1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Arab Palestina dan Adania Shibli si Penyangkal (Bagian 2)

Ben Sohib indonesischer Blogger
Ben Sohib
1 Februari 2020

Begitu banyak kesalahpahaman yang menyelimuti Palestina-Israel. Implikasinya ke segala penjuru. Di Indonesia, para politisi biasa memanfaatkan sentimen primordial semacam itu demi kekuasaan. Opini ben Sohib.

Foto: Reuters/Ilan Bruner/Courtesy of Government Press Office

Pada tanggal 19 Juli 2018, pemerintah Israel—dipimpin koalisi nasionalis sayap kanan dan agama—mengesahkan undang-undang baru yang dikenal sebagai "Undang-undang Kebangsaan”.

Undang-undang ini bukan hanya merumuskan Israel sebagai negara-bangsa orang Yahudi dan melancarkan pembangunan pemukiman etnis Yahudi di seluruh negeri sebagai prioritas nasional, namun juga melucuti bahasa Arab dari kedudukannya sebagai bahasa resmi di Israel/Palestina di samping bahasa Ibrani, dengan cara menurunkan derajadnya menjadi "status khusus”.

Sebaliknya, Edward Said dalam memoarnya "Out of Place” (1999) mengenang status yang dinikmati bahasa Arab di Palestina, dan itu berarti dalam hidupnya sendiri, sebelum terbentuknya negara Israel pada 1948.

Said yang tinggal di Yerusalem dan menempuh tahun pertama sekolahnya di sana, menulis: ”Percakapan kami sehari-hari di sekolah dan di rumah sepenuhnya berbahasa Arab; tak seperti di Kairo di mana bahasa Inggris digalakkan, keluarga kami di Yerusalem membumi dan bahasa asli kami merata di mana-mana.”

Penulis: Ben SohibFoto: Privat

Dalam memoarnya itu, sampai taraf tertentu, Said menguak dampak kebungkaman dan aleniasi linguistik pada pembentukan pemikiran dan tulisannya, di mana pengetahuan bahasa Arab, pengetahuan mengenai sejarah Arab, kebudayaan, dan geografinya dimarjinalkan. Dengan kata lain, tulisan-tulisannya sebagian berasal dari perasaan langsung mengenai aleniasi dan ketiadaan yang harus ia pikul.

Kurang lebih satu dasawarsa sebelum berbagi renungan personalnya tentang bahasa Arab di Out of Space, ia menulis dalam esai berjudul "Goodbay to Mahfooz” (1988): Karena dari semua bahasa dan kesusastraan besar, sastra Arab lah yang sejauh ini paling kurang dikenali dan disambut dengan paling ogah-ogahan oleh orang Eropa dan Amerika; sebuah ironi besar mengingat bahwa seluruh orang Arab menganggap nilai sastrawi dan kultural yang sangat besar dari bahasa mereka merupakan salah satu sumbangsih utama mereka kepada dunia.

Bahasa Arab juga menempati posisi yang dipertentangkan dengan unik dalam kebudayaan modern: dibela dan disanjung oleh para penulis dan penutur aslinya, namun dikecilkan, dikecam, atau diabaikan oleh orang-orang asing yang menganggap bahasa itu mewakili benteng pertahanan terakhir Arabisme dan Islam.

Berdasarkan pengalaman

Pada saat yang sama, kebungkaman bukanlah selalu merupakan akibat dari kebijakan yang dipaksakan langsung oleh penjajah. Kadang ia bermula dari pengalamanan si terjajah menjadi korban, atau paling tidak menjadi saksi mata atas satu kejahatan yang diperbuat sang penjajah.

Kritikus sastra Al-Naqqash dan Abu Shawer menegaskan bahwa masa-masa pasca Nakba 1948 secara khusus telah mengguncang para penulis Palestina ke dalam kebingungan yang mencengangkan, mendorong banyak penulis ke dalam kebungkaman selama beberapa tahun (Khaled Mattawa: When the Poet Is a Stranger, 2011).

Karena penindasan politik dan ketakjuban sesudahya masih terus berlanjut di masa depan, kondisi yang mendorong ke kebungkaman dengan demikian masih akan terus ada. Ini terlihat nyata dari pengalaman penyair Mahmoud Darwish, misalnya, selama Beirut dikepung militer Israel pada 1982. Di Beirut, Darwish tinggal sesudah terpaksa eksil dari Palestina satu setengah dekade sebelumnya.

Dalam pertemuannya dengan seorang wartawan Amerika, yang ia kutip dalam memoarnya Memory for Forgetfulness (1982), tercetuslah percakapan sebagai berikut:

Apa yang sedang Anda tulis sekarang, Tuan Penyair?

Aku sedang menuliskan kebungkamanku

Dan kapan Anda akan kembali menulis puisi?

Setelah senapan-senapan itu terdiam sejenak, barulah aku bisa meledakkan kebungkamanku yang terisi dengan semua suara ini.

Dengan demikian, bagi mereka yang hidup di bawah kuasa kolonial atau dalam eksil, kebungkaman juga berfungsi sebagai pernyataan dari sebuah keputusan sadar untuk tidak mau terlibat dialog dengan si penjajah atau elite penguasa.

