Semakin banyak perempuan Eropa yang menggugurkan kandungan ketika mengetahui bayi yang akan dilahirkan menderita down syndrome. Apakah mereka berhak melakukannya?
Iklan
Di negara-negara di Eropa diperkirakan, sekitar sembilan puluh persen wanita memutuskan untuk melakukan aborsi, jika mereka diberitahu sedang mengandung bayi dengan down syndrome .
Dewasa ini merupakan hal yang rutin bagi perempuan hamil, terutama dikalangan perempuan berusia 30-an dan awal 40-an, memeriksakan kandungannya, untuk mengetahui apakah bayi yang dikandung menderita down syndrome atau tidak.
Teknologi kedokteran modern dengan mudah dapat mendeteksi apakan bayi yang akan dilahirkan menderita kelainan genetika pada kromosom 21. Lewat analisa darah, dapat diketahui probabilitas kelainan kromosom 21 pada embrio. Jika probalitasnya tinggi, calon ibu dapat memilih untuk melakukan tes cairan amnion atau ketuban untuk pemeriksaan yang lebih tepat.
Metode pemeriksaan non-invasif yang relatif baru ini jauh lebih tepat daripada tes sebelumnya, yang menggabungkan analisis darah dengan tes USG.
Dikatakan, ketersedian layanan tes modern itu telah menyebabkan peningkatan aborsi di kalangan perempuan hamil yang mengandung bayi yang mengidap kelainan genetik pada kromosom 21.
Teknologi Kedokteran Tingkatkan Aborsi?
Gert de Graaf dari Dutch Foundation Down Syndrome mengungkapkan, sebenarnya tren ini sudah muncul pada metode pemeriksaan sebelumnya yang jauh lebih rumit.
Pihak berwenang Belanda pada tahun 2003 memutuskan, setiap perempuan hamil harus diberitahu tentang pilihan pemeriksaan dini, menggunakan analisis darah gabungan dan tes ultrasonic. "Sejak itu lebih sedikit bayi dengan down syndrome yang dilahirkan", kata de Graaf.
Rumah Ini Lindungi Jabang Bayi yang Nyaris Diaborsi
Lanjut atau aborsi? Hingga kini persoalan itu jadi kontroversi. WHO mencatat, tiap tahun, terdapat sekitar 50 juta kasus aborsi di dunia. Di Bandung ada sebuah rumah yang menampung calon ibu yang hamil di luar keinginan.
Foto: Monique Rijkers
Mengenal Ruth
Jika terjadi kehamilan tidak diinginkan, aborsi terkadang menjadi pilihan. Padahal di Indonesia, aborsi adalah praktik ilegal. Aborsi di Indonesia dilarang kecuali ada kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, serta bagi korban perkosaan. Namun ada sebuah rumah bagi calon ibu yang tak menginginkan kehamilan. Namanya Rumah RUTH.
Foto: Monique Rijkers
Penggagas Ruth
Mencegah aborsi, Rumah RUTH (Rumah Tumbuh Harapan) sediakan tempat tinggal dan pendampingan bagi sang ibu yang alami kehamilan tak diinginkan. Ini pendiri rumah aman itu, namanya, Devi Soemarno. Rumah RUTH adalah yayasan nirlaba yang terbuka untuk siapa saja tanpa melihat latar belakang suku, agama, ras dan strata sosial serta masa lalu seseorang.
Foto: Monique Rijkers
Bumil mantan pecandu narkoba
Semua perempuan yang sedang hamil dan ingin aborsi, bisa tinggal di Rumah RUTH untuk meneruskan kehamilan hingga melahirkan tanpa dipungut biaya. Bayi yang dilahirkan akan dirawat dan disekolahkan. Ibu hamil yang juga korban narkotika seperti dalam foto ini juga dirawat di sini.
Foto: Monique Rijkers
Memperhatikan kondisi mental dan rohani sang calon ibu.
Sejumlah kehamilan terjadi akibat kekerasan seksual atau perkosaan. Akibatnya sang ibu akan mengalami konflik batin terhadap bayi yang dikandungnya. Rumah RUTH menyediakan pelayanan holistik bagi para ibu hamil. Untuk penguatan bathin, di sini mereka mendapatkan pelayanan iman sesuai dengan kepercayaannya masing-masing.
