Apakah Mesir Akan Bernasib Seperti Lebanon?
24 Januari 2023Setelah nilai pound Mesir anjlok, banyak warga Mesir yang sekarang harus lebih teliti berbelanja makanan, termasuk kalangan kelas menengahnya.
"Daripada membeli tiga kilogram beras saat berbelanja, kami hanya membeli satu atau setengah kilo,” jelas Ahmed Hassan, 40 tahun, seorang akuntan dan ayah tiga anak di Kairo. "Kami berusaha mengurangi pengeluaran. Sayangnya kami tidak bisa membatasi semuanya karena anak-anak kami membutuhkan hal-hal tertentu,” katanya kepada DW.
Mata uang Mesir telah terdevaluasi sekitar sepertiganya sejak akhir Oktober lalu, dan inflasi saat ini mencapai lebih dari 20%. Beberapa ekonom menduga, situasi sebenarnya bahkan lebih buruk lagi. Harga makanan sudah naik berlipat ganda, gaji dipotong setengahnya, dan bank membatasi berapa banyak uang tunai yang dapat ditarik dari rekening. Situasi ekonomi yang dialami banyak orang di Mesir saat ini terdengar sangat mirip dengan bencana krisis ekonomi yang dihadapi warga di Lebanon sejak 2019.
Di Lebanon, penduduk setempat yang putus asa telah merampok bank mereka sendiri hanya untuk menarik tabungan mereka, kota-kota gelap karena bahan bakar untuk pembangkit listrik telah habis dan kelas menengah terlilit utang. Situasi di Mesir belum separah itu, tapi makin banyak orang bertanya-tanya, apakah Mesir akan menjadi "Lebanon baru?"
Salah urus ekonomi
Pandemi telah menghancurkan pariwisata Mesir, salah satu penghasil uang besar di negara itu. Kemudian perang di Ukraina mengganggu pasokan gandum, padahal Mesir adalah importir gandum terbesar dunia.
Sejak 2014, pemerintah Mesir, yang dipimpin oleh Presiden Abdel Fattah el-Sissi, telah mendorong "proyek besar nasional", termasuk monorel tanpa pengemudi yang terpanjang di dunia dengan biaya USD23 miliar, pembangunan Ibu kota Administrasi Baru dekat Kairo senilai USD50 miliar.
Megaproyek secara artifisial telah mendorong pertumbuhan di negara ini. Banyak proyek juga terhubung dengan jaringan bisnis besar militer Mesir yang menghasilkan uang.
Perusahaan milik negara dan militer telah mendominasi ekonomi dan menekan sektor swasta. Investasi asing makin berkurang dan menjadikan negara itu lebih bergantung pada kredit asing untuk kelangsungan hidupnya. Mesir kini berutang lebih dari USD155 miliar. Kira-kira sepertiga dari pendapatan nasionalnya digunakan hanya untuk membayar angsuran utang luar negeri tersebut.
Baru-baru ini, semua faktor-faktor itu muncul bersamaan dan menempatkan Mesir "di ambang jurang keuangan dan ekonomi," tulis Rabah Arezki, mantan kepala ekonom di Wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara Bank Dunia, minggu lalu.
"Dua negara yang tidak bisa dibandingkan” begitu saja
sedikitnya 60% warga Mesir hidup dalam kemiskinan, atau mendekati garis kemiskinan. Belum lagi banyak politisi "tanpa perasaan memperkaya diri mereka sendiri dengan mengorbankan negara dan publik,” kata Timothy Kaldas, pakar ekonomi politik Mesir dan peneliti di Tahrir Institute for Middle East Policy (TIMEP).
"Tetapi meskipun ada beberapa kesamaan, Anda tidak dapat membuat perbandingan sederhana. "Mesir pada dasarnya berada dalam situasi yang jauh lebih stabil daripada Lebanon," lanjut Timothy Kaldas.
Untuk satu hal, ekonomi Mesir memiliki lebih banyak sumber uang potensial daripada Lebanon, kata Kaldas, seperti Terusan Suez, industri pariwisata, dan berbagai industri ekspor. Lebanon lebih bergantung pada kiriman uang dari komunitas di luar negeri. Sebelum krisis saat ini, seperempat pendapatan nasional Lebanon berasal dari transfer uang dari luar negeri. "Apalagi di Lebanon, mereka masih berjuang untuk memilih presiden baru."
Tapi mungkin perbedaan terbesar antara Mesir dan Lebanon adalah bahwa Mesir adalah negara besar. Dengan sekitar 107 juta penduduk, Mesir adalah negara terpadat di kawasan ini, dan memiliki militer paling kuat di Timur Tengah.
"Apa yang membuat Mesir beruntung, adalah pendukung eksternalnya lebih berkepentingan untuk kelangsungan hidup negara, terlepas dari seberapa buruk pengelolaannya," jelas Timothy Kaldas. "Saya benci mengatakan ini, tetapi dari perspektif pendukung eksternal, masalah Lebanon jauh lebih mudah dikelola dan diatasi, daripada jika terjadi di negara berpenduduk lebih dari 100 juta orang."
(hp/pkp)