dengan tanah. Namun demikian perlahan sebagian penduduk yang terusir mulai kembali. Fotografer Khalid Al-Mousily menemani keluarga Mohammed Saleh Ahmad saat pulang ke kampung halaman yang menyimpan segudang ingatan, baik dan buruk.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Antara Perpisahan dan Kepulangan
Ketika Mohammed Saleh Ahmed (ki.) ingin memulai perjalanan ke Mossul, ia disergap perasaan campur aduk. Meski senang bisa kembali ke kota kelahiran, ia juga sedih karena harus meninggalkan persahabatan yang dirajut bersama penghuni kamp pengungsi. Bersama merekalah, para penyintas perang Mossul itu, Ahmed bisa berdamai dengan situasinya di pelarian.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Satu Tahun di Kamp
Kamp pengungsi Al-Hammam al-Alil di selatan Mosul dibangun ketika koalisi bentukan Amerika Serikat mulai menyerbu benteng pertahanan ISIS di bagian barat kota. Kelompok pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi itu merebut Mosul pada 2014 dan memaksa penduduk tunduk pada kekuasaan absolut sang khalifat.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Awal Kehidupan Baru
Setahun silam keluarga Ahmad mengubur harapan bisa pulang ke Mosul dalam waktu dekat. Namun ketika ditawarkan kesempatan buat kembali, ia tidak berpikir panjang dan segera mengemas perabotan dan barang pribadi keluarganya. Hanya selang beberapa hari tetangga dan saudara membantu memuat barang di dalam truk kecil yang membawa mereka menjemput kehidupan baru.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Puing dan Reruntuhan
Setelah kehancuran ISIS, bagian barat Mosul menjelma menjadi puing-puing dan reruntuhan. Mohammed (Ki.) terkejut melihat nasib kota kelahirannya itu. "Saya tidak bisa lagi mengenali apapun," ujarnya ketika berjalan bersama adiknya, Ahmed, melalui jalan utama di Mosul.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Kesederhanaan adalah Kemewahan
Setibanya di rumah lama, isteri Mohammed, Iman, segera menyiapkan makan malam keluarga. Meski sederhana, kehidupan di Mosul dirasakan jauh lebih baik ketimbang di kamp pengungsi.
Foto: Reuters/K. Al-Mousily
Normalisasi Lewat Komedi Putar
Mohammed cepat menyesuaikan kehidupan di Mosul. Ia mendapat pekerjaan di perusahaan konstruksi milik pamannya. Normalisasi kehidupan pasca ISIS berlangsung lebih cepat dari yang diduga. Mohammed sekarang sudah mulai berpergian ke salon, menemani isteri belanja atau mengajak anak-anaknya ke taman bermain yang baru dibuka.