1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lomba Vaksin Corona AS–Cina Berkaitan dengan Geopolitik?

Wesley Rahn
23 Juni 2020

Menemukan vaksin corona lebih dulu bagi Cina akan menjadi kesempatan bagi citra globalnya sebagai pemimpin teknologi. Sementara di AS, penemuan vaksin dapat membantu kampanye pemilihan kembali Presiden AS Donald Trump.

Symbolbild Corona-Virus Impfstoff
Foto: picture-alliance/dpa/Geisler-Fotopress

Persaingan Amerika Serikat dan Cina yang semakin menarik perhatian internasional. Kepentingan politik akan didahulukan dibanding kesehatan masyarakat, jika salah satu dari kedua negara tersebut berhasil merilis vaksin yang efektif untuk SARS-CoV-2.

Pihak pengembang dari AS dan Cina saat ini memiliki kandidat vaksin paling banyak yang diuji coba kepada manusia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setidaknya ada delapan kandidat vaksin yang lebih unggul dalam fase dua evaluasi klinis.

Empat di antaranya sedang dikembangkan oleh lembaga penelitian Cina dan dua oleh perusahaan biotek dan farmasi yang berbasis di AS. Kandidat vaksin terkemuka lain dari Oxford University / AstraZeneca di Inggris memiliki investasi € 1,07 miliar atau setara Rp 16 triliun, dan raksasa farmasi AS Pfizer bekerja sama dengan BioNTech Jerman untuk mengembangkan kandidat yang sedang dalam uji coba fase dua.

"Mengingat bahwa pandemi telah dikemas dalam kompetisi geopolitik antara AS dan Cina, menjadi yang pertama untuk mengembangkan vaksin yang aman dan efektif dapat membawa beberapa manfaat bagi 'pemenang' perlombaan vaksin," kata David Fidler, seorang spesialis keamanan siber dan pakar kesehatan global di Dewan Hubungan Luar Negeri AS.

AS 'Warp Speed' lebih maju

Rencana AS adalah mengucurkan € 8,92 miliar atau sekitar Rp 142 triliun untuk tujuan penelitian, pembuatan, dan perjanjian pembelian dalam kampanye yang dijuluki "Operation Warp Speed."

Langkah ini termasuk di dalamnya ada enam perusahaan farmasi utama AS, dan AstraZeneca, dengan tujuan memiliki setidaknya 300 juta dosis vaksin pada Januari mendatang.

Pada sidang Komite Angkatan Bersenjata Senat pekan lalu, Jenderal Gustave Perna mengatakan AS akan bersedia bekerja dengan "negara mana pun yang menawarkan kerja sama atau informasi yang relevan terkait pengembangan vaksin," terkecuali Cina.

Tahapan pengembangan vaksin

Saat ini yang menjadi ujung tombak di AS adalah perusahaan biotek Moderna yang berbasis di Cambridge, Massachusetts. Moderna, sebuah perusahaan bioteknologi AS pertama yang meluncurkan uji coba manusia pada bulan Maret, dan mengumumkan hasil yang positif pada pertengahan Mei, ketika vaksin menghasilkan antibodi dalam ukuran sampel kecil dengan efek samping minimal, menurut siaran pers. CEO-nya memperkirakan produksi bisa dimulai pada Juli mendatang.

Seminggu setelah Moderna membagikan hasilnya pada bulan Mei, agen-agen intelijen AS memperingatkan para peretas yang berbasis di Cina yang berusaha mencuri data penelitian dan kekayaan intelektual di AS terkait dengan penelitian vaksin.

Namun mereka tidak memberikan bukti apa pun, dan dua minggu lalu Cina angkat bicara setelah seorang senator AS menggemakan tuduhan tersebut dalam sebuah wawancara TV.

Jika "Cina mencoba menyabotase negara-negara barat dalam pengembangan vaksin, maka tolong biarkan mereka menyajikan bukti. Tidak perlu malu," kata seorang juru bicara kementerian luar negeri Cina.

Vaksin dibuat di Cina

Sebagai sumber wabah SARS-CoV-2, Cina adalah negara pertama yang memetakan genom virus pada Januari. Pengembangan vaksin di Cina digambarkan sebagai "pertempuran".

