AS Berpotensi Kehilangan Minat Pelajar Internasional
21 April 2025
Sedikitnya 1.024 pelajar internasional di perguruan tinggi atau sistem universitas di Amerika Serikat (AS) telah dicabut visanya atau dihentikan status hukumnya sejak Maret 2025. Hal itu terungkap lewat sebuah tinjauan pernyataan dan korespondensi antara para pejabat sekolah dengan kantor berita Associated Press (AP).
Pemerintahan Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa mereka berhak untuk mendeportasi warga negara asing yang terlibat dalam tindakan aktivisme pro-Palestina. Namun pada sebagian besar kasus pencabutan visa, pihak perguruan tinggi menyatakan tidak ada indikasi bahwa pelajar yang terkena dampak memiliki peran dalam aksi protes.
Program OPT berantakan
AS menerbitkan sebagian besar visa pekerja terampil (H-1B) kepada pelajar dari India, banyak dari mereka yang tergiur berangkat ke AS karena program Optional Practical Training (OPT) dalam bidang sains, teknologi, teknik dan matematika (science, technology, engineering, and mathematics/STEM). Sistem OPT memungkinkan lulusan untuk menetap di AS selama dua tahun tambahan setelah menyelesaikan pendidikan.
Kepada DW, seorang pelajar pemegang visa OPT yang baru disetujui visa H-1B, mengatakan kalau dirinya "ditangkap saat menolong teman yang terluka karena tidak bisa mengemudi.” Kemudian, ia mengaku didakwa mengemudi di bawah pengaruh alkohol pada Januari, tapi menyebut tidak mendapat hukuman.
Setelah mencari pekerjaan selama lebih dari 2 tahun, akhirnya dia mendapat tawaran kerja. Hanya saja, tawaran itu tidak dapat diproses lantaran visanya dicabut.
"Saya mengajukan pinjaman besar untuk melanjutkan pendidikan di AS yang masih harus saya lunasi. Saya bekerja keras selama empat tahun dan sedang dalam fase membangun kehidupan. Kalau semua ini hilang karena satu kesalahan, apa gunanya?” ujar dia. "Apa yang harus saya katakan kepada orang tua saya di rumah?”
Pencabutan visa picu kepanikan pelajar
Pemberlakuan ketat visa, yang dianggap sebagai agenda imigrasi Trump, telah memicu kecemasan di kalangan pelajar India yang berencana bersekolah di AS.
Tidak hanya itu, kecepatan dan cakupan upaya pemerintah federal untuk mencabut status hukum pelajar internasional juga telah mengejutkan universitas-universitas di AS.
Departemen Keamanan Dalam Negari AS telah mencabut setidaknya visa dari 22 pelajar internasional di University of Michigan, data itu berdasarkan laporan per April 2025.
Universitas itu telah "menghubungi pihak terdampak.. yang diharuskan untuk segera meninggalkan AS. Kami bekerja sama dengan berbagai fakultas untuk memastikan mereka masih punya pilihan dan mendapat akses bantuan,” bunyi pernyataan yang dikeluarkan pihak kampus.
"Selama dua minggu terakhir, kami bekerja tanpa henti membantu para pelajar,” kata Ravi Lothumalla, seorang konsultan pendidikan di AS yang juga mengadvokasi pelajar India terkait pencabutan visa dan mencarikan mereka pengacara.
Chand Parvathaneni, seorang pengacara imigrasi di Texas, yang telah menangani hampir 40 kasus pencabutan visa menyebut "sebagian besar kasus ini terkait pelanggaran kecil.”
Banyak dari dakwaan, tambahnya, tidak semestinya berujung pada deportasi dan tidak terbukti bersalah. "Pemerintah tidak memberi kesempatan pelajar untuk membela diri, sehingga kini mereka membutuhkan intervensi pengadilan.”
Kebanyakan pelajar India di AS mengajukan pinjaman besar untuk pendidikan. Selain stres mental, mereka kini juga harus menanggung biaya hukum yang mahal, sebut Parvathaneni.
Banyak pelajar memilih diam
Dalam kasus pelajar India, gelombang pencabutan visa massal ini mencuat setelah dua tindakan deportasi pelajar India yang cukup ramai, yakni Badar Khan Suri dan Ranjani Srinivasan.