Foto: Monique Rijkers
Bumil ini masih sekolah
Ibu hamil dalam foto ini masih duduk di bangku kelas dua SMU. Penghuni Rumah RUTH termuda adalah murid kelas dua SMP. Keduanya sementara putus sekolah hingga selesai melahirkan. Semula mereka ingin aborsi. Secara mental, ibu muda masih dianggap belum mampu mengambil keputusan. Rumah RUTH menyarankan bayi para ibu muda dirawat oleh keluarga.
Foto: Monique Rijkers
Bayi dua pekan dan ibunya
Bayi perempuan ini lahir di Rumah RUTH. Dalam foto usianya masih dua pekan. Sang ibu memutuskan untuk aborsi karena sudah memiliki tiga anak. Rumah RUTH menyarankan sang ibu untuk meneruskan kehamilan dan bayi diadopsi oleh keluarga yang disetujui oleh pihak keluarga.
Foto: Monique Rijkers
Minum Susu
Bayi yang lahir di Rumah RUTH dan diserahkan untuk adopsi tidak diberikan ASI guna menghindari ikatan emosional. Hingga saat ini sudah 20 anak yang diadopsi oleh orang tua terseleksi dan mengikuti prosedur Rumah RUTH yang tidak membuka opsi memilih bayi dan berdasarkan daftar tunggu. Rumah RUTH bekerja sama dengan yayasan yang ditunjuk pemerintah terkait proses adopsi.
Foto: Monique Rijkers
Darimana rumah Ruth dapat informasi ibu yang hendak aborsi?
Sejak berdiri pada tahun 2011, Rumah RUTH menjadi saksi kelahiran 170 anak. Sebagian besar ibu hamil datang dalam kondisi bingung karena hamil di luar nikah, diusir keluarga atau ditipu pasangan yang sudah beristri. Rumah RUTH mendapat informasi pasien yang hendak aborsi dari laporan dokter.
Foto: Monique Rijkers
Hamil di usia muda
Menurut data situs Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2016, setiap tahun di Indonesia terdapat sekitar 1,7 juta kelahiran dari perempuan di bawah 24 tahun, sebagian merupakan kehamilan tidak diinginkan. Sejauh ini guna menghindari kehamilan tidak diinginkan, kontrasepsi menjadi pilihan.
Foto: Monique Rijkers
Boks Bayi
RUTH terdiri dari dua rumah, masing-masing untuk ibu hamil dan bayi. Saat ini ada beberapa bayi yang tinggal di Rumah RUTH. Juga ada ibu hamil, ibu baru melahirkan, serta ibu tunggal yang menyewa kamar sekaligus menitipkan anaknya saat bekerja. Rumah RUTH andalkan donatur untuk bantu biaya melahirkan, imunisasi dan saat sakit serta kebutuhan hidup ibu hamil dan bayi.
Foto: Monique Rijkers
Sukarelawan Rumah RUTH
Sejumlah orang menjadi sukarelawan untuk mengajarkan ketrampilan bagi para ibu hamil seperti menjahit, bahasa asing dan membuat kue. Hari itu para ibu hamil diajarkan membuat kue pisang beraroma kopi. Bekal ketrampilan ini agar para ibu bisa mandiri.
Foto: Monique Rijkers
Mengenal Charles dan Devy
Pengelola RUTH pasangan suami istri Devi Sumarno dan Charles Wong mengadopsi dua anak. Pasangan ini berasal dari keluarga sederhana. Bahkan saat ini Charles Wong harus menjalani cuci darah setiap minggu dan ada masalah pada jantungnya. Kasih mereka kepada para ibu hamil dan bayi yang dilahirkan mengalahkan kondisi mereka sendiri. (Penulis: Monique Rijkers/ap/vlz)
Foto: Monique Rijkers
12 foto1 | 12
Tapi De Graaf juga menunjukkan, masih banyak calon orangtua yang tidak ingin melakukan pemeriksaan ini, karena mereka tidak ingin tahu. Dan bagi mereka, down syndrome bukan alasan untuk aborsi.
Hanya sekitar sepertiga wanita hamil di Belanda memutuskan untuk melakukan pemeriksaan down syndrome. Dan setengah dari jumlah ini menggugurkan kandungan saat mereka mengetahui bahwa bayi dalam kandungan menderita down syndrome.