Kandidat paling terkenal adalah perusahaan bioteknologi CanSino, bekerja sama dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Militer Cina. Saat ini vaksin dalam uji coba fase dua dengan 500 objek di sebuah rumah sakit di Wuhan. Fase pertama CanSino pada bulan Maret juga membuahkan hasil yang menunjukkan produksi antibodi dengan efek samping minimal.

Dan minggu ini, kandidat Cina lainnya, Sinovac, menunjukkan komitmennya dalam uji coba pendahuluan dengan 743 sukarelawan sehat.

Cooperation vs. competition for a vaccine?

12:05

This browser does not support the video element.

Chang Lung-Ji, Presiden Shenzhen Geno-Immune Medical Institute, sebuah laboratorium Cina yang mengerjakan kandidat vaksin, mengatakan kepada DW bahwa keahlian Cina dalam kedokteran molekuler berarti dapat "melampaui AS dalam perlombaan vaksin COVID-19."

"Namun, masih perlu mengimpor banyak bahan berteknologi tinggi dari negara lain, produksi massal vaksin masih membutuhkan dukungan negara lain," tambahnya.

Vaksin dunia?

Presiden Cina Xi Jinping telah berusaha membangun dukungan internasional untuk vaksin buatan Cina, dan ia berjanji pada pertemuan puncak WHO bulan Mei lalu untuk membagikan vaksin Cina sebagai "barang publik global."

Cina juga telah menunjuk AS untuk tidak menandatangani resolusi WHO yang menyatakan bahwa vaksin SARS-CoV-2 harus memiliki distribusi yang adil dan setara.

Kepala National Institutes of Health, badan kesehatan masyarakat AS yang terlibat dalam pengembangan vaksin, mengatakan bahwa ia setuju vaksin harus didistribusikan di seluruh dunia.

Namun, tidak satu pun negara berkewajiban untuk berbagi, dan permintaan domestik jelas melebihi permintaan kepentingan politik untuk keadilan global.

"Pemenang" juga akan berkewajiban untuk mengatasi keseimbangan politik yang rapuh antara permintaan vaksin dalam negeri yang sangat besar dan kebutuhan akan akses global yang adil, menurut Fidler.

"Setiap vaksin yang aman dan efektif akan memberikan AS atau Cina kemampuan untuk membuatnya tersedia dengan cara melayani kepentingan nasional masing-masing," katanya, seraya menambahkan bahwa negara-negara berpenghasilan rendah memiliki cukup pengalaman untuk mengenali bahwa akses vaksin AS atau Cina akan dibarengi dengan ikatan politik.

"Bagaimana ini berlangsung benar-benar tidak jelas karena kita belum mengalami konteks di mana vaksin untuk pandemi memiliki keterkaitan dengan geopolitik," kata Fidler.

Nasionalisme vaksin?

Pakar kesehatan masyarakat di Harvard Medical School memperingatkan dalam sebuah artikel baru-baru ini bahwa "nasionalisme vaksin," atau pendekatan "negara yang pertama" dalam distribusi vaksin adalah cara yang salah untuk mengurangi transmisi global SARS-CoV-2, karena negara-negara tanpa akses ke vaksin mengancam penyebaran virus.

"Mengingat sebagian besar proyek vaksin di berbagai negara dan benua, kami tidak mengharapkan konflik distribusi global. Sebaliknya, kami berharap bahwa vaksinasi terhadap COVID-19 dapat dimulai di banyak negara secara bersamaan," Han Steutel, Presiden Asosiasi Perusahaan Farmasi Berbasis Riset Jerman (vfa), mengatakan kepada DW.

"Tidak terlalu penting perusahaan atau kemitraan publik-swasta mana yang pertama kali mendapatkan persetujuan untuk vaksinnya dan dari negara mana itu berasal," kata Steutel.

"Lebih penting bahwa seluruh jajaran vaksin disetujui dan diproduksi tepat waktu, karena ini adalah satu-satunya cara untuk memenuhi permintaan global." (ha/vlz/pkp)