1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJepang

Apakah Jepang 'Xenofobia' Seperti Klaim Biden?

7 Mei 2024

Pernyataan Presiden AS Joe Biden yang menggambarkan Jepang sebagai negara 'xenofobia' baru-baru ini mendapat penolakan tidak hanya dari pemerintah Jepang, tapi juga warga nya. Apa yang dikatakan Biden sebenarnya?

WNA di Jepang
Sikap Jepang terhadap warga negara asing yang tinggal dan bekerja di negara tersebut selama ini banyak mendapat kritik.Foto: picture alliance/AP

Pemerintah Jepang telah menyatakan "kekecewaan" terhadap pernyataan Presiden AS Joe Biden baru-baru ini, yang menggambarkan Jepang sebagai "xenofobia" dalam hal kebijakan imigrasi.

Pada penggalangan dana kampanye pada malam tanggal 1 Mei, Biden menganggap Jepang, bersama dengan India, Cina, dan Rusia, sebagai negara yang "xenofobia" ketika ia mencoba membandingkan kondisi ekonomi negara-negara tersebut dengan kondisi ekonomi di AS yang merupakan negara imigran.

Melalui saluran diplomatik, Tokyo memberi tahu Gedung Putih bahwa pernyataan presiden tersebut tidak didasarkan pada "pemahaman yang akurat" terhadap kebijakan Jepang, lapor Kyodo News mengutip pernyataan seorang pejabat pemerintah. Banyak warga Jepang dan asing juga menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pilihan kata Biden.

Mereka menyebutkan Jepang memberikan izin masuk kepada lebih banyak pengungsi dibandingkan tahun lalu, wisatawan secara konsisten menerima sambutan hangat dan banyak warga negara asing yang berintegrasi ke dalam masyarakat Jepang.

Bagi warga negara lain, komentar tersebut memicu perenungan mengenai kebijakan Jepang terhadap pencari suaka, rendahnya jumlah pengungsi dan potensi diskriminasi terhadap warga negara asing.

Apa yang Joe Biden katakan?

Badai diplomatik ini dipicu ketika Biden berbicara di sebuah acara di sebuah hotel di Washington yang dihadiri oleh para pemilih keturunan Asia-Amerika. "Salah satu alasan mengapa perekonomian kita tumbuh adalah karena Anda dan banyak pihak lainnya,” kata Biden. "Kenapa? Karena kami menyambut imigran."

Ia menambahkan, "Dengar, pikirkanlah. Mengapa perekonomian Cina sangat terpuruk? Mengapa Jepang mengalami kesulitan? Mengapa Rusia? Mengapa India? Karena mereka xenofobia. Mereka tidak menginginkan imigran."

Banyak orang Jepang yang tetap menentang sejumlah besar warga negara asing untuk menetap di negara tersebut secara permanen.Foto: ZUMA Press/IMAGO

Pejabat Gedung Putih kemudian berusaha untuk mengecilkan masalah ini, dan juru bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengatakan kepada wartawan bahwa presiden telah menyoroti tradisi AS dalam menyambut imigran.

"Sekutu dan mitra kami tahu betul betapa presiden ini menghormati mereka,” tambahnya.

Selain pilihan kata-kata, banyak orang di Jepang yang kesal karena Biden menyamakan negara tersebut dengan Cina dan Rusia, dua negara yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan secara historis memiliki hubungan diplomatik yang tegang dengan Jepang.

Xenofobia 'terlalu keras'

Malcolm Adams, seorang warga Amerika keturunan Afrika yang telah tinggal di Jepang selama 48 tahun, mengatakan bahwa dia "dengan hormat tidak setuju dengan karakterisasi presiden terhadap Jepang sebagai xenofobia."

"Memang benar bahwa Jepang secara historis memiliki kebijakan imigrasi yang ketat, namun penting untuk mengakui langkah signifikan yang telah diambil negara tersebut dalam beberapa tahun terakhir dalam menyambut dan mengakomodasi pekerja asing,” katanya kepada DW.

Adams, 74 tahun, mengatakan Jepang menyadari bahwa mereka menghadapi krisis demografis berupa masyarakat menua di mana terlalu sedikit bayi yang dilahirkan dan negara ini membuka diri – secara bertahap – terhadap pekerja dari luar untuk memenuhi kekurangan tenaga kerja. Dia menambahkan bahwa dia merasa telah "dipeluk oleh masyarakat Jepang."

"Negara ini sedang berkembang, dan upayanya untuk mengatasi tantangan demografi harus dipuji, bukan dikritik.”

