Pembantaian terhadap pengungsi Etiopia di perbatasan Saudi dan Yaman dijalankan secara sistematis, lapor Human Rights Watch. Tuduhan ini bukan pertama kali dilayangkan terhadap monarki di Riyadh.
Iklan
Ratusan, mungkin ribuan pengungsi Etiopia tewas ditembak di perbatasan antara Arab Saudi dan Yaman sejak Maret 2022 hingga Juni 2023, lapor organisasi HAM, Human Rights Watch (HRW), awal pekan ini.
Laporan itu disusun dari keterangan 43 orang saksi mata yang disertai sejumlah bukti lain.
HRW mengaku sudah mendokumentasikan pembunuhan terhadap pengungsi sejak 2014. Namun situasinya meruncing sejak beberapa bulan terakhir. Aparat keamanan Saudi dituduh sengaja menjalankan provokasi.
"Pola penganiayaan berubah dari penembakan sporadis menjadi pembunuhan sistemik yang digunakan secara luas,” kata Sam Dubberley, Kepala Laboratorium Investigasi Digital di HRW. Menurutnya, jumlah korban bisa berkisar antara ratusan hingga ribuan jiwa.
"Saksi mata memberitakan tentang seragam militer secara detail, yang mengarah kepada pasukan penjaga perbatasan Saudi,” lanjutnya. Para saksi juga mengaku melihat persenjataan berat dan penggunaan kendaraan angkutan pasukan. "Sebab itu kami berkeyakinan bahwa otoritas Saudi bertanggung jawab.”
Krisis Yaman Memburuk, Organisasi Kemanusiaan Kehabisan Uang
Perang di Yaman terus berlanjut. Namun, sejumlah organisasi kemanusiaan saat ini terancam kehabisan uang. Invasi Rusia di Ukraina berpotensi memperburuk keadaan di Yaman.
Foto: Mohammed Huwais/AFP/Getty Images
Kurangnya bantuan kemanusiaan
Krisis kemanusiaan di Yaman yang dilanda perang semakin memburuk. Menurut Program Pangan Dunia PBB (WFP), 13 juta orang di sana terancam kelaparan, lantaran perang saudara yang berkepanjangan dan kurangnya bantuan kemanusiaan.
Foto: Khaled Ziad/AFP/Getty Images
Sangat bergantung pada bantuan
Sejak awal pandemi COVID-19, semakin banyak orang yang kelaparan. Yaman adalah salah satu negara yang paling membutuhkan bantuan, dengan lebih dari 40% populasi bergantung pada bantuan WFP.
Foto: Khaled Abdullah/REUTERS
WFP kehabisan uang
"Kami memberi makan 13 juta orang dari negara berpenduduk 30 juta orang dan kami kehabisan uang," kata David Beasley, Kepala WFP, kepada Associated Press belum lama ini. "Jadi, apa yang akan saya lakukan untuk anak-anak di Yaman? Mencurinya dari anak-anak di Etiopia, atau Afganistan, atau Nigeria, atau di Suriah? Itu tidak benar," katanya.
Foto: Giles Clarke/UNOCHA/picture alliance
Paket bantuan tidak lengkap
Saat ini sekitar lima juta orang terancam mati akibat kelaparan, kata Corinne Fleischer, Direktur WFP untuk Timur Tengah dan Afrika Utara. Sumbangan bantuan kemanusiaan sejauh ini hanya mencakup 18% dari hampir $2 miliar (Rp28,6 triliun) yang dibutuhkan WFP untuk misinya di Yaman.
Foto: Mohammed Mohammed/XinHua/dpa/picture alliance
Perang Ukraina memperburuk krisis kelaparan
Invasi Rusia berpotensi memperburuk keadaan di Yaman karena WFP memperoleh sekitar setengah dari gandumnya dari Ukraina. Bahkan sebelum perang dimulai, harga gandum telah meningkat tajam. Bank Dunia mengingatkan bahwa perang Ukraina akan mendorong krisis kelaparan yang lebih buruk.
Foto: AHMAD AL-BASHA/AFP/Getty Images
Perang saudara yang berkepanjangan
Perang saudara di Yaman telah berlangsung selama tujuh tahun. Sejak 2015, koalisi pimpinan Arab Saudi memerangi pemberontak Houthi yang didukung Iran, yang saat ini menguasai sebagian besar wilayah di Yaman, termasuk ibu kota, Sanaa.
