1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

AS-HAM / Niat reformasi Mubarak

27 Mei 2005

Pers internasional menyoroti protes AS terhadap Amnesty International yang menyebut Guantanamo sebagai gulag masa kini. Selain itu juga disoroti niat reformasi Presiden Mesir Mubarak.

Seorang perempuan memberi suara di Referendum di Mesir
Seorang perempuan memberi suara di Referendum di MesirFoto: AP

Amnesty International dalam laporan 2005 menyebut penjara Guantanamo sebagai "gulag masa kini". AI yang menuduh AS melakukan penyiksaan tahanan di Guantanamo bahkan menuntut ditutupnya kamp tahanan di teluk Guantanamo tsb.

Suratkabar Jerman Frankfurter Rundschau menganggap laporan AI menunjukkan dampak fatal dari perlakuan AS terhadap para tahanan di Guantanamo:

Di kamp perbudakan Soviet Gulag, di zamannya Stalin, terdapat sekitar 20 juta pekerja paksa. Ratusan ribu diantaranya meninggal akibat kelaparan, kedinginan, penyakit dan penyiksaan. Jika mau menyamakan kamp tahanan zaman kini dengan gulag, maka yang lebih mirip adalah kamp konsentrasi di Korea Utara. Wajar bila Washington memprotes keras laporan AI dengan mengatakan, AS telah membebaskan 50 juta rakyat di Afganistan dan Irak. Dan negara adikuasa itu adalah yang pertama yang menjunjung tinggi HAM. Hal itu namun tidak benar , dan menunjukkan pemahaman HAM yang sangat terbatas. Dimana tujuan menghalalkan semua atau hampir semua cara. Dampak fatalnya dilukiskan tepat sekali oleh AI. Negara adi daya tsb melonggarkan larangan penganiayaan, membiarkan orang diculik, tidak mengindahkan hak para tahanan dan memberi alasan kepada negara lain untuk melakukan hal yang sama. Memang AS bukan pelanggar terburuk HAM di zaman kini. Tetapi Washington melecehkan HAM dan tidak menghormatinya. Guantanamo mungkin tidak bisa disamakan dengan gulag. Akan tetapi memungkinkan timbulnya gulag-gulag baru.

Suratkabar konservatif Austria Die Presse menganggap penyamaan Guantanamo dengan gulag sebagai berlebih-lebihan , yang tentu saja membuat sakit hati AS. Penyamaan itu juga mengecilkan makna Gulag sebagai mesin penindasan massal di bawah kekuasaan Stalin , yang telah menewaskan jutaan orang. Namun harian Austria itu juga membenarkan pernyataan Sekjen AI, Irene Khan:

Irene Khan menekankan, AS seharusnya memberikan contoh yang baik kepada dunia. Akibat pelanggaran HAM di Bagram, Abu Ghoreib dan Guantanamo, dampaknya kini terlihat di negara-negara sahabat AS, di Uzbekistan, Mesir dan Arab Saudi.

******

Tema berikutnya: Reformasi di Mesir. Belakangan ini dunia Arab didesak untuk melaksanakan reformasi di negaranya. Berlatar belakang hal itu Rabu lalu (25/5) berlangsung referendum di Mesir yang diikuti sekitar 90 persen rakyat. Rakyat Mesir akhirnya menyatakan setuju terhadap reformasi atas undang-undang pemilihan presiden Mesir. Dengan demikian, dalam pemilu presiden Mesir di bulan September mendatang, dapat dicalonkan lebih dari satu orang. Sebagaimana diketahui , selama ini Mesir hanya memiliki satu calon tunggal presiden, yakni Hosni Mubarak. Tetapi koran-koran Eropa menyambut dingin hasil referendum tersebut.

Harian Jerman Süddeutsche Zeitung menulis:

Para tokoh oposisi yang pro-demokrasi di Mesir tidak dikenal dan tidak cukup populer untuk dapat menantang Presiden Mubarak. Hanya kelompok Islamis yang dapat mengancam Mubarak. Tetapi partainya dilarang. Meskipun proses demokratisasi di negara sedang berkembang membawa risiko, pemilu jujur yang menghasilkan beberapa persen suara bagi oposisi, tidak hanya akan membuktikan niat jujur Hosni Mubarak. Tetapi juga akan menunjukkan kepada rakyat, bahwa kekuasaan tidak hanya bertumpu pada kekuatan , melainkan juga pada pemilu yang bebas. Namun, tampaknya, Mubarak yang dijuluki firaun modern, tidak memiliki sedikit pun pengertian dan pandangan luas itu.

Juga harian Swiss Tages-Anzeiger meragukan niat reformasi dari Presiden Mubarak:

Di zaman silam para firaun Mesir membangun piramida sebagai monumen makam yang melapangkan jalan ke dunia akhirat sekaligus mengabadikan keharuman namanya. Hosni Mubarak penguasa Mesir sekarang sedang membangun proyek ambisius seperti itu. Setelah berkuasa dengan tangan besi sejak lebih dari dua dasawarsa, presiden berusia 77 tahun , kini hendak membuka jalan bagi reformasi demokratis. Tetapi referendum mengenai UU baru bagi pemilu presiden meragukan niat reformasi Mubarak. Dibuktikan oleh kebrutalan polisi Mubarak yang bersama-sama dengan gerombolan penjahat yang dibayar oleh partai pemerintah memukuli segelintir demonstran dari partai oposisi.