Dengan metode pemeriksaan yang lebih tepat, dikhawatirkan akan lebih banyak perempuan hamil yang akhirnya menggugurkan kandungan, jika mengetahui bahwa bayi akan lahir mengidap down syndrome.
Setiap Negara Berbeda
EUROCAT, pusat data untuk pengawasan Eropa terhadap anomali kongenital melaporkan, angka aborsi terkait down syndrome di Jerman mirip dengan di Belanda.
Di Jerman, sekitar 50 persen janin yang diduga mengidap down syndrome digugurkan. Menurut pengamatan, jumlah anak yang lahir dengan down syndrome tampaknya tergantung pada jumlah perempuan hamil yang melakukan pemeriksaan kromosom 21.
Di Denmark pemeriksaan down syndrome tidak dipungut biaya. Sekitar 90 persen permpuan hamil melakukan pemeriksaan. "Bahkan terdapat "tekanan sosial halus untuk melakukan pemeriksaan ini," papar de Graaf. Hasilnya, hampir tidak ada anak dengan down syndrome yang lahir di Denmark.
Situasinya sedikit berbeda di Amerika Serikat, di mana aborsi tidak diterima secara luas. Meski di AS aborsi itu legal, tetapi tetap menjadi isu yang kontroversial. Studi menunjukkan bahwa sekitar 67 persen perempuan hamil di AS memutuskan untuk melakukan aborsi jika bayi yang dikandung menderita kelainan kromosom 21.
Pembantaian Senyap Bayi Perempuan India
Seperlima dari 2,6 juta kasus keguguran kandungan di dunia terjadi di India. Fenomena itu dipicu oleh perilaku calon ibu yang gemar mengkonsumsi obat seleksi kelamin untuk mencegah kelahiran bayi perempuan
Foto: AP
Ketimpangan Gender
Seleksi kelamin dan aborsi selektif membuahkan rasio jender yang timpang di India. Menurut sensus penduduk teranyar 2011 silam, untuk setiap 1000 bocah laki-laki yang berusia hingga enam tahun, cuma terdapat 914 bocah perempuan. Di beberapa wilayah ketimpangannya bahkan lebih parah.
Foto: picture-alliance/dpa/M. F. Calvert
Hormon Pembunuh
Penggunaan obat seleksi kelamin alias SSD memicu tingginya angka keguguran kandungan. Obat-obatan yang dijual seharga 3 hingga 50 Dollar AS itu mengandung Phytoestrogens, sejenis hormon Estrogen, dalam dosis tinggi melewati batas aman. Menurut ilmuwan, hormon asing itu menggandakan potensi kerusakan dan gangguan pertumbuhan pada janin.
Foto: imago/Chromorange
Pertumbuhan Terhalang
SSD biasanya dikonsumsi selama masa kehamilan antara enam hingga sepuluh minggu ketika berbagai jenis organ pada janin mulai terbentuk. Gangguan pada masa kritis tersebut bisa berdampak fatal, terutama pada pertumbuhan organ reproduksi janin.
Foto: Getty Images/AFP/N. Nanu
Obsesi Jenis Kelamin
Diperkirakan sekitar 60% ibu di India yang memiliki anak pertama perempuan mengkonsumsi obat seleksi kelamin (SSD) untuk kandungan kedua. Menurut studi Public Health Foundation of India (PHFI), satu dari lima calon ibu yang mengkonsumsi SSD mengalami keguguran. Alasan yang sama berlaku buat seperempat ibu yang melahirkan bayi cacat.
Foto: Reuters/M. Mukherjee
Gendersida Mengakar
Studi PHFI juga menunjukkan penggunaan SSD tercatat pada calon ibu dari berbagai latar belakang perekonomian dan pendidikan. Fenomena tersebut tidak terbatas hanya pada masyarakat pedesaan saja. Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Lancet 2011 silam mencatat hingga 12 juta janin perempuan digugurkan antara tahun 1980 dan 2010.
Foto: Reuters/M. Mukherjee
Hak Hidup Janin
Sejak tahun lalu Perdana Menteri Narendra Modi melancarkan kampanye nasional untuk memerangi seleksi kelamin janin. Pemerintah antara lain memperketat larangan aborsi selektif dan praktik diagnosa janin perempuan. Sejak itu aparat pemerintah telah melakukan 35 razia terhadap penjual SSD dan dokter dalam 17 bulan terakhir.