Ken Kato, pengusaha asal Tokyo, juga tidak setuju dengan ucapan presiden AS tersebut. "Tuduhan itu sama sekali tidak benar dan tidak adil,” ujarnya. "Menurut saya Jepang adalah salah satu negara yang paling ramah di dunia, dan hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Biden.”

Kato menunjukkan bahwa Jepang modern secara historis menyambut baik ide-ide asing, setelah membuka diri terhadap dunia luar melalui Restorasi Meiji pada tahun 1868.

Kebijakan diskriminatif di Jepang

"Menggeneralisasi bahwa seluruh Jepang adalah xenofobia atau tidak ramah terhadap warga negara asing sama sekali tidak berdasar,” kata Teppei Kasai, staf program Human Rights Watch di kantor Jepang.

Namun, ia mengakui bahwa "aspek tertentu” dari masyarakat di Jepang mungkin dianggap kurang menerima orang asing.

Ada laporan bahwa orang non-Jepang akan kesulitan untuk menyewa properti karena pemilik rumah di Jepang enggan menerima penyewa asing. Ada juga kasus hukum yang sedang berlangsung terhadap polisi atas tuduhan bahwa orang non-Jepang lebih sering dihentikan dan diinterogasi daripada orang Jepang.

Pemerintah dan pihak kepolisian dengan tegas menyangkal bahwa mereka secara aktif memilih orang asing untuk diinterogasi setelah seorang mantan inspektur yang berbasis di Jepang bagian barat menyebabkan keributan dengan menyatakan dalam sebuah wawancara pada bulan April dengan surat kabar Mainichi bahwa ia diberitahu untuk "menargetkan orang asing untuk diinterogasi." dan memeriksa kartu pendaftaran penduduk asing mereka."

Satu bulan dalam setahun ditetapkan untuk "menindak orang asing,” kata mantan perwira yang tidak disebutkan namanya itu, dan polisi diinstruksikan untuk "melakukan upaya ekstra dalam memeriksa kartu, tetapi juga menggeledah orang asing untuk mencari obat-obatan terlarang, pisau atau apa pun yang ilegal.”

"Penting untuk membedakan kebijakan pemerintah Jepang yang bermasalah dan apa yang dipikirkan masyarakat umum,” kata Kasai, merujuk pada survei pemerintah tahun 2020 yang menunjukkan bahwa 20% responden mengatakan mereka terbuka untuk menerima lebih banyak pengungsi dengan cara yang "proaktif”. Sebanyak 57% lainnya mengatakan mereka bersedia menerima lebih banyak pengungsi dengan "hati-hati”.

Mengubah sikap terhadap imigrasi di Jepang?

Namun, masuk ke Jepang terbukti menantang. Negara ini memberikan "rekor tertinggi 303 pencari suaka” status pengungsi dari 13.823 pemohon pada tahun 2023, The Japan Times melaporkan, mengutip angka dari laporan Kementerian Kehakiman baru-baru ini. Jumlah ini melonjak dari 202 orang yang diberikan status pengungsi pada tahun 2022.

Jepang juga menerapkan kebijakan yang dikritik oleh kelompok hak asasi manusia, seperti penahanan "tidak terbatas" atau berkepanjangan bagi migran yang meminta suaka dan deportasi.

Negara ini tetap menentang sejumlah besar warga negara asing yang menetap secara permanen. Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh surat kabar The Asahi Shimbun pada bulan April menunjukkan bahwa 62% masyarakat mendukung kebijakan pemerintah yang memberikan lebih banyak visa bagi pekerja terampil, naik secara signifikan dari hanya 44% pada jajak pendapat sebelumnya yang dilakukan pada tahun 2018. Namun, beberapa masyarakat masih menolak kebijakan imigrasi skala besar-besaran.

Sikap Kato sendiri nampaknya menunjukkan sikap umum Jepang terhadap "imigrasi tak terbatas".

"Kita melihat di televisi bahwa kebijakan tersebut tidak berjalan dengan baik di negara-negara lain, dan saya tidak yakin bahwa Jepang membutuhkan pekerja asing dalam jumlah besar karena dalam satu atau dua dekade, AI, robotika, dan teknologi lainnya akan berkembang sedemikian rupa sehingga mereka akan memecahkan masalah ketenagakerjaan,” kata pengusaha Tokyo itu.

"Saya tidak melihat ini sebagai xenofobia; ini hanya kebijakan yang masuk akal.” (rs/hp)

Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.
Lewatkan bagian berikutnya Topik terkait