Pemerintah Amerika Serikat melancarkan upaya diplomatik setelah Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan bakal "bercerai" dengan Washington. Duterte sendiri sudah meralat ucapannya.
Iklan
Diplomat tinggi Amerika Serikat di Asia mengatakan ucapan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, telah menciptakan "iklim ketidakpastian" dan memicu situasi darurat diplomatik di Amerika dan negara lain. Daniel Russel, Asisten Menteri urusan Asia Timur dan Pasifik, adalah pejabat tertinggi pertama AS yang mengunjungi Filipina setelah kunjungan Duterte ke Cina.
Sepekan silam sang presiden mengatakan akan "bercerai" dengan Amerika dalam lawatannya di Beijing. Belakangan Duterte meralat pernyataannya sendiri. Menurutnya ia tidak bermaksud memangkas hubungan diplomatik dengan AS, melainkan cuma megakhiri arah kebijakan luar negeri yang terlalu berorientasi pada Washington.
"Saya jelaskan kepada Menlu Filipina Perfecto Yasay Jr. bahwa pernyataan presiden telah menciptakan kekhawatiran besar, tidak cuma di level pemerintahan, tetapi juga komunitas lain seperti warga Filipina (di Amerika) dan juga di kalangan bisnis," ujar Russel. "Ini bukan tren positif," imbuhnya.
Bersamaan dengan kunjungan Russel, militer AS juga memodifikasi pesawat kargo C-130T untuk diserahkan kepada militer Filipina.
Kerjasama Militer dan HAM
Ketika ditanya apakah Filipina berniat serius membatalkan latihan militer bersama dengan AS di Laut Cina Selatan, Menlu Yasay enggan memberikan jawaban pasti. Duterte, katanya, hanya ingin agar latihan tersebut meningkatkan kemampuan militer "untuk bisa mandiri."
"Jika ini tidak tercapai, dia mengatakan tidak perlu lagi melanjutkan program tersebut."
Russel sendiri mengatakan pihaknya menyambut perbaikan hubungan antara Manila dan Beijing. "Adalah hal yang salah menganggap bahwa normalisasi hubungan antara kedua negara akan merugikan Amerika Serikat," tuturnya. "Perkembangan ini bersifat menambah, bukan mengurangi."
Kendati begitu Amerika tetap menekankan pentingnya pemerintahan Filipina menghormati Hak Azasi Manusia dalam perang narkoba yang hingga kini telah menelan 3800 korban jiwa. "Saya jelaskan pentingnya mengormati hak sipil penduduk. Dan itu adalah bagian penting dari upaya melindungi masyarakat juga," ujarnya.
Russel mengatakan Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, telah menghubungi Yasay hari Senin (24/10) untuk membahas hubungan kedua negara.
Pertaruhan Maut Presiden Duterte
Presiden Filipina Rodrigo Duterte nekat meninggalkan sekutu lama Amerika dan bermain mata dengan Cina dan Rusia. Langkahnya itu bukan tanpa risiko terutama dalam isu Laut Cina Selatan.
Foto: picture-alliance/dpa/M.R.Cristino
Poros Tandingan
Duterte sudah jengah dengan Amerika Serikat. Sebab itu ia ingin membangun poros baru antara Manila, Beijing dan Moskow. "Saya tidak ingin bersama AS lagi, saya ingin bergabung dengan Cina dan Rusia," tukasnya. Untuk membuktikan ucapannya itu Duterte menghentikan latihan perang bersama dengan militer AS yang telah digelar selama 36 tahun dan mengabaikan keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional
Foto: picture-alliance/Newscom
Berpaling dari ASEAN
Sebaliknya Duterte mengundang Cina dan Rusia untuk menggelar latihan militer bersama di Laut Cina Selatan. Ia juga mulai mengadopsi narasi Beijing, bahwa konflik seputar jalur laut paling gemuk di dunia itu adalah "murni masalah bilateral. "Saya tidak akan membawanya ke forum internasional, termasuk ASEAN." Dengan cara itu Duterte diyakini berharap bakal mendapatkan ganjaran setimpal dari Beijing.
Foto: picture-alliance/dpa/M.R.Cristino
Misi Ekonomi
Pasalnya kebijakan baru sang presiden bukan tanpa kalkulasi. Filipina sedang tertinggal dalam hal pembangunan infrastruktur. "Ia melihat Cina adalah sumber terbesar dana investasi yang sangat dibutuhkan buat menggenjot perekonomian," kata Nick Bisley, Pakar Hubungan Internasional di Universitas La Trobe, Australia. Ironisnya saat ini AS dan Jepang adalah mitra dagang terbesar Filipina.
Foto: Imago
Kalkulasi Beijing
Namun begitu Cina juga tidak bebas dari rasa curiga. "Beijing masih berusaha menebak kemauan Duterte. Tapi jika sudah ketahuan, mereka akan memainkannya sesering mungkin buat melawan Washington," kata akademisi Filipina Walden Bello kepada Financial Times. Cina diyakini tidak akan memberikan konsensus di Laut Cina Selatan dengan mudah. Kesepakatan dengan Manila akan menjadi preseden di kawasan.
Foto: Reuters/K. Kyung-Hoon
Bumerang di Dalam Negeri?
Sikap keras Cina bisa menjadi bumerang buat Duterte. Saat ini mayoritas penduduk FIlipina cendrung bersikap antipati terhadap Beijing. AS sebaliknya mencatat popularitas sebesar 91% dalam jajak pendapat PEW Research Centre tahun lalu. Kegagalan perundingan dengan Cina bisa mencederai reputasinya di mata masyarakat dan Filipina terancam isolasi diplomatik.
Foto: picture-alliance/dpa/Photoshot
Petaka di Perbatasan
Manila kini berupaya mendekati Cina agar bersedia menunda aktivitas pembangunan di Gosong Scraborough dan mengizinkan nelayannya menangkap ikan di perairan sekitar. Beijing belakangan mulai aktif menyulap pulau-pulau kecil di Spratly buat dijadikan pangkalan militer.
Titian Diplomasi
Pelik buat Duterte. Mayoritas penduduk Filipina juga tidak bersedia membuat konsensus dalam isu Laut Cina Selatan. Sebab itu ia mengklaim, "Tidak seorangpun akan menyerahkan sesuatu di sana," ujarnya merujuk pada LCS. Jelang lawatannya ke Cina, Duterte diwanti-wanti oleh Hakim Mahkamah Agung, Antonio Carpio, agar tidak tunduk pada kemauan Beijing. "Dia benar. Saya bisa dilengserkan," jawabnya.