Dengan menolak bicara, menarik diri ke kebungkaman, orang berhasil bertahan dari tarikan untuk menjadi mitra dialog dalam wacana sang penguasa, dan menolak ikut mengusung logika ataupun memakai perangkat serta metode linguistiknya.

Kebungkaman: dampak penindasan atas perangkat perlawanan?

Singkat cerita, kebungkaman bukan sekadar dampak penindasan, melainkan perangkat perlawanan. "Aku berusaha mengekspresikan diri dalam suatu modus kehidupan atau kesenian sebebas yang aku bisa dan seutuh yang aku mampu, memanfaatkannya sebagai pertahananku, satu-satunya senjata yang kuperkenankan diriku memakainnya—kebungkaman, eksil, kecerdikan”, ujar Stephen Dadulus, tokoh utama novel A Potrait of the Artist as a Young Man karya James Joyce yang dikutip Edward Said.

Melalui penuturan Adania Shibli, sesungguhnya kita bisa menangkap suara Palestina yang berbeda dari yang selama ini sering kita temui. Kita mendengarkan kisah penderitaan Palestina seperti sedang menyimak cerita tentang sebuah puisi indah yang dipaksa untuk dihapus.

Tidak seperti yang  selalu ditampilkan kelompok Islamis yang dengan semangat identitas keagamaannya begitu bersemangat membela Palestina, dan juga oleh sebagian kaum sekuler dan atau non-muslim yang cenderung pro-Israel sebagai antitesa dari sikap golongan Islamis, malam itu Palestina berdiri dalam wujud seorang perempuan muda yang tak berjilbab sehingga kita tak tahu (dan tak perlu tahu) apa agamanya.

Tidak serupa kaum Islamis yang berteriak-teriak jihad mengunggulkan segala yang Arab dan menampakkan kebencian pada ras Yahudi, dan pula tidak sebagaimana kaum sekuler dan sebagian non-muslim yang merendahkan semua yang berbau Arab lantaran diasosiakan dengan Islamisme dan Arabisme (terutama unsur Wahabisme dan Arab Saudi, yang lucunya sangat dekat dengan Israel), malam itu Palestina berpuisi dan mengoyak gambaran yang diciptakan kedua belah pihak.

Malam itu Arab Palestina melukiskan dirinya sendiri dengan warna-warni aslinya: Islam, Kristen, sekuler, liberal, komunis, atheis, dan lain-lain. Palestina mengabarkan bahwa sekarang mereka sedang menghadapi pendudukan sebuah rezim politik bernama Zionisme, alih-alih oleh sebuah entitas ras atau agama Yahudi seperti yang sering disalahpahami selama ini.

Malam itu Palestina tidak berbicara tentang kebencian satu etnis atas etnis lainnya, atau peperangan antara satu agama melawan agama lainnya, sebagaimana yang terkonstruksi secara luas di benak sebagian besar masyarakat dunia.

Menjadi terang bahwa menentang rezim Israel (yang sering kali terbentuk dari koalisi nasionalis kanan dan fundamentalis Yahudi; sesuatu yang konon ditentang pengusung sekularisme) bukanlah sebuah sikap antisemitisme dan bahwa membela Palestina tidak sebangun dengan mendukung Islamisme.

Begitu banyak kesalahpahaman yang menyelimuti Arab Palestina. Ia ditolak lantaran dianggap bersekutu dengan Islamis, dan didukung karena dikaitkan dengan identitas keagamaan (Islam). Kesalahpahaman yang datang dari banyak arah itu, berimplikasi ke segala penjuru. Bahkan, di Indonesia misalnya, para politisi biasa memanfaatkan sentimen primordial semacam itu demi kepentingan perolehan kekuasaan mereka.

Dalam aksi-aksi unjuk rasa partai Islamis dan para patronnya; ormas-ormas Islam kanan, bendera Palestina hampir selalu ikut dikibarkan, meski sudah ada suara keberatan dari pihak kedutaan besar Palestina di Jakarta.

Betapa banyak paradoks yang saling mengiris antara satu kelompok dan kelompok lainnya dalam memahami dan menyikapi masalah Palestina. Kaum Islamis membela Palestina yang dilihat sebagai bangsa yang terzalimi tapi pada saat yang sama menebar kebencian rasial kepada Yahudi sekeji para perwira NAZI.

Sementara kelompok yang berseberangan dengan Islamis, mengecam antisemit sebagai rasisme namun bergeming melihat penghinaan dan pengusiran yang dialami jutaan orang Arab Palestina.

Berbagai kesalahpahaman dan paradoks lainnya, berkelindan sedemikian rupa sehingga mengaburkan isu Palestina yang sesungguhnya: kemanusiaan yang sedang dicederai.

Dan malam itu, "pagar" (yang juga merupakan tema JILF 2019) yang membatasi pandangan banyak orang dalam melihat kasus Palestina—dan tentu berimplikasi pada persoalan kemanusiaan lainnya—tengah diupayakan digeser dan diletakkan di atas batas-batas baru; batas yang memberi ruang pandang lebih luas agar menjadi sama benderang pada semua sisinya.

Penulis: Ben Sohib, sastrawan, penerima program Residensi Penulis Kemendikbud di Belanda.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis