1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perlukah Pengawasan di Kampus Untuk Cegah Radikalisme?

5 Juni 2018

Setelah penangkapan tiga alumnus di Universitas Riau, pemerintah melakukan pengawasan gencar kegiatan kampus. Apakah hal ini dibutuhkan untuk penanggulangan terorisme? Simak wawancara DW dengan Noor Huda Ismail.

Universität Indonesia
Foto: imago/Xinhua

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) berencana mengumpulkan seluruh rektor yang ada di Indonesia untuk membahas cara penanggulangan radikalisme dan intoleransi di dalam kampus. Apakah pengawasan aktivitas di kampus diperlukan untuk mengatasi radikalisme di perguruan tinggi? Deutsche Welle berbincang dengan salah seorang pengamat masalah terorisme Noor Huda Ismail.

DW: Setelah penangkapan tiga alumni Universitas Riau yang diduga terkait gerakan terorisme, apakah pengawasan aktivitas di kampus untuk mengatasi radikalisme di perguruan tinggi diperlukan?

Noor Huda Ismail: Kenyataannya secara empiris, sejak dulu kampus memang sudah digunakan oleh kelompok-kelompok radikal untuk melakukan rekruitmen. Mulai dari mobilisasi pada konflik di Afghanistan tahun 80-an hingga konflik Suriah, semua polanya mirip. Itu terjadi karena organisasi-organisasi di kampus seringkali juga berafiliasi dengan pihak luar. Untuk mengatasi kondisi terpaparnya kampus oleh ideologi radikal sekarang ini, masalahnya bukan lagi bagaimana kita mengawasi kampusnya, namun bagaimana cara kita dalam menghadapi narasi kelompok radikal ini.

Yang saya kira mengkhawatirkan adalah ketika menghadapi kelompok itu adalah kita selalu mendeskriditkan orang-orang lain yang punya ideologi atau pemikiran berbeda. Padahal berbeda cara pandang itu kan hal yang biasa. Nah, ironisnya di Indonesia ini kita belum terbiasa dengan tradisi debat atau menelisik kenapa orang mempunyai ideologi yang berbeda. Berdebat itu bukan untuk menang atau kalah. Mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Tetapi bagaimana kita memahami cara pandang orang lain.

Noor Huda IsmailFoto: DW/N. H. Ismail

Ada dua cara pandang berbeda dalam melihat isu radikalisme ini. Di beberapa negara Eropa, ada kecenderungan untuk menarik benang merah antara berpikir radikal (kognitif) dan tindakan radikal (perilaku) sehingga akan mengancam kehidupan berdemokrasi. Cara berpikir semacam itu dianut di Jerman. Mungkin karena Jerman punya pengalaman sejarah dengan kemunculan Nazi dan atau di Italia yang pernah muncul fasismenya Franco.

Cara pandang kedua adalah Anglo Saxon, seperti di Inggris, Australia dan Amerika Serikat. Bagi penganut ini, mereka tidak mempermasalahkan orang punya cara berpikir atau kognitif radikal, sejauh tidak pada tindakannya yang radikal. 

Nah, saya lebih condong kepada aliran ini dalam melihat dinamika pemikiran di kampus. Selama masih dalam tahapan cognitive dan tidak behavior, kita tidak perlu mengambil tindakan hukum positif. Cukup kita fahami bahwa ada gejala radikalisme di dalam kampus. Apalagi menjadi radikal itu seringkali dimaknai sebagai “counter culture” bagi anak-anak muda. Mereka tidak suka yang “mainstream” dan oleh karena itu menjadi moderat tidak keren bagi mereka.

Kalau bukan dari pemikiran kognitif, apa hal yang memicu orang bertindak radikal?

Fakta di lapangan menunjukan bahwa seringkali yang menggerakan orang untuk melakukan tindakan radikal bukan selalu dari ideologi atau cara berpikir atau kognitif melainkan dari jaringan social di mana mereka berada seperti pertemanan, hubungan guru-murid dan persaudaraan (kinship). Dari 25 orang yang saya wawancarai, tentang proses mereka pergi ke Afghanistan tahun 80an, Moro akhir 90an atau Suriah akhir-akhir ini, saya tidak menemukan alasan ideologi menjadi yang pertama menggerakkan mereka. Mereka bergabung dalam komunitas ini seringkali karena produk “budaya” seperti film, nasyid (lagu-lagu), pakaian, musik dan cara hidup. Misalnya Yusuf, ia tertarik berjihad ke Moro pada tahun 2000an karena menyaksikan video pembantaian di Bosnia..

Jadi pintu masuk ke kelompok ini dari paparan produk-produk budaya mereka. Kemudian setelah menonton itulah ia bertemu dengan jaringan sosialnya, merasa diterima, lalu mengenal jihad. Padahal ia orang Nahdatul Ulama di Jombang dan juara P4 (pedoman, penghayatan, pengamalan Pancasila), namun ia memutuskan berjihad karena tergerak dengan apa yang ia lihat di dalam video-video itu.  

Maka dari itu, tantangan kalangan akademis itu adalah memahami proses radikalisme ini. Saya kira kenapa mahasiswa ini menjadi radikal ya bisa jadi negara tidak hadir, kelompok moderatnya lemah dan sementara kelompok kanan mentok ini mengambil alih kampus.

Kriteria yang Anda amati dari pelaku teror?