Foto: Getty Images/AFP/D. Sarkar
Stigma Sosial
“Angka permintaan terhadap bayi laki-laki di masyarakat sedemikian tinggi, sehingga hukum dan perundang-undangan tidak akan banyak mengubah situasinya. Orang akan selalu bisa menemukan cara," kata Dr. Varun Aora dari Institut Ilmu Kedokteran di Rohtak kepada Guardian. "Tidak ada yang bisa dilakukan buat mengubah cara berpikir orang," imbuhnya.
Foto: AP
Hantu Masa Lalu
Masyarakat India masih mengemban tradisi kuno yang memprioritaskan laki-laki. Struktur sosial juga cenderung merugikan kaum hawa. Pengantin perempuan misalnya harus membayar mahar kepada keluarga pria. Selain itu anak perempuan jarang mendapat warisan tanah, meski India telah menggariskan persamaan hak waris antara jender sejak tahun 2005. Sebab itu anak perempuan dinilai mahal dan merugikan.
Foto: AP
Timpang di Negeri Jiran
Selain India, Cina juga memiliki masalah serius seleksi jender. Sensus tahun 2014 menunjukkan terdapat 116 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Saat ini tercatat Cina memiliki 33 juta laki-laki lebih banyak ketimbang perempuan. Selain kebijakan satu anak, penyebab lainnya adalah struktur sosial yang kerap menganaktirikan perempuan.
Foto: Mark Ralston/AFP/Getty Images
9 foto1 | 9
Keputusan untuk Aborsi
Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia, setiap tahun sekitar 3.000 hingga 5.000 anak lahir dengan kelainan kromosom 21. Dampak dari kelainan bawaan ini diantaranya adalah masalah pendengaran, jantung dan usus.
"Orangtua mungkin khawatir tentang masa depan anak dengan down syndrome", kata Florian Steger, ahli etika medis di Universitas Ulm, Jerman. Mereka mungkin khawatir tentang cara membesarkan anak mereka atau stigma dalam masyarakat.
Dalam beberapa dekade terakhir, harapan hidup di antara orang-orang dengan down syndrome telah meningkat secara dramatis. WHO mengatakan, sekitar 80 persen penderita down syndrome sekarang hidup sampai ulang tahun ke 50 atau bahkan lebih. Tetapi beberapa orang tua mungkin masih khawatir tentang siapa yang akan merawat anak mereka ketika mereka sendiri menjadi lebih tua atau meninggal.
Steger mengatakan, adalah hak setiap perempuan untuk memutuskan apakah akan memeriksakan kromosom 21, dan apakah ia akan melakukan aborsi atau tidak.
Namun Stege mengatakan, perempuan hamil juga memiliki tanggung jawab untuk mendapatkan informasi yang benar sehingga ia dapat membuat keputusan sendiri. "Tanpa membabi buta mengikuti saran orang lain, apakah itu saran dokter, ibunya atau dari orang lain," tandasnya.
Demi Pendidikan, Ibu Ini Pangku Bayi Saat Ujian Masuk Universitas
Di sebuah negara di mana sebagian besar perempuan buta huruf dan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua, seorang perempuan menggendong bayinya saat ujian masuk universitas. Fotonya viral di jejaring sosial.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kohsar
Saat sebuah foto mengundang perhatian
Petani Afganistan, Jahantab Ahmadi duduk di lantai, bayinya bersandar di pangkuannya. Ibu muda ini pada ujian masuk universitas yang ia harap akan membantunya memenuhi mimpinya. Foto itu diambil oleh seorang profesor di universitas swasta Nasir Khusraw di Afghanistan tengah. Gambar itu telah memicu luapan kekaguman dan tawaran bantuan keuangan untuk ibu berusia 25 tahun beranak tiga ini.
Foto: twitter.com/ChannelNewsAsia
Ingin jadi dokter
"Saya tidak ingin kehilangan studi saya," kata Ahmadi, yang berasal dari desa pertanian terpencil di provinsi Daikundi di mana gandum, jagung dan kentang memberikan penghasilan sedikit, katanya kepada AFP di Kabul. "Saya ingin bekerja di luar rumah. Saya ingin menjadi dokter, seseorang yang melayani para perempuan di komunitas atau masyarakat saya."