Foto: imago images/Xinhua
Kekacauan di Aden
Wilayah selatan Aden dikendalikan sepenuhnya oleh separatis sejak 2020 dan telah menjadi basis pemerintah yang diakui secara internasional, dipimpin oleh Abed Rabbo Mansour Hadi, sejak Houthi menyingkirkannya keluar dari Sanaa.
Foto: Wael Qubady/AP Photo/picture alliance
Tidak ada tempat berlindung
Kota Marib dianggap strategis karena merupakan benteng terakhir dari pemerintah yang diakui secara resmi di utara. Pertempura tengah berlangsung di sini, di mana Saudi terus-menerus mengebom daerah tersebut. Warga sipil terpaksa terus memindahkan kamp pengungsi mereka karena garis depan terus bergeser.
Foto: AFP /Getty Images
Rumah sakit penuh
Sistem kesehatan di Yaman bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Perang yang sedang berlangsung dan pandemi COVID-19 hanya membuat segalanya lebih mengerikan di negara termiskin di semenanjung Arab itu.
Foto: Abdulnasser Alseddik/AA/picture alliance
Sekolah dibom
Dalam laporan tahun 2021, UNICEF mengatakan bahwa pendidikan menjadi salah satu korban terbesar perang Yaman. Lebih dari 2 juta anak perempuan dan laki-laki usia sekolah tidak dapat mengenyam pendidikan. Banyak sekolah hancur dibom.
Foto: Mohammed Al-Wafi /AA/picture alliance
Rangkaian kesengsaraan
Listrik, air bersih, dan bahan bakar - selalu ada sesuatu yang kurang di Yaman. Antrean di SPBU semakin panjang. Tanpa dana kemanusiaan yang lebih banyak, rangkaian kesengsaraan ini hanya akan berlanjut. (ha/yf)
Foto: Mohammed Huwais/AFP/Getty Images
11 foto1 | 11
Perang dan kemiskinan
Kebanyakan pengungsi diyakini berusaha melarikan diri dari kemiskinan ekstrem di kampung halaman. Saudi sejak lama merupakan negara tujuan buruh migran di Tanduk Afrika. Saat ini, 750.000 warga Etiopia tercatat bekerja di Arab Saudi, yang sebagian besar datang secara resmi.
Iklan
Namun pengungsi Etiopia, yang tidak mampu membiayai perjalanan udara, harus menempuh jalur darat melalui Yaman. Saksi mata mengabarkan bagaimana aparat keamanan menembaki pengungsi, bahkan setelah ditahan. Mereka juga menggunakan granat dan bahan peledak sejenis buat menghalau iringan manusia di perbatasan. Sebagian mengisahkan perintah pemerkosaan oleh aparat kepada pengungsi lain yang dibarengi ancaman tembak bagi yang menolak.
Tidak hanya aparat Saudi, saksi mata juga mengabarkan tindak pemerasan dan penganiayaan oleh milisi etnis Houthi yang memberontak di Yaman Selatan. "Sebagian ditahan di sebuah penjara sampai mereka mampu membayar denda,” kata peneliti HRW, Sam Dubberly kepada DW.
Pengungsi Global: Melarikan Diri dari Bahaya
PBB melaporkan ada 82,4 juta pengungsi di seluruh dunia yang melarikan diri dari perang, penindasan, bencana alam hingga dampak perubahan iklim. Anak-anak pengungsi yang paling menderita.
Foto: KM Asad/dpa/picture alliance
Diselamatkan dari laut
Seorang bayi mungil diselamatkan seorang penyelam polisi Spanyol ketika nyaris mati tenggelam. Maroko pada Mei 2021, untuk sementara melonggarkan pengawasan di perbatasan dengan Ceuta. Ribuan orang mencoba memasuki kawasan enklave Spanyol itu dengan berenang di sepanjang pantai Afrika Utara. Foto ini dipandang sebagai representasi ikonik dari krisis migrasi di Ceuta.
Foto: Guardia Civil/AP Photo/picture alliance
Tidak ada prospek
Laut Mediterania adalah salah satu rute migrasi paling berbahaya di dunia. Banyak pengungsi Afrika yang mencoba dan gagal menyeberang ke Eropa, sebagian terdampar di Libia. Mereka terus berjuang untuk bertahan hidup dan seringkali harus bekerja dalam kondisi yang menyedihkan. Para pemuda di Tripoli ini contohnya, banyak dari mereka masih di bawah umur, menunggu dan beharap pekerjaan serabutan.
