Arab Saudi mempercepat proses hukum terhadap tokoh oposisi sebelum pergantian kekuasaan di Washington. Langkah ini dinilai berisiko karena berpotensi memicu konfrontasi dengan pemerintahan baru AS di bawah Joe Biden
Iklan
Proses pengadilan terhadap pegiat kemanusiaan dan anggota kerajaan Arab Saudi yang membelot, dipercepat dalam beberapa bulan terakhir. Termasuk di antara terdakwa adalah seorang doktor lokal berkewarganegaraan AS.
Menurut sumber kantor berita AFP, langkah itu diambil untuk "menutup sejumlah kasus" yang masih mengambang.
Setelah vonis enam tahun penjara terhadap pegiat hak perempuan, Loujain al-Hathloul, bulan lalu pegiat kesehatan Saudi, Dr. Walid Fitaihi, juga divonis dengan hukuman serupa oleh pengadilan.
Fitaihi yang mengoperasikan sebuah rumah sakit di kota Jeddah itu masih bebas menyusul langah banding yang diajukan pekan ini. Dia baru dibebaskan tahun lalu usai masa penahanan selama dua tahun, pertama di hotel Ritz-Carlton, lalu di penjara Al-Ha'ir di dekat ibu kota Riyadh.
Sumber yang dekat dengan keluarga mengatakan Fitaihi mengalami penyiksaan, antara lain disetrum. Dia dituduh melanggar UU Keimigrasian ketika berpindah kewarganegaraan ke AS, dan dituding melakukan makar saat mendukung perlawanan Musim Semi Arab pada 2011 silam.
Kepada AFP, sumber tersebut mengatakan Fitaihi bisa menjadi "alat tawar” dalam negosiasi dengan pemerintahan Joe Biden. Melalui pengadilan politik, "Saudi sedang mengatakan kepada Biden: ‘mari bernegosiasi'” kata dia.
Fitaihi termasuk dikenal luas di Arab Saudi. Rumah sakitnya kini menjadi pos penanggulangan wabah corona. Dia juga rajin berkeliling sebagai motivator. Selain dekenai pembekuan aset, saat ini keluarganya juga dilarang berpergian keluar dari wilayah Saudi.
Pertaruhan politik al-Salman
Dalam sidang pengadilan berbeda, dua warga AS berdarah Saudi juga menghadapi hukuman kurungan untuk waktu lama. Para terdakwa, Salah al-Haider, adalah putra pegiat perempuan Saudi, sementara Bader al-Ibrahim adalah seorang pakar fisika.
Iklan
Pemerintah Saudi menoalak mengomentari dakwaan atau penahanan kedua pegiat HAM.
Pada saat yang sama Riyadh juga mempercepat jalannya proses hukum terhadap Salman al-Awdah, seorang ulama yang ditangkap usai mendesakkan rekonsiliasi dalam sebuah ungggahan di Twitter. Dia didakwa dengan pasal terorisme.
Selain pegiat HAM, pemerintah juga mendakwa bekas putera mahkota, Pangeran Mohammed bin Nayef, dengan tuduhan korupsi. Meski sakit-sakitan, dia diancam dipindahkan ke sel isolasi jika tidak "mencairkan dana” hasil korupsi seperti yang dituduhkan.
Bulan lalu tim pencari fakta yang dibentuk parlemen Inggris melaporan taktik Saudi merupakan "pemerasan,” untuk memaksakan vonis hukum.
"Sangat mengejutkan melihat Pangeran Mohammed bin Salman mempercepat kasus-kasus domestik ini,” kata Kristin Diwan, peneliti di Arab Gulf State Institute di Washington.
"Dia bisa saja ingin memperketat kontrol sembari melirik peluang negosiasi dengan Biden. Atau dia sedang menetapkan garis merah, bahwa urusan internal Saudi tidak boleh disentuh.”
Seorang sumber yang dekat dengan keluarga kerajaan mengklaim Mohammed bin Salman "serius bahwa dia tidak ingin ditekan soal isu ini, jadi saya tidak melihat adanya ruang negosiasi di sini,” ungkapnya kepada AFP.
rzn/as (afp,ap)
Rentang Sejarah Perjuangan Perempuan di Arab Saudi
Hak perempuan di Arab Saudi adalah sebuah kisah perjuangan panjang yang berjalan perlahan. Berkat tekanan internasional dan keberanian generasi baru Monarki di Riyadh, perempuan mulai diberikan kebebasan di ruang publik.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Ammar
1955: Sekolah Perempuan Pertama, 1970: Universitas Perempuan Pertama
Perempuan Arab Saudi awalnya tidak diizinkan mengeyam pendidikan dasar. Hingga akhirnya sekolah khusus perempuan, Dar al-Hanan, dibuka tahun 1955. Namun butuh waktu hampir dua dekade bagi perempuan untuk bisa mendapat akses menuju perguruan tinggi, yakni Riyadh College of Education yang beroperasi tahun 1970.