Foto: Getty Images/AFP/W. Kohsar
Dua jam jalan kaki plus 9 jam di angkot ke tempat ujian
Ahmadi lulus ujian setelah melakukan perjalanan yang sulit untuk mencapai ibukota provinsi Nili - dua jam berjalan kaki melalui pegunungan dan sembilan jam berkendara dengan angkutan umum di jalanan yang naik turun.
Foto: DW/N. Behzad
Mengumpulkan ongkos kuliah
Sebuah kampanye online GoFundMe yang diluncurkan oleh Asosiasi Pemuda Afganistan untuk membantu membayar biaya universitasnya sejauh ini telah mengumpulkan lebih dari 14.000 dollar AS. Jumlah yang cukup besar di sebuah negara di mana sekitar 39 persen penduduknya hidup dalam kemiskinan.
Foto: imago/Winfried Rothermel
Bayinya menderita sakit telinga
Pada awal tes, yang diadakan di luar ruangan, Ahmadi duduk di meja dengan Khizran di pangkuannya. Tetapi bayi itu menderita sakit telinga dan tidak mau berhenti menangis. Untuk membuatnya tenang dan tidak mengganggu orang lain, Ahmadi duduk di tanah dan terus menulis. "Saya harus berkonsentrasi pada bayi dan mengerjakan ujian," katanya.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kohsar
Dukungan berbagai pihak
Aktivis hak-hak perempuan Afghanistan Zahra Yagana menghubungi Ahmadi dan meyakinkannya datang ke Kabul untuk belajar. "Kami akan memberinya rumah (di Kabul). Ada banyak teman yang telah berjanji membantunya. Kami berusaha mencari pekerjaan untuk suaminya dan juga mengumpulkan uang untuk anak-anaknya sekolah." Bagi Ahmadi, ini adalah pemenuhan impiannya.
Foto: Getty Images/AFP/W. Kohsar
Tingkat buta aksara tinggi
Tingkat keaksaraan di Afghanistan adalah salah satu yang terendah di dunia - hanya 36 persen orang yang bisa membaca, demikian menurut angka resmi. Angka ini jauh lebih rendah untuk perempuan. Ed: ap/vlz (afp,channelnewsasia)
Foto: Getty Images/AFP/M. Hossaini
7 foto1 | 7
De Graaf juga mengatakan ia berharap lebih banyak orang akan mendapat informasi yang lebih baik tentang down syndrome dan kehidupan dengan seorang anak yang lahir dengan kelainan kromosom tersebut.
"Down syndrome bukanlah bencana seperti yang orang kira," dikatakan De Graaf. "Saya tidak akan menganggapnya sebagai alasan untuk aborsi." Tapi, ditambahkannya, ini adalah keputusan yang harus dibuat oleh masing-masing individu.
Peluang memiliki anak dengan down syndrome adalah sekitar 1 berbanding 200. Perempuan hamil di atas usia 30 memiliki risiko yang jauh lebih tinggi daripada calon ibu yang lebih muda.
Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, jumlah bayi yang lahir dengan down syndrome antara 1979 dan 2003 meningkat sekitar 30 persen.
Hal ini mungkin karena berkaitan dengan fakta bahwa banyak perempuan yang memutuskan untuk memiliki bayi setelah melewati usia 30. Dan mungkin itulah mengapa lebih banyak perempuan hamil yang merasa perlu untuk memeriksakan kromosom 21. Dampaknya, juga lebih banyak perempuan yang melakukan aborsi.
Aborsi di Argentina – Menentang Tabu
Presiden Argentina Alberto Fernandez ajukan undang-undang (RUU) yang melegalkan aborsi ke kongres. Dulu karena ilegal, beberapa perempuan yang terpaksa menggugurkan kandungan, melakukannya sendiri dengan nekad.
Foto: Lisa Franz, Guadalupe Gómez Verdi, Léa Meurice
Pria menderita juga
Aborsi bukan hanya masalah perempuan, sebagai karya yang ditunjukkan fotografer Lisa Franz, Guadalupe Gomez Verdi dan Lea Meurice. Pedro, 24 tahun, mendukung keputusan pacarnya untuk melakukan aborsi pada tahun 2012. Dia tidak bisa berbicara dengan teman-temannya tentang hal itu. "Kami merasa seperti penjahat."