Badar Khan Suri sendiri adalah seorang peneliti pascadoktoral India di Georgetown University. Kata pengacaranya, Badar Khan Suri ditahan di AS karena dugaan afiliasi dengan Hamas. Namun, pengadilan telah menunda deportasinya.
Sementara, Ranjani Srinivasan yang merupakan penerima beasiswa Fulbright di Columbia University, mendeportasi diri sendiri ke Kanada pada Maret 2025 lalu setelah visanya dicabut karena dituduh mendukung Hamas.
Secara anonim, seorang pelajar S3 India di universitas AS mengatakan kepada DW: "Kampus saya secara tidak resmi menyarankan kami untuk menghapus unggahan yang dianggap kontroversial.”
"Setelah dua tahun, saya rencananya pulang ke India, tetapi dalam situasi sekarang, saya takut tidak diizinkan kembali ke AS.”
Ada pelajar yang tempuh jalur hukum
Dari pada memilih untuk diam, sebanyak lima pelajar (2 dari Cina dan 3 dari India) telah menggugat Departemen Keamanan Dalam Negeri dan pejabat imigrasi lainnya lantaran telah mencabut visa F-1 beberapa pelajar internasional.
Gugatan itu diajukan melalui American Civil Liberties Union (ACLU) ke Pengadilan Distrik AS di New Hampshire. Gugatan itu mengatakan kalau Trump "secara sepihak mencabut ratusan, ribuan status pelajar internasional bervisa F-1.”
Dalam gugatan itu juga dinyatakan bahwa para pelajar tidak hanya menghadapi ancaman deportasi, tapi juga "mengalami kesulitan keuangan dan akademis yang parah.” Pemerintah dianggap tidak memberikan pemberitahuan yang layak sebelum mencabut status hukum pelajar internasional tersebut.
Potensi hilangnya daya tarik untuk melanjutkan studi di AS
Perubahan lingkungan politik dan upaya agresif dalam menargetkan pelajar internasional di bawah pemerintahan Trump membuat banyak pelajar India menjadi skeptis terhadap AS.
Misalnya, Bagi Bhavika Kohli (26), yang ingin mengambil gelar master bidang STEM. Tadinya, AS adalah pilihan utama.
"Sekarang keputusan saya berubah total," katanya kepada DW. Bahkan jika lulus dua tahun lagi, ia khawatir tidak bisa mendapat pekerjaan layak sebagai pelajar internasional "di lingkungan politik seperti ini.”
Kini, Kohli mempertimbangkan opsi lain. "Karena pemerintah AS saat ini, saya berpikir untuk melanjutkan pascasarjana di India,” sebuah pilihan yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan.
Banyak pelajar India sepikiran dengan Kohli, menganggap lingkungan politik AS saat ini tidak lagi ramah bagi pelajar internasional.
"Dibanding tahun lalu (2024), kami memperkirakan penurunan sebesar 20-25% jumlah pelajar India ke AS tahun ini,” kata Sushil Sukhwani, Direktur Edwise International, sebuah konsultan studi ke luar negeri di India.
Kekhawatiran utama para pelajar adalah ketidakpastian soal kebijakan Trump yang mendadak dan menyeluruh.
Seorang calon pelajar bernama Madhavan (bukan nama sebenarnya), bahkan sudah berhenti bekerja di Delhi, karena ia dijadwalkan melanjutkan pendidikan magister jurnalistik di AS mulai Agustus 2025. Hanya saja, ia khawatir dengan statusnya di masa depan sebagai pelajar internasional di bawah kepemimpinan Trump.
"Ada perubahan institusional yang sedang terjadi di AS. Mengingat hal itu, sebagai seorang pelajar India, saya merasa sangat lemah dan tidak punya masa depan. Kalau saya ke sana, saya tidak tahu apa yang akan terjadi,” kata Madhavan, menambahkan bahwa ia seharusnya sudah di tahap merencanakan kepindahannya ke AS, tapi malah ragu akan mendapatkan izin untuk berangkat.
"Ini sangat tidak pasti dan akan sangat menantang, karena Anda tidak tahu apa yang bisa atau tidak bisa Anda lakukan.”
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Muhammad Hanafi
Editor: Prihardani Purba