Foto: Getty Images/AFP/F. Nureldine
2001: KTP Perempuan
Pada awal abad ke 21 perempuan untuk pertamakalinya mendapat Kartu Tanda Penduduk. KTP membantu kaum perempuan Saudi dalam kasus hukum seputar warisan atau properti. Awalnya perempuan harus mendapat izin dari wali laki-laki untuk mendapat KTP. Aturan tersebut dilonggarkan pada 2006 ketika perempuan bebas mendapat KTP tanpa izin walinya.
Foto: Getty Images/J. Pix
2005: Akhir Pernikahan Paksa
Pemerintah Arab Saudi secara resmi melarang pernikahan paksa pada 2005. Namun kontrak nikah antara calon pengantin pria dan orangtua perempuan masih marak dilakukan. Kontrak semacam itu mewajibkan perempuan menikahi pria pilihan orangtua.
Foto: Getty Images/A.Hilabi
2009: Perempuan Pertama di Pemerintahan
Pada 2009 raja Abdullah mengangkat perempuan untuk jabatan tinggi di pemerintahan. Noura al-Fayez hingga kini adalah wakil Menteri Pendidikan Arab Saudi. Ia bertugas mengurusi pemberdayaan perempuan.
Foto: Foreign and Commonwealth Office
2012: Atlit Olympiade Perempuan
Keberadaan Noura al-Fayez di pucuk pemerintahan banyak mengubah nasib atlit perempuan Arab Saudi. Pada 2012 untuk pertamakalinya Riyadh mengizinkan perempuan mengikuti Olympiade di London. Salah satunya adalah Sarah Attar, atlit lari di cabang 800 meter. Sebelumnya Komite Olympiade Internasional diisukan bakal melarang keikutsertaan Arab Saudi jika Riyadh melarang partisipasi perempuan.
Foto: picture alliance/dpa/J.-G.Mabanglo
2013: Izin Bersepeda dan Sepeda Motor
Setahun setelah Olympiade, pemerintah Arab Saudi untuk pertamakalinya mengizinkan perempuan menggunakan sepeda dan sepeda motor. Namun begitu kelonggaran tersebut bukan tanpa catatan. Perempuan hanya diizinkan bersepeda atau mengendarai sepeda motor di area rekreasional, diwajibkan mengenakan niqab dan didampingi wali pria.
Foto: Getty Images/AFP
2013: Perempuan di Majelis Syura
Pada Februari 2013 Raja Abdullah melantik 30 perempuan untuk Majelis Syura, dewan pertimbangan Arab Saudi. "Perubahan ini harus dilakukan secara gradual," kata Abdullah tentang hak perempuan. Tidak lama setelah keputusan tersebut, perempuan diizinkan untuk mencalonkan diri untuk jabatan publik.
Foto: REUTERS/Saudi TV/Handout
2015: Hak Pilih dan Dipilih
Pemilihan komunal 2015 di Arab Saudi ditandai dengan peristiwa bersejarah: untuk pertamakalinya perempuan diizinkan memilih dan dapat mencalonkan diri untuk jabatan publik. Sebagai hasilnya sebanyak 20 perempuan terpilih untuk berbagai jabatan di tingkat pemerintah kota.
Foto: picture-alliance/AP Photo/A. Batrawy
2017: Direktur Bursa Saham Perempuan
Pada Februari 2017, bursa saham Arab Saudi menunjuk Sarah al-Suhaimi sebagai direktur. Putri bankir berusia 37 tahun ini ikut merangkai salah satu penawaran umum perdana paling akbar sejagad, yakni ketika perusahaan minyak negara Aramco melepas sebagian kecil sahamnya ke lantai bursa.
Foto: pictur- alliance/abaca/Balkis Press
2018: Perempuan di Kemudi
Pada 26 September 2017, pemerintah Arab Saudi mengumumkan perempuan akan diperbolehkan mengemudi mobil mulai bulan Juni 2018. Mereka nantinya tidak perlu meminta izin wali pria untuk mendapatkan surat izin mengemudi dan tidak perlu mengajak walinya untuk ikut menemani ketika mengemudi.
Foto: picture-alliance/AP Photo/H. Jamali
2018: Perempuan di Stadion Olahraga
Tidak lama berselang, pada 29 Oktober 2017, otoritas olahraga Arab Saudi mengumumkan perempuan akan diizinkan untuk menginjakkan kaki di stadion olahraga. Tiga stadion yang tadinya hanya mengizinkan penonton laki-laki juga akan dibuka buat perempuan pada awal 2018.
Foto: Getty Images/AFP/F. Nureldine
2019: Perempuan Saudi akan mendapat notifikasi melalui pesan singkat jika mereka diceraikan
Hukum baru dirancang untuk melindungi perempuan saat pernikahan berakhir tanpa sepengetahuan mereka. Perempuan dapat mengecek status pernikahannya online atau mendapatkan fotokopi surat tanda cerai dari pengadilan. Hukum ini tidak sepenuhnya melindungi perempuan karena cerai hanya dapat diajukan dalam kasus yang sangat terbatas dengan persetujuan suami atau jika suami melakukan tindak kekerasan.