Foto: MAHMUD TURKIA/AFP via Getty Images
Hidup dalam sebuah koper
Sekitar 40% pengungsi adalah anak-anak. Beberapa tahun silam, 1,1 juta warga minoritas Muslim Rohingya melarikan diri dari kekerasan militer Myanmar ke Bangladesh Kamp pengungsi Cox's Bazar salah satu yang terbesar di dunia. LSM SOS Children's Villages peringatkan kekerasan, narkoba dan perdagangan manusia adalah masalah yang berkembang di sana, seperti halnya pekerja anak dan pernikahan dini.
Foto: DANISH SIDDIQUI/REUTERS
Krisis terbaru
Perang saudara di wilayah Tigray di Etiopia yang pecah baru-baru ini, telah memicu pergerakan pengungsi besar lainnya. Lebih dari 90% populasi Tigray saat ini bergantung pada bantuan kemanusiaan. Sekitar 1,6 juta orang melarikan diri ke Sudan, 720 ribu di antaranya adalah anak-anak. Mereka terjebak di wilayah transit, menghadapi masa depan yang tidak pasti
Foto: BAZ RATNER/REUTERS
Ke mana pengungsi harus pergi?
Pulau-pulau di Yunani jadi target pengungsi dari Suriah dan Afganistan, yang secara berkala terus berdatangan dari Turki. Banyak pengungsi ditampung di kamp Moria, pulau Lesbos, sampai kamp tersebut terbakar September lalu. Setelah itu, keluarga ini datang ke Athena. Uni Eropa telah berusaha selama bertahun-tahun untuk menyetujui strategi komunal dan kebijakan pengungsi, tetapi tidak berhasil.
Foto: picture-alliance/dpa/Y. Karahalis
Eksistensi yang keras
Tidak ada sekolah untuk anak-anak pengungsi Afganistan yang tinggal di kamp pengungsi Pakistan. Kamp tersebut telah ada sejak intervensi Soviet di Afganistan pada tahun 1979. Kondisi kehidupan di sana buruk. Kamp tersebut kekurangan air minum dan akomodasi yang layak.
Foto: Muhammed Semih Ugurlu/AA/picture alliance
Dukungan penting dari organisasi nirlaba
Banyak keluarga di Venezuela yang tidak melihat ada masa depan di negaranya sendiri, mengungsi ke negara tetangga, Kolombia. Di sana mereka mendapat dukungan dari Palang Merah yang memberikan bantuan medis dan kemanusiaan. Organisasi ini juga mendirikan kamp transit di sebuah sekolah di kota perbatasan Arauquita.
Foto: Luisa Gonzalez/REUTERS
Belajar untuk berintegrasi
Banyak pengungsi berharap masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka di Jerman. Di Lernfreunde Haus-Karlsruhe, anak-anak pengungsi dipersiapkan untuk masuk ke sistem sekolah Jerman. Namun, selama pandemi COVID-19, mereka kehilangan bantuan untuk mengintegrasi diri mereka ke dalam masyarakat baru itu. (kfp/as)
Foto: Uli Deck/dpa/picture alliance
8 foto1 | 8
Tuduhan lama
Tudingan pelanggaran HAM di perbatasan Yaman dan Saudi bukan kali pertama dilayangkan. Hal serupa sudah diperingatkan oleh Dewan HAM PBB kepada monarki di Riyadh. Serupa HRW, PBB mendokumentasikan "pola sistematis pembunuhan lintas batas berskala besar, di mana aparat Saudi menggunakan senjata artileri dan senapan serbu terhadap para migran.”
Pemerintah Saudi saat itu membantah adanya pembunuhan sistematis di perbatasan. "Karena informasi yang terbatas, Kerajaan tidak menemukan adanya informasi atau bukti yang memperkuat atau membenarkan tuduhan tersebut,”
Saudi juga menilai tuduhan HRW "tidak berdasar,” kata seorang pejabat Saudi secara anonim kepada kantor berita AFP. Adapun, pertanyaan yang diajukan DW kepada perwakilan Saudi di Jerman belum dijawab hingga berita ini diturunkan.
Kehati-hatian sebaliknya muncul dari Etiopia yang banyak bergantung pada Saudi secara ekonomi. Kementerian Luar Negeri di Adis Abeba mengklaim akan mempelajari dan menyelidiki dugaan pelanggaran HAM bersama otoritas Saudi. "Spekulasi tidak perlu” sebabnya harus dihindari hingga selesainya penyelidikan oleh kedua negara. rzn/hp