Pertemuan puncak ASEAN dan AS di California diyakini menjadi ajang diplomasi buat menghadang pengaruh Cina yang makin kuat. Beijing sebaliknya mewanti-wanti ASEAN agar menggunakan "akal sehat"
Iklan
Bukan siapa yang datang, tetapi siapa yang tidak diundang yang menjadi buah bibir menjelang pertemuan puncak AS dan ASEAN di California, Senin (15/2). Cina adalah negara yang dimaksud.
Negeri tirai bambu itu akan menjadi agenda utama pembahasan negara-negara anggota ASEAN di bidang keamanan, ekonomi dan stabilitas politik di kawasan. Sesuai garis kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat, Presiden Barack Obama kini sedang memupuk dukungan d Asia Tenggara buat menghadang Cina.
Isu terbesar tak lain adalah konflik teritorial di Laut Cina Selatan. Hingga kini Cina masih bersikeras mempertahankan klaimnya yang mencakup hampir semua wilayah perairan yang kaya sumber daya alam tersebut. Sikap Cina berbenturan dengan klaim serupa dari Vietnam, Brunei, Malaysia dan Filipina.
Belakangan perairan seluas dua kali lipat Laut Jawa itu menjadi panggung perseteruan antara Cina dan AS. Kedua negara berulangkali terlibat dalam adu provokasi. Jika Washington acap mengirimkan kapal perangnya ke Laut Cina Selatan, Cina membangun basis militer di Kepulauan Spratly dan Paracel.
AS dorong ASEAN gugat Cina secara hukum
Analis meyakini Washington ingin mendorong ASEAN menyatukan sikap dan membawa konflik Laut Cina Selatan ke mahkamah internasional. Beijing sebaliknya menolak langkah tersebut dan memilih menyelesaikan konflik lewat jalur bilateral.
"Washington harus mengingat bahwa Cina tidak akan menutup mata terhadap segala upaya melucuti kedaulatan teritorialnya," tulis media corong pemerintah Xinhua. "Meremehkan tekad Cina untuk mempertahankan kepentingannya akan menjadi kesalahan fatal."
Dalam editorial yang dipublikasikan jelang KTT AS-ASEAN di California, kantor berita tersebut juga mewanti-wanti negara-negara anggota ASEAN agar "menggunakan akal sehat dan menjaga jarak dari campur tangan Amerika Serikat."
Saling Tikam Berebut Laut Cina Selatan
Konflik Laut Cina Selatan menjadi ujian terbesar Cina buat menjadi negara adidaya. Meski bersifat regional, konflik itu mendunia dan mengundang campur tangan pemain besar, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Bersekutu dengan Rusia
Cina sendirian dalam konflik seputar Kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Cina Selatan. Kecuali Rusia yang rutin menggelar latihan militer bersama (Gambar), negeri tirai bambu itu tidak banyak mendulang dukungan atas klaim teritorialnya. Terutama karena klaim Beijing bertentangan dengan hukum laut internasional.
Foto: picture-alliance/AP Images/Color China Photo/Z. Lei
David Versus Goliath
Secara umum Cina berhadapan dengan enam negara dalam konflik di Laut Cina Selatan, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunai dan Filipina yang didukung Amerika Serikat. Dengan lihai Beijing menjauhkan aktor besar lain dari konflik, semisal India atau Indonesia. Laut Cina Selatan tergolong strategis karena merupakan salah satu jalur dagang paling gemuk di dunia dan ditengarai kaya akan sumber daya alam.
Foto: DW
Diplomasi Beton
Ketika jalur diplomasi buntu, satu-satunya cara untuk mengokohkan klaim wilayah adalah dengan membangun sesuatu. Cara yang sama ditempuh Malaysia dalam konflik pulau Sipadan dan Ligitan dengan Indonesia. Berbeda dengan Malaysia, Cina lebih banyak memperkuat infrastruktur militer di pulau-pulau yang diklaimnya.
Foto: CSIS, IHS Jane's
Reaksi Filipina
Langkah serupa diterapkan Filipina. Negara kepulauan itu belakangan mulai rajin membangun di pulau-pulau yang diklaimnya, antara lain San Cay Reef (gambar). Beberapa pulau digunakan Manila untuk menempatkan kekuatan militer, kendati tidak semewah Cina yang sudah membangun bandar udara di kepulauan Spratly.
Foto: CSIS Asia Maritime Transparency Initiative/DigitalGlobe
Di Bawah Naungan Paman Sam
Filipina boleh jadi adalah kekuatan militer terbesar selain Cina dalam konflik di perairan tersebut. Jika Beijing menggandeng Rusia, Filipina sejak dulu erat bertalian dengan Amerika Serikat. Secara rutin kedua negara menggelar latihan militer bersama. Terakhir kedua negara melakukan manuver terbesar dengan melibatkan lebih dari 1000 serdadu AS.
Foto: Reuters/E. De Castro
Indonesia Memantau
Indonesia pada dasarnya menolak klaim Cina, karena ikut melibas wilayah laut di sekitar kepulauan Natuna. Kendati tidak terlibat, TNI diperintahkan untuk sigap menghadapi konflik yang diyakini akan menjadi sumber malapetaka terbesar di Asia itu. Tahun lalu TNI mengerahkan semua kekuatan tempur milik Armada Barat untuk melakukan manuver perang di sekitar Natuna.
Foto: AFP/Getty Images/J. Kriswanto
Bersiap Menghadapi Perang
TNI juga membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan untuk menangkal ancaman dari utara. Komando tersebut melibatkan lusinan kapal perang, tank tempur amfibi dan pesawat tempur jenis Sukhoi.
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
Indonesia Tolak Klaim Cina
Cina berupaya menjauhkan Indonesia dari konflik dengan mengakui kedaulatan RI di kepualuan Natuna dan meminta kesediaan Jakarta sebagai mediator. Walaupun begitu kapal perang Cina berulangkali dideteksi memasuki wilayah perairan Natuna tanpa koordinasi. Secara umum sikap kedua negara saling diwarnai kecurigaan, terutama setelah Presiden Jokowi mengatakan klaim Cina tidak memiliki dasar hukum
Foto: Getty Images/R. Pudyanto
AS Tidak Tinggal Diam
Pertengahan Mei 2015 Kementrian Pertahanan AS mengumumkan pihaknya tengah menguji opsi mengirimkan kapal perang ke Laut Cina Selatan. Beberapa pengamat meyakini, Washington akan menggeser kekuatan lautnya ke Armada ketujuh di Pasifik demi menangkal ancaman dari Cina.