Tanpa bermaksud bicara profil, tapi dalam konteks kampus, justru orang yang menjadi pelaku teror itu rata-rata orang umum yang cenderung berpikirnya positivis seperti mahasiswa-mahasiswa tehnik. Hal ini karena kecenderungan orang yang berlatar belakang teknik berpikirnya dalam logika angka sehingga ini berpengaruh dalam melihat dunia menjadi hitam-putih. Sulit menerima kompleksitas datau nuansa dalam kehidupan ini. Misalnya kalau pemerintah tidak berhukum Islam maka ia thaghut (dianggap lalim) dan oleh karena itu wajib dilawan. Pemikiran-pemikiran radikal seperti sangat utopis dan tidak nyata dalam kehidupan ini.  Saya bisa jadi salah. Tapi menurut hemat saya, Islam itu adalah bukan 5 + 5 = 10, tapi menjadi 10 itu bisa saja 9+1 atau 7+3 atau bahkan 2x5, dst. Artinya yang paling penting itu kita tetap di angka 10.  Meskipun demikian, yang puny acara pandang keras bahwa 10 itu harus 5+5 juga tidak usah dilarang. Kita kasih saja paparan alternative yang berbeda itu. Lagian inti dari agama itu kan akhlak. Perilaku bukan pada “performance” yang dibesar-besarkan.

Anda bisa memberi contoh?

Contoh yang mana? Yang dengan aspek budaya? Kita ambil contoh gerakan kelompok kanan. Mereka jualannya bukan to the point pada ideologi tapi pada praktik-praktik baik yang berbau kemanusiaan seperti aksi donor darah, berkorban, menolong anak yatim, dll. Semua tindakan-tindakan itu tidak salah dan sulit bagi negara melarangnya kan? Ya karena ini wilayah abu-abu. Nah, kalau negara mau serius menghadapi kelompok ini, negara harus hadir dengan sehadir-hadirnya. Tentu ini mudah diomongkan tapi susah dilaksanakan karena negara kita kan semuanya terbatas tapi masalahnya banyak sekali.

Oleh karena itu, negara wajib menggandeng masyarakat sipil untuk bergerak juga. Ajak masyarakat kita untuk tidak terlalu “inward looking” (berpikir hanya isu lokal) tapi harus “outward looking” (berpikir keluar) karena suka atau tidak kita ini hidup pada era globalisasi yang semuanya saling terkait. Kita sebagai bangsa jangan sampai hanya diperhatikan dunia hanya ketika ada terorisme saja. Atau dilirik karena hanya penduduknya yang besar sehingga potensi pasarnya besar.

Bagaimana mengajak mereka yang radikal untuk ikut kegiatan moderat?

Menjadi radikal itu ada masanya. Orang tidak bisa radikal terus. Kadang mereka ingin  juga pensiun dan mulai hidup baru menjadi moderat. Nah, untuk bisa berpindah dari satu jaringan sosial satu ke jaringan sosial yang lain itu tidaklah mudah. Kalau yang saya lakukan selama ini adalah memberikan jaringan sosial baru kepada mereka. Di dalam jaringan sosial baru ini mereka bisa mendapatkan apa yang ada di jaringan yang lama seperti perasaan diterima dan dianggap penting.

Siapa agen yang paling tepat untuk melakukan ini? Ya orang-orang yang pernah dalam jaringan radikal itu sendiri dan sekarang sudah memulai hidup baru. Orang yang paling tepat untuk mengajak orang berhenti merokok itu bukan seorang dokter yang tidak pernah merokok tapi justru mantan perokok yang sudah berhenti. Pada dasarnya, orang itu tidak ada yang suka disalah-salahkan apalagi kok digurui. Tapi dengan cara sharing dari hati ke hati orang bisa berubah.

Jika Anda ada di pemerintahan atau menjadi menteri pendidikan, dalam menghadapi fenomena radikalisme di kampus, langkah apa yang Anda ambil?

Saya tidak mau berandai-andai menjadi menteri karena itu bukan posisi yang tepat bagi saya.  Namun, saya membayangkan bahwa menghadapi radikalisme ini saya akan mengedepankan logika kemanusiaan. Maksudnya, ajak saja mereka yang radikal itu menyelesaikan masalah kemanusiaan bersama-sama. Misalnya mengajak mereka bekerja sama dengan kelompok berbeda membantu sebuah desa tertinggal di Papua atau proyek air bersih di sebuah wilayah kering di Nusa Tenggara atau maraknya isu trafficking, dll.  Di sinilah narasi-narasi radikal itu harus dibenturkan pada realita sosial yang pelik dan nyaris tidak bisa diselesaikan hanya oleh kelompok tertentu.

Dengan menyalurkan energi mahasiswa pada permasalah konkret itu memaksa mereka tidak lagi berpikir terkotak-kotak dalam sekat agama namun dalam keterampilan. Bagi anak-anak muda, menjadi radikal itu adalah bagian dari siklus kehidupan mereka. Saya dulu juga radikal, toh sekarang setelah menjadi bapak dari dua anak, maka pelan-pelan orientasi hidup saya berubah. Siapa sangka seorang Anies Baswedan yang dulu ketua HMI MPO sekarang menjadi gubernur Jakarta dan bisa jadi nanti malah jadi  presiden. HMI MPO adalah organisasi mahasiswa Islam yang pada era Suharto melakukan perlawanan dengan mempertahankan “Azas Islam”  dan menolak “Azas Tunggal Pancasila” yang diterapkan rezim waktu itu.