1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Arab Saudi : Kontradiksi Sahabat Barat dan Pendukung Teroris

Rebecca May 13 Februari 2013

Arab Saudi ingin jadi mitra terpercaya barat, akan tetapi negara-negara di Timur Tengah dituding terus mendukung kelompok teroris. Selain itu, di negara-negara Arab benturan kepentingan juga amat mencolok.

US President Barack Obama (R) and Saudi King Abdullah speak to the media after their meeting in the Oval Office of the White House in Washington DC, USA, on June 29, 2010. EPA/ROGER L. WOLLENBERG
Foto: picture-alliance/dpa

Arab Saudi bagi orang luar merupakan negara yang penuh kontradiksi. Negara dimana perempuan berburka, berbelanja celana jeans ketat di butik mewah. Atau di gedung pengadilan mewah bergaya futuristis, para hakim masih memutuskan hukuman cambuk.

Arab Saudi menetapkan Islam Wahabi sebagai agama negara. Sebagian warga dengan alasan membela agama, bahkan mendukung kelompok teroris Islamis yang melawan nilai-nilai barat dengan cara kekerasan.

"Jika dianggap itu sesuai akidah, kelompok suku atau juga orang kaya mendukung kelompok teroris dengan kucuran uang", kata Henner Fürtig, direktur kajian Timur Tengah Institut GIGA.

Laporan kementrian luar negeri Amerika Serikat yang dibocorkan Wikileaks menyebutkan, kelompok teroris Al Qaida memperoleh dukungan uang paling besar dari Arab Saudi. Al Qaida diperkirakan mengumpulkan uang jutaan US Dollar setiap tahunnya dari sumber-sumber di Arab Saudi. Kebanyakan diraup saat musim Haji atau selama bulan Ramadhan, demikian dokumen rahasia itu.

Pemerintah Arab saudi disebutkan memang berusaha memutus kontak antara kelompok Al Qaida dengan donor di negaranya. Akan tetapi kucuran uang kepada kelompok militan Islamis seperti Taliban di Afghanistan atau kelompok lainnya tidak banyak disentuh.

Perempuan warga Arab Saudi diiringi pembantu asal Asia berbelanja di Shopping Mall mewah.Foto: Patrick Baz/AFP/Getty Images

Fürtig memperkirakan, situasi di istana kerajaan Arab Saudi tidak mudah. "Dalam sejumlah kasus, kerajaan terlihat tidak menghendaki hambatan kucuran uang kepada kelompok teroris. Sementara dalam kasus lainnyxa, kerajaan tidak bisa mencegahnya." Negara itu ibaratnya terjepit diantara pilihan sulit, karena di sisi lain Arab Saudi adalah mitra terpecaya negara-negara barat.

Investasi Saudi di AS

Namun negara barat terkemuka seperti Amerika Serikat tetap menghormati Arab Saudi, walaupun diketahui menjalin hubungan dengan kelompok teroris.

"Di satu sisi, Arab Saudi merupakan negara minyak paling kaya di kawasan Timur Tengah", papar  Fürtig dalam perbincangan dengan Deutsche Welle. Di sisi lainnya, kerajaan Arab Saudi sejak 1945 merupakan mitra barat yang paling dapat diandalkan di kawasan itu.

Arab Saudi tergolong stabil, jarang ganti pemerintahan dan nyaris tidak ada kelompok pembangkang. Selain itu, negara ini juga mendukung penguasa otoriter lain di negara tetangga, yang membuat kawasan juga stabil.

Posisi Arab Saudi juga amat strategis di kawasan Teluk, dalam artian dekat ke negara-negara sarang teroris seperti Yaman atau Pakistan. Amerika Serikat memanfaatkan seluruh keunggulan Arab Saudi ini dan menempatkan pangkalan pesawat tak berawak bersenjata, yang bisa dikerahkan membunuh teroris di negara-negara tetangga itu.

 

Kekayaan minyak dan stabilitas pemerintahan di Arab Saudi memicu kepentingan barat.Foto: dpa

"Selain itu Amerika Serikat juga tidak bisa merecoki urusan dalam negeri Arab Saudi, karena negara kaya minyak ini menginvestasikan lebih 600 milyar US Dollar di AS", tambah Fürtig.

Karena itu dalam waktu bersamaan Arab Saudi juga berkepentingan agar ekonomi Amerika tetap bagus, dan tidak diguncang serangan teror sekelas 11 September 2001. Walaupun realitanya, 15 dari 19 pelaku serangan 11 September justru berasal dari Arab Saudi.

Hubungan baik kerajaan Saudi dengan Amerika memang tidak diterima begitu saja oleh seluruh warga, tapi hubungan itu juga diterima sebagai realita. "AS memang tidak disukai mayoritas warga Saudi, tapi tidak jadi masalah bagi politik luar negeri pemerintah", kata pakar politik F. Gregory Gause dari "Brookings Institution"  sebuah lembaga tangki pemikir di Washington dalam wawancara dengan Deutsche Welle.

Sejauh ini pemerintahan dari Raja Abdullah selalu mempresentasikan diri sebagai terbuka dan maju. Saat raja bertemu Paus Benediktus XVI pada 2007, hal itu menjadi sejarah besar, karena untuk pertama kalinya seorang raja Saudi menerimat kunjungan Paus. Pertemuan ini menegaskan : Arab Saudi juga toleran terhadap agama lain.

Pelanggaran hak asasi

Namun hal itu hanyalah propaganda ke luar. Di dalam negeri pelanggaran hak asasi dan intoleransi tetap marak. Amnesty International dalam laporan tahunannya menulis: "Pengadilan tetap memutuskan vonis yang merendahkan martabat manusia, seperti hukuman cambuk, yang dilaksanakan secara terbuka."

Hukum pancung terhadap pembantu perempuan asal Sri Lanka picu gelombang protes dan kemerahan.Foto: Ishara S.KODIKARA/AFP/Getty Images

Perempuan dalam kehidupan keseharian maupun di mata hukum tetap mengalami diskriminasi berat dan sering mengalami kekerasan. "Selain itu ratusan warga yang belum lama ini menggelar aksi protes, juga ditangkap secara semena-mena", lapor Amnesty.

"Arab Saudi tercabik diantara dua arus besar yang saling bertentangan", ujar pakar Timur Tengah Fürtig. Selama ini Raja Abdullah selalu mampu memecahkan masalah dengan melakukan berbagai kompromi. Tidak ada konflik antara kerajaan dengan kelompok pendukung terorisme.

"Juga perlawanan dari warga untuk menumbangkan rezim otoriter di Riyadh amat mustahil. Mayoritas warga Arab Saudi tetap tenang, di saat negara-negara Arab lainnya membara dilanda revolusi", kata pakar Arab F. Gregory Gause.

Salah satu penyebabnya, kelompok oposisi Suni dan Syiah tidak  mampu mencapai kesepakatan, mengatasi perbedaan pandangan dalam mazhab mereka masing-masing.