Foto: Lisa Franz, Guadalupe Gómez Verdi, Léa Meurice
Untuk kebebasan pribadi
Dulu meski dilarang, setiap tahun sekitar setengah juta perempuan menjalani prosedur, seperti yang dilakukan Camilla. Setelah aborsi, dia membuat tato di lehernya, dengan tulisan: "Libertad ", yang artinya: kebebasan.
Foto: Goméz Verdi, Franz, Meurice
Aborsi di Tahun Baru
Mara, dulu hamil pada usia 21 tahun. Keluarga pacarnya mengancam, "Jika kamu melakukan aborsi, kami akan melaporkanmu." Tapi kemudian, pacarnya meninggalkan dia dalam keadaan berbadan dua. Setelah hampir hamil 12 minggu, dia menceritakan nasibnya pada ibunya dan melakukan aborsi di klinik ilegal, pada Malam Tahun Baru 2002.
Foto: Lisa Franz, Guadalupe Gómez Verdi, Léa Meurice
Aborsi di rumah
Gantungan baju, jarum rajut, pukulan di perut - kurangnya informasi dan tidak ada pilihan lain menyebabkan banyak perempuan nekad melakukan aborsi sendiri. Hal ini sering berakibat fatal.
Foto: Lisa Franz, Guadalupe Gómez Verdi, Léa Meurice
100 kematian setiap tahun
Menurut data dari Departemen Kesehatan Argentina, setiap tahun antara 60.000 dan 80.000 perempuan dengan komplikasi akut dan perdarahan akibat aborsi, dirawat di rumah sakit dan diinapkan dalam apa yang disebut "kamar syok". Sekitar 100 perempuan meninggal dunia akibat luka atau prosedur aborsi Yang salah. Kasus-kasus seperti ini sangat umum di daerah-daerah termiskin di negara itu.
Foto: Lisa Franz, Guadalupe Gómez Verdi, Léa Meurice
Aborsi untuk dua puluh juta
Bisnis aborsi ilegal berkembang. Dokter memungut biaya sekitar 20 juta Rupiah untuk prosedur ilegal ini. Salah satu kritikus dari praktik ilegal ini adalah ahli bedah German Cardoso--anggota asosiasi yang dokter Argentina. Ia berkomitmen untuk melegalkan aborsi. Dia sendiri melakukan prosedur itu. Biayanya bervariasi, disesuaikan dengan pendapatan pasien.
Foto: Lisa Franz, Guadalupe Gómez Verdi, Léa Meurice
Bantuan dari perempuan untuk perempuan
"Ambil rosario Anda keluar dari indung telur kita! " demikian tuntut asosiasi perempuan Argentina "La Revuelta", salah satu dari banyak LSM yang memperjuangkan legalisasi aborsi. Di provinsi Patagonian dari Neuquen, mereka memberi nasihat dan menemani perempuan yang ingin melakukan aborsi.
Foto: Lisa Franz, Guadalupe Gómez Verdi, Léa Meurice
Tidak ada pedoman
Eluney, 21 tahun usianya. Gadis dari Neuquenini ditemani oleh badan amal La Revuelta ketika terpaksa melakukan aborsi. "Saya ingin memutuskan sendiri kapan harus menjadi seorang ibu," katanya. Namun, jika aborsi kimia tidak dilakukan dengan benar, maka bisa berbahaya. Dokter sering menjual obat tanpa informasi tentang bagaimana obat-obatan itu harus digunakan.
Foto: Lisa Franz, Guadalupe Gómez Verdi, Léa Meurice
Aborsi di Penjara
Terpaksa bekerja sebagai pelacur, Sonia Sanchez lima kali aborsi - semua dilakukan di penjara. Dia ditahan untuk kasus ‘prostitusi ilegal". Ia dihamili oleh pelanggan yang membayar pemilik rumah bordil untuk melakukan seks tanpa kondom. Pada tahun 2012, aborsi dilegalkan, khusus untuk kasus pemerkosaan atau jika mengancam nyawa perempuan hamil.
Foto: Lisa Franz, Guadalupe Gómez Verdi, Léa Meurice
Dalam keheningan
"Ini tubuh saya," kata Monica. Fotografer Lisa Franz, Guadalupe Gomez Verdi dan Lea Meurice ingin menggunakan proyek foto mereka untuk memecah keheningan persoalan aborsi di Argentina, hal yang selama ini tabu untuk dibicarakan.
Foto: Lisa Franz, Guadalupe Gómez Verdi, Léa Meurice